OPINI PAJAK

PPh Imbalan Natura Sehubungan dengan Pekerjaan dan Persoalannya

Redaksi DDTCNews
Senin, 03 Januari 2022 | 12.31 WIB
ddtc-loaderPPh Imbalan Natura Sehubungan dengan Pekerjaan dan Persoalannya

Bambang Pratiknyo,

Pemerhati Perpajakan.

SALAH satu perubahan penting dan menarik dari ketentuan pajak penghasilan (PPh) dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) adalah mengenai perlakuan PPh atas pemberian imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan.

Dinyatakan penting karena perubahan ini berdampak pada hampir semua kegiatan usaha dengan nilai yang tidak sedikit. Selain itu, adanya ketentuan mengenai penentuan jenis dan nilai natura dan/atau kenikmatan yang akan dipajaki, perlakuan biayanya bagi pemberi kerja, serta penetapan saat berlakunya menjadikan perubahan ini menarik untuk dibahas.

Sebelum pemaparan lebih lanjut mengenai perubahan yang dibawa UU HPP terkait dengan perlakuan PPh atas imbalan berbentuk natura atau kenikmatan tersebut beserta persoalan-persoalan yang mungkin terkandung di dalamnya, terlebih dahulu disajikan persandingan perlakuan PPh atas imbalan berbentuk natura/kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan sebelum dan sesudah berlakunya UU HPP.

Berdasarkan pada persandingan pada tabel di atas, terjadi perubahan yang cukup kontras terkait dengan perlakuan PPh atas imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan setelah berlakunya UU HPP.

Pertama, imbalan ini ditetapkan sebagai objek pajak. Padahal, sebelum berlakunya UU HPP, imbalan yang diberikan dalam bentuk natura atau kenikmatan bukan merupakan objek pajak.

Kedua, setelah berlakunya UU HPP, hanya atas beberapa jenis natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan sebagai objek pajak. Menariknya, meskipun terkesan membatasi, UU HPP menambahkan satu klausul berbunyi “natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan atau batasan tertentu” sebagai salah satu jenis natura dan/atau kenikmatan yang bukan merupakan objek pajak.

Adanya klausul tersebut membuat jenis natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan sebagai objek pajak berpotensi untuk diperluas karena masih membutuhkan penetapan dan pengaturan lebih lanjut dari pemerintah.

Ketiga, berkenaan dengan perlakuan biayanya. Jika sebelum berlakunya UU HPP pemberian imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan bukan merupakan biaya pengurang penghasilan bruto (dengan pengecualian). Setelah berlakunya UU HPP, pemberian tersebut dapat dibiayakan tanpa membedakan jenis dan nilainya. Ini dibuktikan dengan dihapuskannya ketentuan Pasal 9 ayat (1) huruf ‘e’ UU PPh melalui UU HPP.

Tak pelak, perubahan-perubahan di atas menimbulkan beberapa pertanyaan penting. Misal, apa yang menjadi latar belakang diubahnya perlakuan PPh atas imbalan berbentuk natura atau kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan? Lantas, apa saja persoalan yang akan dihadapi dengan adanya perubahan tersebut?

Latar Belakang

SEJATINYA, perlakuan PPh atas imbalan kepada pegawai berlaku prinsip “deductiblity-taxability” atau “non-deductibility–non-taxability”. Atas suatu imbalan atau penggantian yang dikeluarkan untuk pegawai dapat menjadi biaya pengurang penghasilan bruto bagi pemberi kerja. Bagi pegawai, imbalan atau penggantian tersebut merupakan objek pajak yang dipotong melalui mekanisme PPh Pasal 21.

Sebaliknya, apabila atas pemberian imbalan atau penggantian tidak dapat dikurangkan sebagai biaya bagi pemberi kerja, imbalan atau penggantian tersebut bukan merupakan objek pajak bagi pegawai yang menerimanya. Prinsip inilah yang selama ini diterapkan di Indonesia. Tak terkecuali dalam mengatur perlakuan PPh atas natura dan/atau kenikmatan yang diberikan sehubungan dengan pekerjaan.

