ANALISIS TRANSFER PRICING

Sektor Pertambangan Rawan Manipulasi Transfer Pricing?

Redaksi DDTCNews
Senin, 14 Oktober 2019 | 14.40 WIB
ddtc-loaderSektor Pertambangan Rawan Manipulasi Transfer Pricing?
DDTC Consulting

SEKTOR pertambangan, salah satunya pertambangan batu bara, memang menjadi salah satu sektor yang selalu menjadi perhatian khusus bagi pemerintah. Beberapa waktu lalu, sektor pertambangan batu bara kembali diterpa berbagai isu negatif.

Isu tersebut mulai dari film dokumenter Sexy Killers yang mengungkap berbagai kerugian dari industri batu bara, laporan indikasi penghindaran pajak Global Witness terhadap salah satu pemain besar batu bara di Indonesia, dukungan pencabutan aturan domestic market obligation, dan berbagai isu lainnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melihat sektor pertambangan ini sektor yang rawan praktik korupsi, salah satunya penghindaran pajak. KPK pernah mencatat kekurangan pembayaran pajak tambang di kawasan hutan sebesar Rp15,9 triliun per tahun. (DDTCNews, 2019),

Bahkan hingga 2017, tunggakan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor mineral dan batu bara mencapai Rp25,5 triliun. Hal tersebut tersebut menunjukkan banyaknya potensi pendapatan negara yang hilang dari tahun ke tahun.

Berbagai isu negatif ini menjadi tantangan fiskal tersendiri, salah satunya terkait dengan praktik transfer pricing. Dalam kasus ini, perusahaan multinasional dianggap selalu meminimalisasi jumlah pajaknya melalui rekayasa harga yang ditransfer, khususnya pada entitas afiliasi di luar negeri.

Rekayasa ini cenderung merelokasi penghasilan secara global pada low tax country dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah lebih besar pada high tax country (Yoesoef, 2011).

Memang, sebagian besar investasi sektor pertambangan di negara sumber, seperti Indonesia, didominasi modal asing. Kenyataan ini menyebabkan sektor mineral dan batu bara yang diproduksi berorientasi ekspor ke negara asal investor. Hal ini sehubungan dengan sebagian besar hasil pertambangan merupakan bahan baku industri manufaktur yang membutuhkan pengolahan lebih lanjut.

Berdasarkan Shay (2017), terdapat dua tantangan besar di sektor pertambangan terkait dengan transfer pricing yang dilakukan perusahaan multinasional, yaitu penentuan harga jual dan upaya meminimalisasi pajak di negara sumber melalui perubahan skema rantai suplai secara keseluruhan.

Terkait dengan penentuan harga jual atas hasil produk yang ditambang, khususnya atas transaksi penjualan kepada pihak afiliasi yang berada di luar negeri, penentuan kewajaran atas harga jual produk tersebut pada dasarnya sangat sulit diidentifikasi.

Hal ini disebabkan karakteristik produk tersebut, khususnya spesifikasi atas kualitas dan kandungan dalam produk tersebut. Sebagai contoh, kandungan kalori, air, abu, dan sulfur pada batu bara pasti berbeda-beda.

Produk lainnya seperti bijih besi juga pasti memiliki kandungan silika dan alumina yang berbeda. Setiap spesifikasi tersebut tentu memiliki pengaruh dalam pemrosesan dan pengirimannya sehingga secara langsung dapat memengaruhi harga jual.

Meskipun ada harga acuan pasar seperti indeks Platts, dalam menentukan kewajaran harga tetap harus memperhatikan faktor kesebandingan antara produk yang dijual dan harga pasar itu, baik dalam kontrak, karakteristik produk, analisis fungsional, strategi bisnis, dan situasi ekonomi (OECD, 2017).

Untuk skema rantai suplai secara keseluruhan dalam grup multinasional, berbagai transaksi seperti pemberian jasa manajemen, pemasaran, atau biaya royalti penggunaan teknologi, keterampilan, dan merek dagang atau reputasi juga menjadi tantangan tersendiri dalam mengatasi penghindaran pajak.

Dalam kondisi ini, skema pemberian jasa dilakukan entitas induk di luar negeri ke perusahaan tambang di negara penghasil sumber daya alam. Upaya ini umumnya lazim dilakukan, tetapi tidak semata untuk meminimalisasi pajak, tetapi terkait dengan fokus, efisiensi, dan sinergi bisnis.

Sebagai contoh, banyak konsumen yang memiliki standar pengelolaan lingkungan hidup yang tinggi menuntut jaminan atas produk yang dibeli. Misalnya batu bara, jika perusahaan menjual batu bara kualitas rendah dengan abu dan sulfur yang tinggi, perlu negosiasi untuk menjual produk tersebut. Tanpa peran afiliasi yang memberikan jasa negosiasi itu, seperti jasa pemasaran, ada kemungkinan perusahaan tidak dapat menjual batu bara itu.

Kondisi ini menunjukkan diperlukan pengetahuan yang tinggi atas sifat dan karakteristik produk, perumusan strategi pemasaran, dan formula harga yang sesuai dengan kondisi aktual, dan lainnya. Karena itu, diperlukan uji eksistensi dan manfaat atas skema transaksi jasa yang dilakukan, selain melakukan upaya benchmarking atas kewajaran transaksi tersebut.

Pengetahuan perusahaan multinasional secara teknis tentang industri yang dijalankannya tentu menimbulkan tantangan tersendiri bagi negara sumber, khususnya otoritas pajak. Adanya asimetri informasi dalam proses penentuan harga dan data aktual yang digunakan juga menjadi tantangan dalam menentukan kewajaran harga yang ditransaksikan.

Komposisi Royalti
DI Indonesia sendiri, telah berlaku penerapan Harga Patokan Batu Bara ataupun Harga Patokan Mineral yang harus digunakan bagi setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan Produksi Mineral dan Batu Bara.

Penerapan ini untuk menjaga tingkat penerimaan negara dari sektor usaha pertambangan melalui pembayaran royalti atas produk yang dijual. Namun, apakah besaran royalti yang ditetapkan tersebut sudah layak untuk Indonesia sebagai pemilik dan penghasil sumber daya alam yang dieksploitasi?

Kenyataannya, komposisi royalti tersebut jauh lebih besar untuk penambang dibanding untuk negara yang hanya 13,5%. Pengaturan ulang komposisi royalti itu perlu dikaji untuk membuat keputusan yang lebih pro domestik sehingga membawa manfaat yang sebesar-besarnya untuk masyarakat.

Selain itu, kerja sama dengan pakar dalam industri dan surveyor independen dalam pengawasan tambang juga dapat mendukung pemerintah dalam meningkatkan devisa serta dapat menjadi solusi dan peluang besar bagi peningkatan pendapatan pajak dan royalti.

Kerja sama ini dilakukan mengingat pola kontrol surveyor independen yang mampu melakukan verifikasi di lapangan secara langsung sehingga volume dan jenis ekspor mineral dan batu bara dapat dikontrol dengan baik.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.