Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi.
SECARA prinsip, cukai menjadi instrumen untuk mengatasi eksternalitas negatif dari sebuah barang. Sayangnya, saat ini, pengenaan cukai di Indonesia hanya berkutat di tiga jenis barang yakni hasil tembakau (rokok), etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkhohol (MMEA). Berbagai upaya penambahan barang kena cukai (BKC) baru terasa berat dan sulit terlaksana.
Pada saat yang bersamaan, kabar yang disampaikan pemerintah belum lama ini, tarif cukai hasil tembakau (CHT) tidak mengalami kenaikan pada 2019. Suasana mirip 2014, tapi saat itu pemerintah beralasan tidak menaikkan tarif CHT karena akan dimulainya pungutan pajak rokok. Apa yang terjadi? Apakah dampak negatif sudah terkendali dengan dosis saat ini?
InsideTax (majalah perpajakan bagian dari DDTCNews) berkesempatan mewawancarai Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di internal pemerintah. Dari wawancara tersebut, Heru menjelaskan posisi Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) Kemenkeu dalam upaya penjagaan dari eksternalitas negatif melalui kebijakan cukai. Dia pun memaparkan beberapa fasilitas yang telah diberikan dalam konteks perdagangan lintas batas. Berikut petikan wawancaranya.
Jumlah BKC di Indonesia tergolong sangat sedikit bila dibandingkan negara-negara ASEAN. Bagaimana tanggapan Anda?
Ya, memang betul, makanya kita akan coba menggunakan ini lebih maksimal lagi, salah satunya dengan [cukai] plastik. Barang lainnya tentu masih ada beberapa yang kita ingin diskusikan dengan kementerian dan lembaga terkait.
Penting disampaikan bahwa cukai filosofinya adalah pengendalian, utamanya terhadap eksternalitas negatifnya. Hal itu merupakan konsensus dunia yang tercantum dalam ‘pegouvian tax’. Konsepnya berbeda dengan pajak pada umumnya yang cenderung sebagai sumber penerimaan negara. Pengenaan cukai bertujuan untuk mengendalikan dampak negatif dan hasilnya (sebenarnya) digunakan sebagai penanganan dampak negatif yang dihasilkan tadi.
Mengapa sangat sulit membuat BKC baru di Indonesia?
Secara prinsip, satu kebijakan itu masih harus dilihat dari semua aspek atau sektor. Kita tidak boleh hanya menjalankan policy dari pertimbangan satu sektor semata. Pertimbangan harus komprehensif. Pemerintah perlu memperhatikan semua sektor sehingga pada saat implementasi dapat diterima baik oleh masyarakat umum maupun pelaku usaha.
Apa yang selama ini menjadi fokus pertimbangan pengenaan cukai pada sebuah objek?
Dalam menentukan suatu barang sebagai BKC, pemerintah mendasarkan pada Undang-Undang (UU) No.39/2007 tentang perubahan atas UU No. 11/1995 tentang Cukai sebagai acuan atau fokus pertimbangannya. Dalam Pasal 1 UU tersebut dijelaskan cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik tertentu.
Adapun sifat atau karakteristik tersebut antara lain konsumsi perlu dikendalikan; peredarannya perlu diawasi; pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.
Anda menyebut rencana cukai plastik. Bagaimana perkembangannya sejauh ini?
Tentu kita mendengarkan dan memperhatikan aspirasi dari masyarakat, khususnya mereka yang concern terhadap masalah lingkungan. Kita sendiri di Kemenkeu, dalam posisi sangat memahami situasi yang berkembang. Bagaimanapun, terlalu banyak sampah yang beredar karena konsumsinya tidak terkontrol.
Komoditas plastik sendiri sebenarnya sudah masuk dalam APBN 2018 dengan target sebesar Rp500 miliar. Namun, progres BKC atas kemasan plastik saat ini masih dalam proses pembahasan di panitia antar kementerian (PAK) untuk selanjutnya dilakukan konsultasi bersama DPR guna mendapatkan persetujuan prinsip.
Apa yang sebenarnya ingin disasar pemerintah?
Kita ingin mendukung industri yang memproduksi kantong-kantong ramah lingkungan. Itu bentuknya bisa tarif yang lebih rendah dan tidak dikenakan cukai atau dikenai tarif Rp0. Selain itu, bisa juga dalam bentuk pemberian pembebasan bea masuk dan pajak impor untuk mesin mesin. Sebaliknya, kepada mereka yang masih memproduksi kantong plastik yang tidak ramah lingkungan, kita bisa kenakan tarif yang lebih tinggi.