Jika ditelusuri secara historis sebelum 1984, yaitu ketika masih berlaku Undang-Undang Pajak Pendapatan (UU PPd) dan Undang-Undang Pajak Perseroan (UU PPs), imbalan berbentuk natura ditetapkan sebagai objek pajak. Sementara itu, dari sisi pemberi, imbalan tersebut merupakan biaya yang dapat dikurangkan dalam perhitungan pajak perseroan.

Sayangnya, kala itu, terjadi kesulitan dalam menilai natura dengan tepat karena beragamnya nilai (harga) natura yang ada (Masadi, 1984). Kesulitan ini tentu saja berdampak pada sulitnya pemajakan atas penghasilan tersebut serta penentuan besarnya biaya yang boleh menjadi pengurang.

Alhasil, saat UU PPh pertama kali diterbitkan, pemerintah memutuskan untuk mengubah perlakuan pajak atas imbalan berbentuk natura dengan mengecualikan imbalan tersebut sebagai objek pajak. Kemudian, selaras dengan perubahan tersebut, pemberian natura dan/atau kenikmatan juga ditetapkan sebagai biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam perhitungan PPh pemberi kerja.

Perubahan ini juga menimbang bahwa pada saat itu tidak ada perbedaan antara tarif pajak yang berlaku untuk badan dan orang pribadi. Dengan kata lain, tarif pajak pemberi kerja sama dengan tarif pajak pegawai, yaitu, 15%, 25%, dan 35% atas lapisan penghasilan yang sama.

Dengan demikian, perubahan yang terjadi dianggap tidak akan menimbulkan distorsi bagi pemberi kerja dalam memilih apakah imbalan akan diberikan dalam bentuk natura atau secara tunai, kecuali pemberi kerja dalam keadaan rugi.

Selain itu, dalam kasus pemberi kerja tidak mengalami kerugian, tidak ada pengaruh yang signifikan terhadap penerimaan pajak apabila imbalan diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan atau secara tunai. Pasalnya, keduanya memiliki konsekuensi pajak yang sama. Hanya titik pemajakannya yang berbeda.

Jika diberikan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan, pemajakan atas imbalan ini akan terjadi di tingkat pemberi kerja sebab pemberian tersebut tidak boleh dibiayakan. Sebaliknya, apabila pemberian imbalan dilakukan dalam bentuk tunai, pemajakan akan dilakukan di tingkat pegawai karena imbalan tersebut merupakan objek pajak. Namun, baik dikenakan di tingkat pemberi kerja maupun pegawai, konsekuensi pajaknya akan tetap sama karena tarif yang dikenakan sama.  

Nyatanya, kondisi sebagaimana dijelaskan di atas tidak lagi relevan dengan keadaan saat ini. Pasalnya, seiring dengan kompetisi penurunan tarif PPh badan dalam lingkup regional serta perubahan pemahaman bahwa badan harus diberikan stimulan dalam pertumbuhannya, telah terjadi penurunan tarif PPh badan secara bertahap yang pada akhirnya sampai ke tarif 22%.

Di sisi lain, tarif PPh orang pribadi tidak mengalami penurunan yang signifikan. Untuk lapisan penghasilan paling tinggi semula hanya turun menjadi 30%. Namun, dengan perubahan terakhir melalui UU HPP yang menambah satu lapisan penghasilan kena pajak baru, terjadi perubahan tarif untuk lapisan penghasilan paling tinggi, yaitu menjadi 35%.

Pada akhirnya, pemerintah berpikir keadaan ini akan menciptakan ketidakadilan. Dengan dikecualikannya pemberian natura dan/atau kenikmatan dari objek pajak, pegawai dengan jabatan tinggi, yang cenderung menerima natura dan/atau kenikmatan lebih banyak ketimbang pegawai dengan jabatan lebih rendah, akan menikmati beban pajak yang lebih kecil.

