Ilustrasi. (DDTCNews)
RUU Pengampunan Pajak diwarnai polemik yang tidak berkesudahan. Maju mundurnya pembahasan di DPR, pada awalnya, seputar perdebatan mengenai isu keadilan dan efektivitas penerimaan pajak yang bakal diraup. Namun, dalam perjalanannya, perdebatan RUU malah semakin melebar.
Harus dipahami bahwa pengampunan pajak inisiatif pemerintah ini adalah bagian dari kebijakan yang tak terpisahkan dari reformasi pajak secara menyeluruh. Bingkai reformasi pajak ini mencakup revisi UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, dan UU Ketentuan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Urgensi reformasi pajak ini berangkat dari situasi perpajakan yang kurang menggembirakan. Salah satunya jika ditinjau dari tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia yang sangat rendah, di mana dari tahun ke tahun tingkat kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan SPT terus menurun.
Pada 2013, hanya sekitar 37% dari kelompok wajib menyampaikan SPT yang melaporkan SPT mereka. Persentase itu belum melihat aspek kebenaran materialnya. Itu berarti, pundi-pundi pajak hanya ditopang oleh sebagian kecil warga. Dengan kata lain, wajib pajak yang berpartisipasi hanya itu-itu saja.
Berbagai negara yang telah melaksanakan kebijakan pengampunan pajak, pada umumnya berangkat dari upaya untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang. Caranya, dengan memberikan pengampunan bagi mereka yang selama ini belum atau tidak patuh.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terdapat pendapat bahwa pengampunan pajak mencederai prinsip keadilan. Pemerintah dituding berpihak kepada para pengemplang pajak dan menyakiti wajib pajak yang patuh (Marchese, 2014).
Namun, apa benar pengampunan pajak mencederai prinsip keadilan? Untuk mendapatkan jawabannya, menarik melihat kebijakan pengampunan pajak di Jerman yang pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Ternyata, Mahkamah Konstitusi Jerman berpendapat tax amnesty tidak mencederai rasa keadilan..
Hal ini didasarkan atas tujuan pengampunan pajak adalah untuk membawa kembali wajib pajak yang tidak patuh untuk menjadi wajib pajak patuh untuk dipajaki bersama-sama wajib pajak yang telah patuh. Dan ini akan meningkatkan penerimaan pajak di masa yang akan datang (Malherbe, 2010).
Dalam konteks Indonesia, banyaknya wajib pajak yang tidak patuh tetapi menikmati kue pembangunan justru memberikan beban lebih tinggi bagi wajib pajak yang patuh (Braithwaite, 2003). Apalagi, perilaku tidak patuh cenderung menular ke wajib pajak patuh untuk menjadi tidak patuh. (Myles & Naylor, 1996).
Dengan demikian, kebijakan pengampunan pajak dapat dijustifikasi terutama dalam situasi kepatuhan yang rendah, karena merupakan suatu terobosan untuk menjamin luasnya partisipasi warga negara dalam membayar pajak secara benar.
Pengampunan pajak, memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan data yang relevan, terkini, andal, dan dilakukan secara sukarela. Data tersebut kemudian dapat dipergunakan dalam memetakan potensi penerimaan hingga alat verifikasi dalam pemeriksaan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika terdapat korelasi positif antara ketersediaan data dan tingkat kepatuhan, meningkatnya kepatuhan akan secara otomatis memperluas basis pemajakan. Konsekuensi logisnya, akan tercipta penerimaan pajak yang berkesinambungan dalam jangka panjang.
Jika kunci keberhasilan meningkatkan kepatuhan terletak pada data, maka sudah seharusnya desain hukum pengampunan pajak mengatur dua hal. Pertama, bagaimana data diperoleh. Dan kedua, bagaimana data diperlakukan yang mencakup verifikasi data dan pengelolaan basis data.
Pertanyaan berikutnya, mengapa pengampunan pajak harus di 2016 ini? Hal ini disebabkan mulai tahun 2017, Ditjen Pajak akan kebanjiran informasi keuangan wajib pajak secara otomatis melalui mekanisme FATCA (dengan Amerika Serikat) dan Common Reporting Standard (negara selain Amerika Serikat).
Artinya, dengan data yang tersedia itu mudah bagi Ditjen Pajak mendeteksi wajib pajak yang tidak patuh. Karena itu, apabila tidak dilakukan di 2016, nanti 2017, wajib pajak tidak patuh yang jumlahnya sekitar 63%, sesuai dengan prinsip keadilan, harus dikenakan sanksi administrasi atau bahkan pidana pajak.
Tentu ini akan membuat kegaduhan karena melibatkan jumlah wajib pajak yang besar. Selanjutnya, pada 2018, adanya rencana transformasi kelembagaan Ditjen Pajak yang lebih otonom dengan kewenangan yang diperluas, termasuk kewenangan mendapatkan informasi keuangan untuk tujuan perpajakan.
Hal ini seharusnya juga dapat ditangkap sebagai sinyal kian kuatnya penegakan hukum pajak di mana perilaku tidak patuh akan kian mudah terdeteksi. Pookok-pokok itulah yang seharusnya menjadi bahan perdebatan dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak Bukan malah melebar ke mana-mana.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.