TERBITNYA Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) turut menandai era baru perlakuan pajak atas natura dan/atau kenikmatan di Indonesia. Perubahan UU Pajak Penghasilan (PPh) yang termuat dalam UU HPP mengatur pada prinsipnya natura dan/atau kenikmatan dapat dibiayakan oleh pemberi kerja dan merupakan penghasilan bagi pegawai penerima (objek pajak).
Sesuai dengan amanat UU HPP, ketentuan PPh atas natura dan/atau kenikmatan itu mulai berlaku pada tahun pajak 2022. Namun, pemerintah baru mengundangkan aturan turunan berupa PP 55/2022 pada 20 Desember 2022. Saat ini, pemerintah juga masih menyusun ketentuan teknis lanjutan dalam peraturan menteri keuangan (PMK).
Bersamaan dengan momentum penyusunan ketentuan teknis tersebut, DDTC Fiscal Research & Advisory (FRA) merilis artikel analisis berseri dengan topik Mendesain Pajak Natura dan Kenikmatan. Artikel analisis berseri ini diharapkan melengkapi berbagai ulasan yang sudah disajikan DDTCNews, termasuk dalam Fokus sebelumnya dengan judul Bersiap, Penghasilan Selain Uang Bakal Kena Pajak.
Bahasan komprehensif berdasarkan pada riset diharapkan dapat memberikan pemahaman yang tepat mengenai PPh atas natura dan/atau kenikmatan, baik bagi masyarakat wajib pajak maupun pengambil kebijakan. Melalui artikel analisis berseri, DDTC FRA akan mengulas mulai dari filosofi, elemen desain, objek, aspek administrasi, hingga studi komparasi di berbagai negara.
Setelah membahas penentuan klasifikasi objek PPh atas natura dan/atau kenikmatan pada seri sebelumnya, pada seri ketiga ini, DDTC FRA akan mengulas terkait dengan pentingnya penetapan threshold natura dan/atau kenikmatan yang dapat dipajaki.
***
JUSTIFIKASI utama pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan sangat berkaitan erat dengan prinsip keadilan. Bahasan ini sebagaimana telah disebutkan dalam artikel ‘Filosofi dan Kerangka Desain Pajak Penghasilan atas Natura’.
Tidak hanya pada desain kebijakan, prinsip keadilan ini pun juga harus tercermin dalam implementasinya. Secara umum, imbalan natura dan/atau kenikmatan memang telah menjadi objek pajak. Namun, dalam tataran praktis, diperlukan suatu batasan nilai tertentu (threshold) natura dan/atau kenikmatan yang dapat dipajaki.
Selain penetapan klasifikasi objek dan non-objek pajak yang perlu didesain secara tepat (DDTC FRA, 2022), penentuan threshold juga dapat lebih menjamin terciptanya prinsip keadilan dan kepastian hukum dalam pemajakan atas natura dan/atau kenikmatan.
PENETAPAN threshold ini merupakan elemen yang penting dalam penentuan objek pajak natura dan/atau kenikmatan. Dalam perumusan kebijakan pajak, penentuan threshold umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan situasi ekonomi, politik, dan administrasi (Veit-Wilson, 1999).
Berdasarkan pada hasil studi komparasi, DDTC FRA menemukan 3 jenis threshold yang umumnya diterapkan di banyak negara. Pertama, penetapan threshold berdasarkan pada total penghasilan karyawan. Dalam hal ini, threshold ditentukan berdasarkan pada jumlah penghasilan yang diterima karyawan dalam periode satu tahun.
Pada threshold ini, titik berat batasan nilai berada pada subjek penerima natura dan/atau kenikmatan, yakni karyawan. Apabila total penghasilan belum melebihi threshold yang ditentukan maka karyawan belum memiliki kewajiban untuk membayar pajak natura dan/atau kenikmatan.
Hal demikian seperti yang diterapkan Irlandia. Di negara ini, apabila jumlah penghasilan karyawan termasuk natura telah melebihi nilai tertentu per tahun maka karyawan tersebut harus membayar pajak atas natura (Irish Tax Customs, 2022). Sebaliknya, jika belum melebihi threshold tersebut, tidak ada kewajiban bagi karyawan untuk membayar pajak.
Kedua, penetapan threshold berdasarkan pada bentuk atau jumlah natura dan/atau kenikmatan. Mekanisme yang digunakan pada jenis threshold ini akan secara objektif mengacu pada natura dan/atau kenikmatan yang diberikan.
Apabila ditetapkan berdasarkan pada jumlah natura dan/atau kenikmatan maka pengenaan pajak baru berlaku saat valuasinya melebihi threshold yang telah ditentukan. Umumnya, penentuan threshold ini terbagi dua, yakni berdasarkan jumlah natura dan/atau kenikmatan secara agregat atau jumlah per item.