Selain itu, penerimaan pajak secara keseluruhan (PPh badan dan PPh Pasal 21) juga menjadi lebih sedikit. Besarannya hanya 22% yang berasal dari pengenaan pajak di tingkat pemberi kerja karena tidak dapat biayakannya imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan tersebut.

Bandingkan jika pemajakan atas pemberian imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan tersebut terjadi di tingkat pegawai. Terdapat potensi pengenaan pajak yang lebih tinggi, yaitu sebesar 30% sampai 35%. Dengan demikian, dikecualikannya natura dan/atau kenikmatan dari objek pajak jelas menyebabkan terjadinya kehilangan potensi penerimaan pajak yang lebih besar.

Itu sebabnya melalui penerbitan UU HPP, pemerintah memutuskan untuk mengembalikan perlakuan PPh atas imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan seperti ketika berlakunya UU PPd dan UU PPs, yaitu sebagai objek pajak. Sebaliknya, bagi pemberi kerja, pemberian imbalan ini dapat dibiayakan.

Persoalan-Persoalan

DENGAN dikembalikannya perlakuan PPh atas imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak, tentu saja pemerintah kembali menemui persoalan yang sama dengan yang dulu pernah dialami. Persoalan itu terkait dengan penentuan penilaian atas imbalan natura dan/atau kenikmatan tersebut.

Salah satu contoh yang menggambarkan kesulitan penilaian ini adalah penentuan objek PPh Pasal 21 atas imbalan berupa kenikmatan menggunakan kendaraan yang disediakan oleh pemberi kerja. Persoalan akan timbul ketika pemberi kerja memiliki dua skema dalam penyediaan fasilitas kendaraan tersebut. Kedua skema itu adalah kendaraan yang diberikan merupakan milik pemberi kerja atau berupa sewaan dari perusahaan penyewaan mobil.

Secara teoretis, atas kendaraan yang berjenis sama antara yang dibeli dan yang disewa oleh pemberi kerja seharusnya dipotong PPh Pasal 21 dengan nilai yang sama bagi pegawai yang menikmatinya. Akan tetapi, berhubung ada kecenderungan perbedaan nilai biaya antara kendaraan yang dibeli dengan yang disewa, tentu dapat terjadi ketidakadilan dalam kasus ini.

Pada kasus kendaraan yang dibeli, tentu penentuan nilainya tidak hanya mempertimbangkan unsur penyusutan kendaraan, tetapi juga pemeliharaan, asuransi, serta pajak yang harus dibayarkan atas kepemilikan kendaraan tersebut. Sementara itu, pada kasus kendaraan yang disewa, penghitungan nilainya menjadi lebih sederhana karena hanya atas biaya sewa.

Kasus yang sama juga terjadi pada penentuan nilai natura dan/atau kenikmatan berupa penyewaan apartemen bagi direktur atau pegawai eksekutif lainnya. Pada penyewaan dalam jangka waktu yang lebih lama, umumnya nilai sewa akan lebih rendah dibandingkan nilai sewa untuk jangka waktu yang singkat. Akibatnya, makin lama jangka waktu sewa, makin kecil pula nilai dari pemberian kenikmatan tersebut. Begitu pula dengan besarnya pajak yang dikenakan.

Persoalan lain terkait dengan penentuan nilai natura dan/atau kenikmatan ini adalah terkait pemberian layanan klinik perusahaan dan pemberian konsumsi di saat pertemuan/meeting. Dalam kasus pemberian layanan klinik perusahaan, kesulitan ini menyangkut penentuan nilai yang akan dipajaki kepada pegawai. Penentuan ini apakah hanya sebatas nilai obat, jasa dokter dan perawatnya, atau juga meliputi biaya klinik lainnya, seperti penyusutan atas peralatan medis dan alokasi biaya penyusutan atau sewa ruangan.

Jika biaya selain dokter dan obat juga harus dihitung sebagai nilai dari natura dan/atau kenikmatan bagi pegawai yang berobat, tentu akan terasa berat bagi pegawai tersebut. Demikian pula biaya konsumsi yang harus dipajaki bagi peserta meeting, yang cenderung akan memberatkan pegawai peserta meeting. Apalagi, jika konsumsi tersebut nilainya jauh di atas makanannya sehari-hari.