Terkait dengan tarif cukai hasil tembakau (CHT), mengapa akhirnya pemerintah memilih tidak menaikkannya untuk tahun anggaran 2019?
Pemerintah memang menetapkan kebijakan cukai 2019 sama dengan tahun 2018 dikarenakan pemerintah memandang bahwa kebijakan pengenaan cukai rokok saat ini masih dianggap efektif dalam rangka mengatur industri rokok dan hasil tembakau. Selain itu, pemerintah juga mempertimbangkan berbagai masukan dari para pemangku kepentingan (petani tembakau/pekerja).
Sejalan dengan keputusan itu, pemerintah akan meningkatkan law enforcement yang saat ini sudah bagus untuk memberantas peredaran rokok ilegal. Dengan demikian, industri yang legal memiliki ruang gerak. Kebijakan ini akan dikombinasikan dengan peningkatan pelayanan sehingga diharapkan tetap dapat mengamankan penerimaan cukai yang telah ditetapkan dalam APBN 2019 senilai Rp165,5 triliun.
Meskipun pada akhirnya tidak mengalami kenaikan tahun depan, bagaimana Anda menjelaskan ke publik kenaikan tarif yang sebelumnya terus terjadi?
Posisi Kemenkeu, termasuk di dalamnya adalah DJBC, adalah sebagai penyeimbang dan tidak berpihak. Kami mempertimbangkan semua aspek, seperti pengendalian, tenaga kerja, industri, serta keberlanjutan fiskal atau penerimaan. Upaya yang dilakukan demi menjembatani kedua kepentingan tersebut adalah dengan melakukan exercise, yang hasilnya memberikan gambaran besaran penyesuaian tarif yang diharapkan dapat mewakili berbagai kepentingan.
Exercise tersebut dilakukan dengan memperhitungkan semua faktor yang mempunyai kaitan, seperti kepentingan serapan tenaga kerja dan keberlangsungan industri, serta aktif melakukan interaksi dengan wakil rakyat di DPR saat penyusunan target penerimaan cukai di APBN.
Bagaimana hasil evaluasi dampak dari kenaikan tarif PPh Pasal 22 impor 1.147 komoditas?
Menurut data DJBC hingga awal November 2018, kenaikan tarif PPh Pasal 22 impor telah berhasil menurunkan devisa impor atas 1.147 pos tarif komoditas barang konsumsi sesuai PMK 110/2018. Porsi devisa impor rata-rata harian terhadap total impor turun dari 4% menjadi 3,4%.
Dalam konteks fasilitator perdagangan, apa yang sudah dijalankan DJBC sejauh ini?
DJBC telah memberikan kontribusi yang signifikan pada perbaikan peringkat Ease of Doing Business (EODB). DJBC memberikan kontribusinya pada indikator trade accross border, melalui sistem kemudahan pembayaran dan integrasi billing pembayaran bea masuk (BM) dan pajak dalam rangka impor (PDRI).
DJBC juga telah memberikan insentif terhadap industri berupa fasilitas fiskal maupun prosedural berupa kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) kepada 367 perusahaan dan 60 industri kecil menegah (IKM); kawasan berikat kepada 1.391 perusahaan dan gudang berikat untuk 235 perusahaan; serta pusat logistik berikat (PLB) 63 yang tersebar di 85 lokasi.
Dari sisi pengumpul penerimaan negara, bagaimana kinerjanya?
Penerimaan kepabeanan dan cukai hingga September 2018 menunjukkan sinyal positif dengan capaian sebesar Rp123,64 triliun atau 63,70% dari target APBN 2018. Kinerja ini mencatatkan pertumbuhan 14,24% dibanding periode yang sama tahun lalu. Pertumbuhan penerimaan tersebut, mengindikasikan performa penerimaan yang terus membaik bila dibandingkan 3 tahun sebelumnya yang hanya mampu tumbuh di kisaran single digit, bahkan sempat mengalami pertumbuhan negatif selama 2 tahun berturut-turut.
Simak wawancara Dirjen Bea dan Cukai Heru Pambudi selengkapnya dalam majalah InsideTax edisi 40. Unduh majalah InsideTax di sini. (kaw)