KEBIJAKAN PAJAK

PMK Pajak Natura Masih Disusun, Ini Catatan yang Perlu Jadi Perhatian

Dian Kurniati | Rabu, 12 April 2023 | 18:45 WIB
PMK Pajak Natura Masih Disusun, Ini Catatan yang Perlu Jadi Perhatian

Tim Ahli Kebijakan Pajak Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) B. Bawono Kristiaji dan Ketua Tax Center Universitas Pamulang (Unpam) sekaligus relawan pajak nonmahasiswa Wahyu Nurul Hidayati.

JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah dinilai perlu mengutamakan prinsip keadilan dalam menyusun ketentuan teknis mengenai pajak atas natura dan/atau kenikmatan.

Tim Ahli Kebijakan Pajak Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) B. Bawono Kristiaji mengatakan imbalan berupa natura dan/atau kenikmatan sebagai objek pajak telah diatur dalam UU 7/2021. Namun, ketentuan teknis mengenai natura dan/atau kenikmatan baru akan dituangkan dalam PMK.

"Kita berharap desainnya nanti dapat dikembalikan kepada tujuan awal, yaitu aspek-aspek keadilan," katanya dalam IG Live CERPEN oleh @relawanpajakbanten, Rabu (12/4/2023).

Baca Juga:
Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

Bawono menuturkan pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan berkaitan erat dengan prinsip keadilan. Berdasarkan studi komparasi, 190 dari 214 negara di dunia sudah menerapkan pajak atas natura dan/atau kenikmatan demi menciptakan sistem pajak yang lebih adil.

Meski demikian, penyusunan ketentuan teknis soal pajak atas natura dan/atau kenikmatan memang tergolong rumit. Selain itu, praktik pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan di dunia pun berbeda-beda.

Dalam konteks Indonesia, ia menilai setidaknya ada 4 hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam menyusun PMK mengenai pajak atas natura dan/atau kenikmatan. Pertama, menetapkan objek pajak atas natura dan/atau kenikmatan secara jelas.

Baca Juga:
Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

Berdasarkan pada UU HPP dan PP 55/2022, Indonesia dalam mengatur pajak atas natura dan/atau kenikmatan menganut sistem negative list sehingga selain yang diatur dalam kedua peraturan tersebut akan menjadi objek pajak.

Di sisi lain, banyak negara justru menganut skema positive list sehingga lebih memberikan kepastian bagi wajib pajak sekaligus menghindari multi-interpretasi.

Kedua, memastikan prinsip simetris tetap berjalan. Dengan UU HPP, natura dan/atau kenikmatan akan menjadi objek pajak yang dibebankan kepada wajib pajak pekerja, sedangkan bagi pemberi kerja dapat membiayakannya.

Baca Juga:
Beralih Pakai Tarif PPN Umum, PKP BHPT Harus Beri Tahu KPP Dahulu

Merujuk pada Pasal 23 ayat (2) PP 55/2022, natura dan/atau kenikmatan hanya dapat dibiayakan jika merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (3M). Untuk itu, perlu ketentuan yang lebih jelas mengenai hal ini sehingga prinsip simetris tetap berjalan.

Ketiga, mengenai valuasi atas natura dan/atau kenikmatan yang diberikan kepada pekerja. PP 55/2022 telah menyatakan penilaian atas natura berdasarkan nilai pasar, sedangkan penilaian atas kenikmatan didasarkan pada jumlah biaya yang dikeluarkan atau seharusnya dikeluarkan pemberi kerja.

Dalam hal ini, pemerintah perlu mengatur secara terperinci mengenai tata cara penghitungannya agar tidak menimbulkan sengketa.

Baca Juga:
PMK Terbit! Kemenkeu Atur Mekanisme Pemberian Insentif Pajak di IKN

"Kalau semisal pihak pemberi kerja yang ditunjuk melakukan valuasi self asesment dan kemudian berbeda pandangan dengan kantor pajak, ini bisa berpotensi dispute. Bagaimana untuk menjamin itu [tidak terjadi]," ujar Bawono.

Keempat, PMK perlu memuat soal batasan nilai atau threshold demi memastikan pajak atas natura dan/atau kenikmatan dapat berjalan secara adil. Ketentuan soal threshold juga dipergunakan di banyak negara sehingga pajak ini menyasar secara efektif kepada kelompok yang menjadi target, semisal direksi perusahaan.

Selain keempat hal itu, Bawono juga menjelaskan pentingnya pengadministrasian pajak atas natura dan/atau kenikmatan secara sederhana. Sebab, kewajiban pemotongan pajak atas natura dan/atau kenikmatan yang diserahkan kepada pemberi kerja mulai tahun ini berpotensi menimbulkan biaya baru.

Baca Juga:
Simplifikasi Withholding Tax, Dewan Eropa Sepakati FASTER Initiative

Di sisi lain, lanjutnya, tak menutup kemungkinan perusahaan juga perlu melakukan renegosiasi dengan pekerja karena pajak atas natura dan/atau kenikmatan dapat berdampak pada penghasilan yang diterima pekerja.

"Kalau semisal pemerintah dalam mendesain peraturan teknis ini tidak tepat atau ideal, hati-hati ini bisa mendistorsi hubungan antara pemberi kerja dan pekerja," tuturnya.," tuturnya.

Sebagai informasi, dalam IG Live CERPEN tersebut, Bawono ditemani Ketua Tax Center Universitas Pamulang (Unpam) sekaligus relawan pajak nonmahasiswa Wahyu Nurul Hidayati. (rig)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 17 Mei 2024 | 20:35 WIB HUT KE-17 DDTC

Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Beralih Pakai Tarif PPN Umum, PKP BHPT Harus Beri Tahu KPP Dahulu

BERITA PILIHAN
Jumat, 17 Mei 2024 | 20:35 WIB HUT KE-17 DDTC

Bagikan Buku Baru, Darussalam Tegaskan Lagi Komitmen DDTC

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:51 WIB UNIVERSITAS SEBELAS MARET (UNS)

KAFEB UNS, Wadah Alumni Berkontribusi untuk Kampus dan Indonesia

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Nilai Pabean atas Bea Masuk Impor Ventilator

Jumat, 17 Mei 2024 | 19:45 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Beralih Pakai Tarif PPN Umum, PKP BHPT Harus Beri Tahu KPP Dahulu

Jumat, 17 Mei 2024 | 17:30 WIB SEJARAH PAJAK INDONESIA

Mengenal Pajak Usaha yang Dikenakan ke Pedagang di Era Mataram Kuno

Jumat, 17 Mei 2024 | 17:00 WIB KAMUS CUKAI

Apa Itu Dokumen CK-1 dalam Konteks Percukaian?

Jumat, 17 Mei 2024 | 16:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Setoran Pajak Kripto Tembus Rp689 Miliar dalam 2 Tahun Terakhir