Persoalan lainnya terkait dengan perubahan perlakuan PPh atas pemberian imbalan ini adalah pemerintah juga perlu menentukan jenis dan batasan natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf ‘d’ angka 5 UU PPh yang telah diubah dengan UU HPP.

Sampai saat tulisan ini dibuat, yaitu pada akhir Desember 2021, pemerintah belum juga menerbitkan peraturan yang menjelaskan lebih lanjut pasal tersebut. Keadaan ini boleh jadi mengindikasikan adanya persoalan tidak mudahnya menentukan jenis dan batasan natura yang dikecualikan.

Selain persoalan-persoalan di atas, sesungguhnya terdapat persoalan yang lebih serius dari segi hukum, yaitu terkait dengan saat berlakunya UU HPP. Sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) UU HPP, ketentuan-ketentuan baru pada UU PPh yang diubah melalui UU HPP mulai berlaku pada tahun pajak 2022.

Sepintas, ketentuan ini tidak bermasalah. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, penetapan saat berlakunya ketentuan dalam UU HPP dapat menjadi masalah ketika diterapkan kepada pemberi kerja yang tahun pajaknya bukan tahun kalender.

Sebagaimana diketahui, definisi tahun pajak dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (6) UU KUP menyatakan bahwa tahun pajak adalah sama dengan tahun kalender, kecuali wajib pajak yang menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Apabila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender, penyebutan tahun pajak yang bersangkutan menggunakan tahun yang di dalamnya termasuk 6 bulan pertama atau lebih. Contoh:

  1. tahun buku 1 Juli 2021 sampai dengan 30 Juni 2022, tahun pajaknya adalah 2021;
  2. tahun buku 1 Agustus 2021 sampai dengan 31 Juli 2022, tahun pajaknya adalah 2022 (termasuk tahun buku yang dimulai setelah Agustus 2021, tahun pajaknya adalah tahun berikutnya).

Bagi pemberi kerja yang tahun pajaknya mengikuti tahun kalender (Januari sampai Desember), ketentuan saat berlakunya UU HPP di atas tidak menimbulkan persoalan. Hal ini dikarenakan penerapan pengenaan pajak atas imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan bagi pegawai serta pembebanan biayanya bagi pemberi kerja berjalan bersamaan, yaitu mulai 1 Januari 2022.

Sebaliknya, bagi pemberi kerja yang tahun pajaknya tidak sama dengan tahun kalender, pemberlakuan UU HPP yang ditetapkan mulai tahun pajak 2022 ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dalam pemajakan atas imbalan berbentuk natura/kenikmatan. Ketidakjelasan ini dapat digambarkan sebagai berikut.

Pertama, bagi pemberi kerja yang tahun bukunya dimulai sejak Februari 2021/Maret 2021/April 2021/Mei 2021/Juni 2021/Juli 2021 dan berakhir pada 12 bulan berikutnya (Januari 2022/Februari 2022/Maret 2022/April 2022/Mei 2022/Juni 2022), tahun pajaknya adalah 2021. Akibatnya, meskipun sudah masuk ke 1 Januari 2022, pemberian imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan belum dapat dibebankan sebagai biaya dalam perhitungan PPh badan pemberi kerja.

Sementara itu, dari sisi pegawai, sejak 1 Januari 2022, natura dan/atau kenikmatan yang diterima sudah harus dipotong PPh Pasal 21. Hal ini disebabkan PPh Pasal 21 tidak mengenal tahun pajak sehingga per 1 Januari 2022 sudah berlaku ketentuan pemberian imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak. Dalam kasus ini, terjadi apa yang disebut dengan taxable-non-deductible.  

Kedua, bagi pemberi kerja yang tahun bukunya dimulai sejak Agustus 2021/September 2021/Oktober 2021/November 2021/Desember 2021, tahun pajaknya adalah 2022. Dengan demikian, secara hukum, untuk Agustus 2021 sampai dengan Desember 2021, pemberi kerja sudah boleh membiayakan pemberian imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan tersebut.

