MASIH terbayang jelas dalam ingatan publik bagaimana dampak Panama Papers pada 2016. Perdana Menteri Islandia Sigmundur Gunnlaugsson dipaksa mundur. Tidak sendiri, PM Pakistan Nawaz Sharif juga mengundurkan diri dan dipenjara akibat penggelapan pajak yang dilakukan keluarganya.
Dalam skala yang lebih luas, situasi politik di beberapa negara pun memanas setelah beberapa media memublikasikan hasil investigasi yang bersumber dari bocornya 11,5 juta dokumen milik salah satu firma hukum yang berlokasi di negara tax haven tersebut.
Penyebarluasan indikasi pelanggaran pajak kepada publik semacam ini dikenal juga sebagai naming & shaming. Melalui penyebutan identitas dan indikasi ketidakpatuhan pajak yang dilakukannya,naming & shaming bertujuan mengubah perilaku wajib pajak.
Umumnya, praktik ini diwakilkan oleh media atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) melalui berbagai riset jurnalistik dan investigasi. Namun, pada beberapa kasus terkait pajak, pemerintah juga mulai menerapkan teknik ini.
Salah satu contohnya ialah Kementerian Keuangan Brazil yang memublikasikan daftar 500 wajib pajak ‘nakal’ di situs webnya sejak 2015. Bagaimana sebetulnya pro dan kontra naming & shaming untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak? Lalu, aspek apa saja yang menjadi isu dalam penerapannya?
Pandangan ProÂ
TIDAK dapat dimungkiri, naming & shaming merupakan salah satu instrumen berbiaya rendah untuk mengumpulkan penerimaan negara (Luttmer & Singhal, 2014). Intervensi berbasis norma sosial semacam ini juga menuntut wajib pajak agar menjadi lebih bermoral dalam memenuhi kewajiban pajaknya (Hallsworth et al, 2017).
Praktik ini juga menyasar perencanaan pajak agresif yang belum dapat diatasi secara hukum dikarenakan ketidakpaduan regulasi sistem pajak antarnegara. Terlebih, seringkali aturan hukum berupa ketentuan anti-penghindaran pajak juga belum mampu ‘mengejar’ dinamisnya perubahan model bisnis yang menyebabkan skema perencanaan pajak agresif tersebut. Dengan demikian, para pelaku yang terindikasi menghindari pajak tidak akan dianggap melakukan tindakan yang ilegal karena hanya memanfaatkan ‘celah’ regulasi.
Meskipun tidak mencederai aspek hukum, aktivitas perencanaan pajak agresif ini sendiri telah melanggar hakikat dan ‘spirit’ dari pembentukan hukum pajak (Lenz, 2018). Naming & shaming kemudian hadir dalam kondisi ketidakmampuan hukum pajak untuk mencegah skema penghindaran pajak. Utamanya, dengan menyasar aspek moralitas dari para wajib pajak.
Lebih lanjut, terlepas dari perdebatan moralitas dalam pajak, mayoritas para pemangku kepentingan sepakat bahwa membayar pajak sesuai dengan kontribusi yang tepat merupakan bentuk tanggung jawab secara sosial (HMRC, 2018).
Oleh karena itu, praktik ini dapat juga dapat mendorong wajib pajak−terutama perusahaan−agar mengubah perilaku bisnisnya, khususnya pajak. Tujuannya tidak lain ialah untuk memperoleh reputasi yang baik di tengah tuntutan sektor pajak yang semakin transparan.
Pandangan Kontra
MESKIPUN menjadi suatu instrumen yang digunakan untuk mengidentifikasi dan menangkal perilaku ketidakpatuhan, naming & shaming juga tidak luput dari kritik. Kritik pertama berkaitan dengan keandalannya.
