ANALISIS PAJAK

Menimbang Progresivitas PPh OP Indonesia

Redaksi DDTCNews
Jumat, 13 September 2019 | 11.15 WIB
ddtc-loaderMenimbang Progresivitas PPh OP Indonesia
DDTC Fiscal Research.

PROGRESIVITAS dalam pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) mencerminkan bagaimana suatu negara mendistribusikan beban pajak pada setiap lapisan masyarakat. Selain untuk mengoptimalkan penerimaan, progresivitas juga digunakan untuk mengatasi ketimpangan penghasilan.

Dengan demikian, beban pajak dikenakan berdasarkan kemampuan membayar (Atkinson, Piketty, dan Saez, 2011). Pada umumnya, tarif berjenjang untuk kelompok penghasilan (tax bracket) tertentu digunakan sebagai fitur utama dalam menciptakan PPh OP yang progresif (Bird, 2013).

Di Indonesia, jenjang tarif tersebut tidak berubah sejak 2009 sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan. Meskipun Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah beberapa kali disesuaikan, tax bracket dan tarif yang ditetapkan tidak mengalami perubahan.

Padahal, progresivitas sistem pajak secara keseluruhan akan terus menurun secara alami seiring dengan berjalannya waktu (Gerber et al, 2018). Penurunan ini salah satunya disebabkan oleh inflasi sehingga penghasilan riil (real income) dari tiap tax bracket otomatis menurun. Akibatnya, tarif pajak yang sama akan semakin menyasar masyarakat yang memiliki real income lebih rendah.

Selain itu, kecenderungan menurunnya progresivitas sistem pajak juga diakibatkan meningkatnya daya beli masyarakat serta bertambahnya proporsi penghasilan yang berasal dari modal sehingga dikenakan tarif final yang lebih rendah (OECD, 2014).

Konsentrasi Progresivitas
DALAM menggambarkan progresivitas tarif PPh OP secara sederhana, Pigou (1928) menawarkan pendekatan yang masih sering menjadi acuan hingga saat ini, yaitu dengan melihat tambahan tarif efektif seiring bertambahnya penghasilan.

Dengan metode tersebut, terlihat di Indonesia progresivitas tarif yang relatif tinggi dialami individu berpenghasilan di bawah Rp1 miliar per tahun. Selanjutnya, progresivitas terus mengalami penurunan dan sudah hampir tidak dialami lagi oleh individu berpenghasilan di atas Rp2 miliar per tahun.

Dengan menggunakan asumsi seseorang tidak kawin. tanpa tanggungan, serta mengecualikan penghasilan yang dikenakan tarif final, progresivitas terbesar dialami kelompok individu berpenghasilan Rp100-200 juta per tahun. Kelompok tersebut mengalami kenaikan tarif efektif rata-rata 0,57% atas setiap kenaikan penghasilan Rp10 juta per tahun.

Progresivitas terbesar berikutnya dialami kelompok berpenghasilan Rp300-400 juta per tahun dengan kenaikan tarif efektif rata-rata 0,33% untuk kenaikan penghasilan yang sama. Sementara itu, pada individu berpenghasilan Rp580 juta ke atas per tahun, progresivitas terus mengalami penurunan secara konsisten mendekati nol.

Sebagai contoh, individu berpenghasilan Rp1 miliar–2 miliar per tahun hanya mengalami kenaikan tarif efektif rata-rata 0,04% setiap kenaikan penghasilan Rp10 juta. Dapat disimpulkan, progresivitas PPh OP di Indonesia sangat terkonsentrasi pada kelompok penghasilan Rp54 juta–Rp600 juta per tahun.

Tiga Fitur
BAGAIMANA seharusnya kebijakan PPh OP mencerminkan progresivitas yang ideal? Menjawab pertanyaan ini bukan perkara mudah. Setiap perubahan tarif memiliki dampak yang berbeda-beda di setiap kelompok penghasilan mengingat karakteristik individu sangat bervariasi (Holmes, 2001).

Meskipun demikian, setidaknya ada tiga perubahan fitur yang dapat dipertimbangkan pemerintah untuk mendistribusi progresivitas PPh OP dan menjaga keseimbangan antara tujuan penerimaan pajak dan menjaga daya beli masyarakat.

Pertama, meningkatkan serta memperlebar tax bracket untuk setiap kelompok tarif. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, nilai riil dari setiap kelompok penghasilan akan terus menurun. Selain itu, progresivitas PPh OP terpusat di kelompok penghasilan di bawah Rp600 juta per tahun.

Peningkatan dan pelebaran tax bracket pada setiap kelompok tarif akan meredistribusi progresivitas secara lebih merata serta mempertahankan real income yang sama pada setiap jenjang tarif (Tanzi, 1980).

Praktik serupa cukup lazim diterapkan di berbagai negara, misalnya Italia, Meksiko, Chile, Lithuania, Turki, Korea Selatan, dan Slovakia (OECD, 2019). Negara-negara tersebut melakukan penyesuaian tax bracket setiap beberapa tahun sekali agar kesesuaian dengan daya beli masyarakat terjaga. Di Indonesia, langkah serupa juga sepertinya sudah menjadi agenda pemerintah dalam waktu dekat.

OECD (2013) meyakini pelebaran tax bracket akan menurunkan tambahan tarif pajak efektif (marginal effective tax rate) terhadap kelompok penghasilan menengah sehingga akan memacu pertumbuhan persediaan tenaga kerja atau produktivitas dan investasi padat karya.

Kedua, dibutuhkan adanya tax bracket dan tarif yang baru untuk kelompok penghasilan sangat tinggi. Perubahan ini dibutuhkan mengingat perlunya mempertahankan progresivitas seiring bertambahnya penghasilan. Dibandingkan dengan negara lain, tarif teratas PPh OP di Indonesia juga masih di bawah rata-rata dunia (30,8%) maupun G-20 (38,6%) (World Bank, 2019).

OECD (2014) juga mendapati terdapat kecenderungan semakin kaya seseorang, semakin besar proporsi penghasilan yang berasal dari modal sehingga dikenakan tarif lebih rendah. Dengan kata lain, tarif pajak efektif bagi individu berpenghasilan tinggi cenderung menurun.

Ketiga, pemberian fitur komponen pengurang atas biaya personal (personal deductibles) dalam perhitungan penghasilan kena pajak. Komponen ini akan membantu progresivitas lebih mencerminkan kemampuan membayar seseorang. Desain seperti ini cukup banyak diterapkan di berbagai negara, misalnya Australia, Korea Selatan, Amerika Serikat, Kanada, Albania, Argentina, Brazil dan berbagai negara di Eropa (IBFD, 2019).

Ruang lingkup komponen personal deductibles dapat mencakup pengeluaran yang dianggap pokok dan mudah dimonitor serta dibuktikan, misalnya biaya pendidikan dan kesehatan yang tidak ditanggung pemerintah, sumbangan, pengeluaran bagi individu yang memiliki disabilitas, dan lain-lain (Avi-Yonah et al, 2011).

Pertimbangan ketiga fitur di atas tentu akan menambah kerumitan dan tantangan baru. Merujuk pada konsep yang dibangun Schumpeter (1942), perubahan positif memang seringkali menimbulkan disrupsi sesaat, tetapi tetap harus dilakukan untuk kebaikan jangka panjang.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Agus Puji Priyono
baru saja
Treshold pengenaan pajak seharusnya dievaluasi secara berkala termasuk lapisan tarif pph progresif
user-comment-photo-profile
Parluhutan Hutahaean
baru saja
tulisannya mantap semoga jd perhatian Kemenkeu cq BKF dan Ditjen Pajak