Sebaliknya, bagi pegawai, pengenaan PPh atas imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan belum dapat diberlakukan karena belum memasuki 2022. Konsekuensinya, atas pemberian imbalan tersebut tidak dapat dipotong PPh Pasal 21. Dalam kasus ini, terjadi apa yang disebut dengan non-taxable-deductible

Tak bisa dimungkiri, timbulnya persoalan terkait dengan saat berlakunya UU HPP semata-mata dikarenakan ketentuan ini merujuk pada tahun pajak. Padahal, secara umum, penetapan saat mulai berlakunya undang-undang mengacu pada suatu tanggal.

Misalnya, UU PPh. Sejak pertama kali diterbitkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sampai dengan perubahannya yang keempat melalui Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, penentuan saat berlakunya selalu ditetapkan pada tanggal tertentu. Bukan tahun pajak tertentu.

Penutup

BERDASARKAN pada penjelasan di atas, dapat dilihat perubahan perlakuan PPh atas pemberian imbalan berbentuk natura dan/atau kenikmatan setelah berlakunya UU HPP menimbulkan beberapa persoalan yang perlu dicarikan jalan keluarnya. Jika tidak, akan tercipta ketidakpastian dalam pemajakan atas pemberian imbalan ini. Untuk itu, berikut beberapa saran yang dapat disampaikan.

Pertama, pemerintah diharapkan dapat menerbitkan peraturan yang memberikan panduan dalam penentuan nilai natura dan/atau kenikmatan sehubungan dengan pekerjaan. Kedua, pemerintah juga perlu menerbitkan peraturan yang menjelaskan lebih lanjut ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) huruf ‘d’ angka 5 UU PPh yang telah diubah dengan UU HPP. Dengan demikian, dapat diketahui dengan pasti batasan dan jenis natura dan/atau kenikmatan apa yang masuk dalam pengecualian sebagai objek pajak.

Sebagai contoh, pemerintah dapat menetapkan batasan pengecualian ini dengan mengacu pada jumlah  natura dan/atau kenikmatan yang diberikan. Dengan demikian, hanya jumlah di atas batasan tersebut yang dikenakan pajak.

Contoh lainnya, pemerintah dapat menetapkan batasan berupa jumlah penghasilan pegawai sehingga hanya natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai berpenghasilan tingi yang dikenakan PPh.  

Ketiga, pemerintah perlu menyederhanakan penetapan saat berlakunya ketentuan-ketentuan baru pada UU PPh yang diubah melalui UU HPP. Misalnya, melalui penegasan dalam Peraturan Pemerintah yang menjelaskan lebih lanjut bahwa maksud dari "mulai berlaku pada tahun pajak 2022” adalah mulai 1 Januari 2022.

Melalui cara ini, meskipun tahun pajak pemberi kerja tidak sama dengan tahun kalender, pengenaan pajak atas pemberian imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan beserta pembiayannya bagi pemberi kerja akan dimulai pada saat bersamaan, yaitu sejak 1 Januari 2022.

Dengan menerapkan saran-saran di atas, persoalan terkait perlakuan PPh pemberian imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan setelah berlakunya UU HPP diharapkan dapat teratasi. Pada akhirnya, dapat pula menciptakan kepastian hukum dalam implementasinya. Semoga!

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
mufa
baru saja
Untuk Undang-Undang Pajak Pendapatan (UU PPd) dan Undang-Undang Pajak Perseroan (UU PPs) yang disebutkan dalam artikel ini, lebih detailnya UU Nomor berapa, Tahun berapa, dan Pasal berapa ya yang membahas terkait natura dan/atau kenikmatan sebagai Objek Pajak serta tarif PPh Badan dan tarif PPh OP sama? Terimakasih, mohon bantuannya...
user-comment-photo-profile
IIN HENDRAYANTO
baru saja
Artikel ini sangat komprehensip. Saya senang membacanya, semoga bermanfaat. Saya pencinta DDTC NEWS.