Sebagai contoh, di Liberia, natura dan/atau kenikmatan baru dikenakan pajak jika jumlahnya secara agregat sudah melebihi LRD100.000 (setara dengan Rp9,5 juta) per tahun. Sementara itu, Singapura menggunakan threshold berdasarkan pada jumlah per item. Salah satunya adalah threshold atas penghargaan. Penghargaan yang diterima karyawan senilai di bawah SGD200 (setara dengan Rp2,2 juta) tidak dikenakan pajak.
Di sisi lain, penetapan threshold juga dapat dilakukan berdasarkan pada bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan. Terlepas dari berapa pun jumlah natura dan/atau kenikmatan yang diterima karyawan, threshold ditetapkan berdasarkan bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja.
Sebagai contoh, di Turki, threshold atas akomodasi ditetapkan dari luas properti yang diberikan. Apabila akomodasi dimiliki oleh pemberi kerja dan luasnya tidak melebihi 100m2 maka natura dan/atau kenikmatan tersebut merupakan non-objek.
Ketiga, penetapan threshold berdasarkan pada posisi atau jabatan tertentu. Secara konsep, threshold dengan metode ini mengartikan bahwa pajak akan dikenakan atas natura dan/atau kenikmatan apabila karyawan menempati posisi atau jabatan tertentu.
Mirip dengan penetapan threshold berdasarkan pada penghasilan karyawan, penggunaan threshold ini juga dititikberatkan pada subjek penerima natura dan/atau kenikmatan. Korea Selatan menjadi salah satu contohnya. Di negara ini, pemberian rumah kepada karyawan tertentu (termasuk direktur) tidak dipajaki selama karyawan tersebut bukan merupakan pemegang saham.
DALAM konteks Indonesia, hingga saat ini belum terdapat aturan yang secara eksplisit mengatur threshold atas natura dan/atau kenikmatan. Namun demikian, dalam klausul pengecualian objek natura dalam UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP, terdapat gambaran singkat mengenai jenis threshold apa yang akan digunakan di Indonesia.
Sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) huruf d UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP, ada beberapa jenis natura dan/atau kenikmatan yang dikecualikan dari pengenaan pajak, salah satunya adalah ‘natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu’. Namun, belum ada penjelasan terperinci terkait jenis dan/atau batasan tertentu tersebut.
Kemudian, dalam Pasal 28 PP 55/2022, terdapat klausul mengenai dasar pertimbangan yang dapat digunakan untuk menetapkan threshold, baik secara bersamaan ataupun salah satunya, yakni berdasarkan:
Sama halnya dengan pengaturan dalam UU PPh s.t.d.t.d. UU HPP, PP 55/2022 juga tidak menyebutkan secara terperinci mengenai jenis dan/atau kriteria batasan tertentu yang dimaksud.
Berdasarkan pada ketentuan saat ini, terdapat beberapa catatan yang dapat ditinjau lebih lanjut. Pertama, penggunaan dua threshold di atas dapat dilihat sebagai upaya pemerintah dalam membatasi pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan.
Sebagaimana diketahui, Indonesia menganut pendekatan negative list dalam penetapan objek pajak natura dan/atau kenikmatan. Simak ‘Meninjau Desain Klasifikasi Objek Pajak atas Natura dan Kenikmatan’. Adapun implikasi dari digunakannya pendekatan ini adalah masih luasnya kelompok objek pajak natura dan/atau kenikmatan.
Penetapan threshold tersebut akan menciptakan batasan secara jelas atas natura dan/atau kenikmatan apa saja yang menjadi objek pajak. Selain itu, threshold ini dapat menjadi ‘pintu masuk’ untuk menetapkan positive list objek pajaknya.
Kedua, penetapan kriteria penerima natura dan/atau kenikmatan. Dalam hal ini, perlu untuk dipertimbangkan apakah salah satu kriteria dalam penggunaan threshold adalah dengan membedakan antara karyawan yang berstatus sebagai pegawai dan bukan pegawai.
Hal ini dapat menjadi konsiderasi dengan melihat perbedaan latar belakang pemberian natura dan/atau kenikmatan kepada pegawai dan bukan pegawai. Dalam konteks pegawai, natura dan/atau kenikmatan diberikan untuk menunjang kelancaran kerja, produktivitas, serta mempertahankan motivasi.
Di sisi lain, ketiga tujuan tersebut belum tentu terpenuhi jika natura dan/atau kenikmatan diberikan kepada bukan pegawai. Melihat perbedaan latar belakang tersebut, threshold dapat memberi pengecualian tertentu atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima. Hal ini dapat dimungkinkan melihat dari perbedaan motif pemberian natura dan/atau kenikmatan antara pegawai dan bukan pegawai.
