SALAH satu tren global PPN yang kerap diperbincangkan saat ini adalah penggunaan lebih dari satu tarif atau multitarif (multiple rates). Sebagaimana diketahui, selain tarif yang berlaku secara umum, berbagai negara juga mengenakan tarif khusus terhadap barang dan/atau jasa kena pajak tertentu.
Kebijakan tersebut tentunya berbeda dengan Indonesia yang sampai saat ini masih menganut tarif tunggal (single rate) dalam sistem PPN-nya sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN.
Lantas, apakah yang dimaksud dengan tarif tunggal dan multitarif dalam PPN?
Pengertian
TARIF tunggal dalam PPN memiliki arti hanya ada satu tarif bersifat seragam (uniform rates) yang berlaku dalam sistem PPN. Penggunaan istilah ini dengan mengesampingkan tarif 0% untuk ekspor (Tait, 1988).
Sementara itu, menurut Bird dan Gendron (2007), istilah tarif tunggal dalam PPN sebenarnya berarti terdapat dua tarif karena ada tarif 0% yang harus diterapkan dalam pengenaan PPN atas ekspor. Dengan demikian, tarif tunggal terdiri atas tarif standar yang berlaku secara umum dan tarif 0% khusus untuk PPN atas ekspor.
Selanjutnya, multitarif dalam PPN berarti terdapat lebih dari satu tarif yang diberlakukan dalam sistem PPN. Oleh Ebril, et al (2001), tarif ini disebut dengan rate differentiation. Dengan kata lain, selain tarif standar yang berlaku secara umum, terdapat tarif PPN lainnya yang diberlakukan secara khusus. Tarif tersebut bisa berupa penurunan tarif (reduced rate) atau justru tarif yang lebih tinggi.
Tarif Tunggal atau Multitarif?
TERKAIT dengan penerapan di antara keduanya, para ahli berpendapat PPN seharusnya menggunakan tarif tunggal (Bird dan Gendron, 2007). Bahkan, Cnossen menyebut sistem PPN yang terbaik adalah sistem PPN yang memberlakukan satu tarif seragam atas penyerahan barang dan jasa di dalam negeri (Cnossen, 2017).
Konsep dasar yang melatarbelakangi pendapat tersebut tidak lain dikarenakan tarif tunggal dalam PPN dinilai memiliki beberapa kelebihan dibandingkan penerapan multitarif. Pertama, biaya administrasi dan kepatuhan dari penggunaan tarif tunggal akan jauh lebih rendah karena hanya terdapat satu tarif atas seluruh transaksi. Sebaliknya, penerapan multitarif akan berisiko terhadap kesalahan penerapan tarif. Selain itu, pengadministrasian atas setiap transaksi pun menjadi lebih sulit (Cnossen, 2004).
Kedua, penerapan tarif tunggal yang seragam dianggap sebagai instrumen yang unggul untuk mempertahankan tingkat efisiensi ekonomi dan mengurangi distorsi. Sebaliknya, berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Copenhagen Economics mengenai fungsi dari sistem PPN di negara-negara anggota Uni Eropa pada 2007, penerapan multitarif PPN telah menyebabkan negara-negara anggota mengalami penurunan penerimaan fiskal (Antić, 2014).
Sementara itu, Roger Douglas, mantan Menteri Keuangan Selandia Baru, menyatakan pada faktanya, kunci utama untuk menciptakan kemudahan dalam penerapan PPN adalah melalui penerapan PPN dengan tarif tunggal dan tanpa adanya pembebasan atau pengecualian PPN.
Argumen yang diungkapkan Douglas tersebut sangat mendukung penggunaan tarif tunggal dalam PPN dan tarif 0% khusus untuk ekspor serta membatasi pembebasan PPN. Semakin sedikit penerapan PPN dengan multitarif maka akan semakin baik sistem PPN (Tait, 1988).
Meskipun demikian, Ebrill, Keen, Bodin, dan Summer (2001) berpandangan penerapan multiple rates juga dapat memberikan beberapa manfaat. Itulah sebabnya tidak semua negara setuju untuk menerapkan PPN dengan tarif tunggal.
Pertama, Efisiensi. Penerapan tarif PPN yang berbeda-beda atas objek yang berbeda dinilai dapat menciptakan efisiensi. Gagasan inilah yang mendasari terciptanya kebijakan yang dikenal dengan istilah “aturan elastisitas terbalik”.
Artinya, penerapan tarif PPN lebih rendah atas komoditas dengan tingkat permintaan elastis. Sementara itu, atas komoditas dengan tingkat permintaan yang tidak elastis, diterapkan tarif yang lebih tinggi.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk meminimalisasi dampak pengenaan pajak terhadap pola konsumsi sehingga dapat menciptakan efisiensi dalam pengenaan PPN. Selain itu, adanya rentang yang luas antara tarif PPN tertinggi dan tarif PPN terendah dianggap mampu menghasilkan penerimaan yang lebih tinggi.
Kedua, Keadilan. Merupakan alasan yang dianggap paling penting mengapa seharusnya terdapat lebih dari satu tarif yang diterapkan dalam PPN. Contohnya, dengan menerapkan tarif PPN yang berbeda atas barang yang hanya dapat dikonsumsi oleh pihak-pihak yang mempunyai penghasilan tinggi. Dengan demikian, penerapan tarif PPN yang berbeda-beda dapat menjamin terciptanya distribusi penghasilan yang adil.
Berdasarkan pada website resmi Uni Eropa, saat ini, hampir semua negara anggota Uni Eropa menggunakan multitarif dalam sistem PPN-nya. Sebagai contoh, Austria dan Prancis yang memberlakukan reduced rate untuk barang dan jasa kena pajak tertentu.
Di Austria, tarif standar yang berlaku adalah sebesar 20%. Sementara itu, reduced rate sebesar 10% diberlakukan atas barang dan jasa yang merupakan kebutuhan dasar, seperti bahan makanan (tidak termasuk minuman beralkohol), produk farmasi, atau transportasi penumpang (tidak termasuk penerbangan domestik). Kemudian, reduced rate sebesar 13%, misalnya atas pakan ternak atau penerbangan domestik (EY Global, 2021).
Sama halnya dengan Austria. Di Prancis, selain tarif standar sebesar 20%, terdapat beberapa reduced rate yang berlaku. Tarif sebesar 2,1% misalnya atas produk farmasi, 5,5% atas bahan makanan, dan 10% atas akomodasi hotel (EY Global, 2021). Simak ‘Ini Daftar Negara yang Menerapkan PPN Multitarif’.
Terlepas dari keunggulan masing-masing tarif, pada dasarnya, tidak terdapat konsensus khusus dalam mengatur kebijakan tarif yang harus diterapkan. Dengan demikian, tiap negara berwenang menentukan sendiri struktur tarif seperti apa yang digunakan (Darussalam, Septriadi, dan Dhora, 2018). Umumnya, pemilihan kebijakan tarif PPN ini akan disesuaikan dengan kebutuhan serta kondisi dari masing-masing negara.