ANALISIS PAJAK

Mengurai Keberadaan Prinsip Keadilan dalam Sistem Pajak

Redaksi DDTCNews
Senin, 30 Mei 2022 | 13.58 WIB
ddtc-loaderMengurai Keberadaan Prinsip Keadilan dalam Sistem Pajak
DDTC Fiscal Research and Advisory.

PRINSIP keadilan dalam sistem pajak sudah sejak lama menjadi diskusi pada area filsafat dan politik ekonomi. Sebagai konsep yang abstrak, penuh perdebatan, dan kerap dipandang subjektif, keadilan kemudian dilekatkan dalam konteks yang lebih riil, yaitu benefit principle dan ability to pay.

Benefit principle berdiri di atas pemahaman bahwa seseorang membayar pungutan kepada pemerintah atas manfaat yang diperoleh. Berbeda dengan benefit principle, prinsip ability to pay memandang beban pajak harus didistribusikan secara tepat berdasarkan pada kemampuan untuk memperoleh kesejahteraan yang lebih baik.

Kedua prinsip tersebut kemudian tercermin dalam jargon keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal berarti seseorang yang memiliki kondisi ekonomi relevan yang sama seharusnya menerima perlakuan pajak dan membayar beban pajak yang sama.

Dengan kata lain, dalam situasi ekonomi relevan yang sama, adanya perbedaan perlakuan dan beban pajak membutuhkan justifikasi yang kuat.

Di sisi lain, keadilan vertikal merujuk pada perbedaan perlakuan dan beban pajak apabila terdapat perbedaaan situasi ekonomi yang relevan. Pandangan ini kerap diterjemahkan pada beban pajak yang makin tinggi seiring dengan peningkatan penghasilan dan kesejahteraan seseorang. Keadilan vertikal merupakan prinsip di balik adanya pengenaan pajak yang bersifat progresif (Slemlord dan Bakija, 2008).

Pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah bagaimana prinsip keadilan dimanifestasikan ke dalam sistem pajak oleh berbagai negara? Apakah sistem pajak di berbagai negara kian menjauh dari aspek-aspek yang mencerminkan prinsip keadilan?

Sayangnya, jawabannya adalah ya. Pembahasan berikut akan menjelaskan beberapa kondisi yang melatarbelakangi jawaban tersebut.           

Dinamika dan Relevansi Prinsip Keadilan dalam Pajak

TERDAPAT beberapa poin yang menunjukkan kondisi kian menjauhnya aspek-aspek yang mencerminkan prinsip keadilan dalam sistem pajak di berbagai negara. Pertama, kehadiran paradigma supply side tax policy yang cukup populer pada dekade 1980-an dan setelahnya.

Paradigma supply side tax policy merupakan salah satu aspek dari supply-side economics yang melihat pentingnya pasar bebas dan alokasi sumber daya yang lebih efisien. Dalam konteks pajak, paradigma supply side economics yang diturunkan menjadi supply side tax policy justru membuat sistem pajak kian kompleks serta cenderung meringankan beban pajak pemilik modal.

Implementasi supply side tax policy memang kemudian membuat produktivitas ekonomi               meningkat. Pertanyaannya, apakah dampak produktivitas tersebut memberikan trickle-down effect dan menciptakan kesetaraan ekonomi?

Jawaban atas pertanyaan ini sepertinya bisa dilihat dari dampak kebijakan pajak Amerika Serikat di bawah Presiden Trump yang bernafaskan kembalinya supply side tax policy.

Adanya penurunan tarif PPh badan, perubahan rezim pajak menjadi semi-territorial, dan sebagainya justru ‘mencederai’ keadilan.

Kedua, kian lemahnya progresivitas sistem PPh bagi orang pribadi. Tren ini berkaitan erat dengan paradigma supply side tax policy yang bermaksud mendorong produktivitas tenaga kerja dan akumulasi melalui tabungan (Gandhi, 1987).

Pada saat paradigma supply side tax policy kian populer, tarif dan lapisan PPh orang pribadi secara global menjadi turun dan berkurang. Di balik itu, tentunya terdapat faktor lain yang mendorong penurunan tarif dan penyederhanaan tax bracket tersebut, misalkan dengan adanya tren migrasi internasional karena beban pajak.