Seringkali, penilaian dilakukan oleh pihak yang belum tentu memiliki otoritas dalam mengidentifikasi perilaku perencanaan pajak. Dengan demikian, akan terdapat potensi terjadinya pembayaran pajak yang tidak mengacu pada ketentuan pajak yang berlaku serta pelanggaran supremasi hukum oleh pihak yang tidak berwenang (Darussalam dan Kristiaji, 2017).Â
Lebih lanjut, pihak yang kontra juga menyatakan bahwa praktik ini dapat mengakibatkan distorsi dalam perekonomian. Umumnya, kondisi semacam ini disebabkan oleh putusan perusahaan untuk menunda investasinya karena harus mengeluarkan biaya demi menjaga kredibilitas di mata publik (Dwenger & Treber, 2018).
Sebagaimana diketahui, ternodanya nama baik perusahaan dapat berdampak pada kinerja dan posisi keuangannya, terutama dengan adanya ‘penggiringan isu’ oleh pihak tertentu melalui naming & shaming. Dengan demikian, praktik ini justru akan berdampak kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi.
Isu Implementasi
TERLEPAS dari polemiknya, setidaknya terdapat 4 aspek yang menjadi isu dalam pengimplementasian naming & shaming. Pertama, aspek hukum. Seyogianya, pengungkapan ke publik terkait dengan indikasi pelanggaran pajak tidak boleh mencederai kepastian hukum (Kristiaji, 2016).
Sebagai contoh, besaran pajak terutang yang diungkapkan ke publik tidak boleh berupa nilai yang sedang dalam proses sengketa. Aspek ini juga akan menjamin perlindungan terhadap hak-hak wajib pajak.
Kedua, dampaknya terhadap kepatuhan. Otoritas pajak yang ingin menerapkan teknik penyebarluasan indikasi ketidakpatuhan ini harus sangat mempertimbangkan karakteristik risiko kepatuhan wajib pajaknya. Apabila salah sasaran, motivasi wajib pajak yang awalnya ingin patuh secara sukarela justru akan turun (Alm et al, 2016).
Bagi mereka yang patuh, naming & shaming akan dianggap sebagai bentuk ‘ancaman’ yang dilakukan oleh pemerintah, terutama apabila mereka tidak diperkenankan merespons informasi yang disebar ke publik. Pada akhirnya, teknik ini justru menjadi penghambat tercapainya tujuan otoritas pajak untuk meningkatkan kepatuhan.
Ketiga, peran sistem whistleblowing sebagai mekanisme pelaporan kepada otoritas pajak tentang wajib pajak lainnya yang terindikasi melakukan ketidakpatuhan pajak. Meskipun sering diasosiasikan dengan whistleblowing, naming & shaming sejatinya berbeda.
Naming & shaming umumnya baru akan digunakan apabila sistem whistleblowing kepada pihak yang berwenang tidak tersedia ataupun tidak berjalan dengan semestinya (Hodges, 1998). Oleh karena itu, prosedur whistleblowing system yang berkepastian hukum, kuat, dan dengan standar yang jelas justru akan mengurangi intensitas naming & shaming.
Keempat, antisipasi yang dapat dilakukan perusahaan untuk menjaga reputasi perusahaan. Dengan maraknya naming & shaming, perusahaan juga diharapkan untuk menjamin bahwa fungsi perpajakan yang dilakukannya telah bersifat legal dan etis.
Pengelolaan atas hal tersebut dikenal juga sebagai tax assurance (Russo, 2015). Contohnya ialah menjaga kredibilitas laporan perpajakannya melalui pembentukan dewan pengawas yang dapat meninjau sensitivitas transaksi perpajakan dalam tata kelola keuangannya.
Pada akhirnya, praktik naming & shaming dalam konteks pajak masih menjadi pro-kontra walau otoritas pajak beberapa negara telah menjadikannya sebagai salah satu bentuk sanksi alternatif (OECD, 2017). Selain terdapat kerumitan dan subjektivitas dalam menetapkan standar dalam praktiknya, efektivitas teknik ini untuk mengubah perilaku kepatuhan wajib pajak juga masih menjadi pertanyaan.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.