Selain berdasarkan status karyawan, kriteria lain yang dapat dilihat adalah status jabatan karyawan. Dalam hal ini contohnya threshold dapat ditetapkan berdasarkan pada jabatan manajerial ke atas atau pada level direktur tertentu. Namun demikian, perlu untuk menjadi catatan bahwa tingkatan status jabatan karyawan antara satu perusahaan yang satu dengan perusahaan lainnya tidak sama.
Jabatan direktur di perusahaan yang merupakan perusahaan multinasional tentu tidak dapat dipersamakan dengan direktur di industri usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Status jabatan karyawan pun tidak dapat menjadi indikator berapa penghasilan yang diperolehnya.
Ketiga, penetapan besaran nilai threshold natura dan/atau kenikmatan. Pertimbangan yang kemudian muncul adalah apakah threshold akan ditetapkan secara agregat atau per masing-masing item. Dua hal tersebut menjadi pertimbangan penting dalam penentuan threshold dengan bentuk atau jumlah natura dan/atau kenikmatan.
Apabila threshold ditetapkan secara agregat, artinya akan ada batasan nilai tertentu dari seluruh jumlah natura dan/atau kenikmatan yang diterima karyawan untuk dikenai pajak. Jika secara total jumlah yang diterima karyawan belum melampaui batasan nilai yang ditentukan maka natura dan/atau kenikmatan itu belum dikenai pajak.
Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah berapa batasan nilai yang harus ditentukan hingga akhirnya natura dan/atau kenikmatan tersebut dikenai pajak? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilihat dan dihitung kembali berapa kiranya besaran jumlah natura dan/atau kenikmatan yang diterima karyawan hingga nyata-nyata menambah kemampuan ekonomis karyawan.
Hampir sejalan dengan penetapan threshold secara agregat, penetapan threshold per jenis natura mengartikan adanya batasan nilai tertentu dari per jenis natura. Konsekuensinya, atas setiap jenis objek natura dan/atau kenikmatan, otoritas pajak perlu untuk memberi threshold yang proporsional.
PENETAPAN jenis threshold akan turut berimplikasi pada implementasi administrasi pajak. Isu yang patut untuk dipertimbangkan adalah bagaimana ease of administration dalam penetapan threshold ini. Catatan terpenting terletak pada penetapan threshold berdasarkan pada jumlah penghasilan karyawan maupun berdasarkan pada akumulasi besaran natura dan/atau kenikmatan yang diterima.
Dalam hal ini, perlu menjadi pertimbangan apakah nilai threshold yang ditetapkan akan berdasarkan pada nilai setahun atau per bulan. Pertimbangan tersebut akan berpengaruh pada prospek pemotongan PPh Pasal 21 di lapangan. Nantinya, beban administrasi pajak banyak ditanggung pemberi kerja yang akan menghitung besaran natura dan/atau kenikmatan terutang serta memotong pajak terutang.
Pada proses penghitungan besaran natura, pemberi kerja harus menelaah satu per satu jenis natura yang diterima karyawan dan menyesuaikan dengan penghasilan karyawan. Apakah natura dan/atau kenikmatan yang diberikan sudah melewati threshold yang ditentukan?
Jika threshold yang ditetapkan berdasarkan pada besaran penghasilan karyawan per tahun, bagaimana cara pemberi kerja menetapkan apakah natura dan/atau kenikmatan sudah melewati threshold tahunan, padahal pemotongan PPh Pasal 21 dilakukan per masa pajak?
Pertanyaan-pertanyaan demikian seyogianya menjadi hal yang dapat dijelaskan secara terperinci dalam aturan turunan yang nantinya terbit. Hal ini untuk memberikan kepastian hukum khususnya bagi pemberi kerja sebagai pemotong PPh ataupun bagi karyawan sebagai penerima penghasilan. Harapannya, jangan sampai penetapan jenis threshold yang digunakan akan berimplikasi bagi cost of compliance dalam pemotongan PPh Pasal 21 di lapangan.
PADA intinya threshold dapat menjadi ‘pintu masuk’ dalam memberi batasan objek pajak natura dan/atau kenikmatan. Penetapan jenis threshold yang ditetapkan akan membawa implikasi pada besarnya ruang objek pajak natura dan/atau kenikmatan hingga ke administrasi pajak.
Terdapat banyak konsiderasi yang harus dipertimbangkan dalam penetapan threshold yang digunakan dalam pemajakan natura dan/atau kenikmatan. Perlu dicatat, ada dua hal penting yang harus menjadi perhatian terkait dengan penetapan threshold.
Pertama, threshold harus dapat memberi batasan jelas atas apa saja yang menjadi objek pajak natura dan/atau kenikmatan. Kedua, penetapan jenis threshold yang digunakan akan berimplikasi pada tinggi rendahnya derajat ease of administration dalam pemotongan PPh Pasal 21 di lapangan.
Jangan lewatkan seri selanjutnya dari artikel analisis ini. Baca kumpulan artikel analisis berseri Mendesain Pajak Natura dan Kenikmatan di sini.