Ketiga, skenario kebijakan berbasis dual income tax yang memberikan perlakuan berbeda antara penghasilan dari modal,  kegiatan usaha, dan upah/gaji. Dual income tax merupakan sistem pengenaan PPh yang mengkombinasikan antara pure global taxation dan pure schedular taxation.

Dual income tax bisa dianggap suatu terobosan untuk menanggulangi kelemahan dari global tax system tanpa melangkah terlalu jauh menuju schedular tax system. Atas keunggulan dari dual income tax, banyak negara kemudian mengadopsi sistem tersebut.

Namun, dari sudut pandang filosofi PPh, dual income tax dirasa tidak konsisten dengan prinsip ability to pay (Kleinbard, 2010). Perbedaan perlakuan pajak antara jenis penghasilan juga ditenggarai meningkatkan perilaku ketidakpatuhan pajak serta ketimpangan.

Keempat, globalisasi pasar keuangan dan tax haven. Mobilitas modal menjadi makin bebas. Sejak saat itu, pajak, khususnya tarif, menjadi salah satu faktor yang kian dipertimbangkan dalam keputusan penanaman modal. Fenomena kompetisi tarif makin ‘tidak sehat’ dengan hadirnya yurisdiksi yang dikategorikan sebagai tax haven.           

Mengingat pihak yang memiliki akses terhadap pasar keuangan global dan perencanaan aliran dana melalui tax haven adalah kelompok high wealth individuals (HWI), kehadiran tax haven sejatinya turut menyuburkan ketimpangan.

Melalui skema penghindaran pajak dan offshore tax evasion, kelompok HWI tidak membayar pajak secara adil.

Kelima, perkembangan atas struktur penerimaan pajak (tax mix) di berbagai negara. PPh, sebagai pajak yang paling merefleksikan prinsip ability to pay, mengalami berbagai tantangan selama lima dekade   terakhir (Goldberg, 2013).

Mulai dari tren penurunan tarif, sistem yang kian kompleks dan menimbulkan biaya kepatuhan yang tinggi, sifatnya yang relatif multi-interpretasi sehingga mendorong perencanaan pajak yang agresif, hingga ‘kalah pamor’ dengan pungutan atas jaminan sosial yang earmarked.

Berbagai tantangan tersebut cenderung diatasi dengan pendekatan yang lebih mengedepankan kepastian dan kemudahan administrasi yang kerap trade-off dengan prinsip keadilan.

Keenam, hilangnya relevansi compensatory theorem yang sebelumnya populer pada masa perang. Pada masa perang, kebutuhan belanja pemerintah meningkat. Padahal, perang telah menciptakan ketimpangan, pengangguran, dan kemiskinan.

Pada saat perang, kelompok masyarakat kebanyakan umumnya turut berkontribusi dengan keikutsertaaan dalam medan perang. Namun, seiring dengan masa damai, teori kompensasi kian kalah pamor dengan teori ability to pay dalam menjamin sistem pajak yang berkeadilan.

Ketujuh, konsistensi penerapan countercyclical tax policy. Dalam konteks pajak, skema kebijakan countercyclical bisa dilakukan melalui skema windfall tax terhadap sektor yang memperoleh laba yang sangat tinggi (supernormal profit), bersifat spekulatif, dan memberikan dampak bagi ekonomi yang berkelanjutan.

Satu hal yang pasti, ketidakhadiran windfall tax membuat ekonomi bertumbuh secara eksklusif, membentuk enclave economy, sekaligus menyuburkan ketimpangan.

Penelusuran atas ketujuh aspek di atas memperlihatkan pajak turut mendorong produktivitas ekonomi. Namun, sayangnya, kurang berpihak bagi keadilan.

Produktivitas ekonomi yang tinggi belum tentu memberikan efek limpahan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Kekayaan dan penghasilan justru kian terkonsentrasi pada kelompok dan individu tertentu.

Prinsip keadilan dalam sistem pajak menjadi salah satu bahasan dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Buku setebal 629 halaman ini disusun oleh para periset DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA).

Buku ini disunting langsung oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, serta Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji. Tertarik membaca buku ini? Silakan membacanya di Perpajakan ID atau kunjungi langsung DDTC Library!

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.