LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2023

Persempit Tax Gap untuk Kerek Rasio Pajak Indonesia

Redaksi DDTCNews
Selasa, 19 September 2023 | 10.42 WIB
ddtc-loaderPersempit Tax Gap untuk Kerek Rasio Pajak Indonesia

Alamanda,

Tangerang Selatan, Banten

TAXATION is the price which civilized communities pay for the opportunity of remaining civilized.” Ungkapan yang disampaikan Albert Bushnell Hart tersebut cocok untuk menggambarkan betapa pentingnya perpajakan bagi pembangunan negara.

Perpajakan, yang merupakan sumber penerimaan negara terbesar untuk membiayai pengeluaran, sering kali menjadi tolak ukur keberhasilan kinerja pemerintah. Salah satu indikator yang sering digunakan adalah rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio.

Rata-rata tax ratio Indonesia dalam arti sempit –yang merupakan rasio antara penerimaan perpajakan dan PDB—selama 5 tahun terakhir (2018-2022) berada pada angka 9,56% (Kementrian Keuangan dan Katadata, 2023).

Meskipun sempat mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19, tax ratio Indonesia berhasil kembali ke level double digit pada 2022, yaitu sebesar 10,39%. Angka ini merupakan tax ratio tertinggi selama 7 tahun terakhir.

Namun demikian, tax ratio Indonesia pada saat ini masih terbilang sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, seperti Thailand (14,3%), Malaysia (11,2%), dan Filipina (13,1%) (The World Bank Data, 2023).

Setidaknya ada 3 faktor utama penentu besarnya tax ratio. Faktor-faktor ini merupakan tantangan sekaligus peluang untuk meningkatkan tax ratio Indonesia. Pertama, pilihan kebijakan perpajakan (tax policy option).

Tax gap Indonesia pada saat ini mencapai 8,5%. Persentase tersebut cukup besar karena Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mematok benchmark atau angka normal tax gap sebesar 3,6%. Cukup besarnya tax gap di Indonesia disebabkan adanya policy gap yang muncul.

Adapun policy gap itu muncul karena adanya kebijakan tertentu yang ‘mengorbankan’ penerimaan pajak dalam jangka waktu pendek (tax expenditure) ataupun karena kebijakan yang belum optimal (efficiency gap).

Sebagai contoh, kebijakan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) senilai Rp54 juta dan VAT threshold untuk pengusaha kena pajak senilai Rp4,8 miliar. Nilainya merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Hal ini menyebabkan potential loss penerimaan pajak sebagai akibat dari kebijakan.

Kedua, kapasitas administrasi perpajakan (tax administrative capacity). Administrasi perpajakan merupakan faktor penting. Hal ini dikarenakan peranan terbesar dalam penerimaan pajak berasal dari voluntary payment, yaitu sebesar 85%.

Oleh karena itu, upaya penguatan kepatuhan pajak (voluntary compliance) sangat dibutuhkan. Kondisi administrasi perpajakan Indonesia saat ini dapat digambarkan dari sisi jumlah wajib pajak dan sistem teknologi yang dimiliki Ditjen Pajak (DJP).

Walaupun terdapat peningkatan, jumlah wajib pajak dan pembayar pajak Indonesia relatif kecil jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja. Sistem teknologi informasi DJP makin out-of-date tetapi sedang dimodernisasi sebagai bagian dari agenda reformasi perpajakan.

Ketiga, struktur ekonomi Indonesia. Berdasarkan pada data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap PDB nasional adalah sebesar 60,5%. Sektor UMKM juga berperan besar dalam hal penyerapan tenaga kerja.

Selain itu, porsi sektor pertanian terhadap PDB Indonesia juga masih cukup besar, yaitu sekitar 13% (BPS, 2022). Hal ini mengindikasikan besarnya porsi sektor informal dalam perekonomian Indonesia yang notabene merupakan kelompok hard-to-tax dalam konteks perpajakan.

Disamping itu, sektor UMKM dan pertanian juga didominasi oleh komoditas yang umumnya tidak heavily taxed. Artinya, komoditas itu bukan objek pajak dan sebagian besar pelaku usahanya juga bukan merupakan wajib pajak karena berpenghasilan di bawah PTKP.

Strategi Optimalisasi Tax Ratio

SETIDAKNYA ada 2 agenda besar dalam upaya untuk mengoptimalkan tax ratio, yakni reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan.

Berdasarkan pada kajian International Monetary Fund (IMF), perbaikan kebijakan akan berpotensi menaikan tax ratio sebesar 3,5%. Pada saat ini, belanja pajak dari berbagai kebijakan pengecualian (tax exemption), pengurangan (tax deduction), dan kredit pajak mencapai jumlah yang cukup signifikan. Selain itu, terdapat kebijakan yang belum efisien atau optimal.

Upaya ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak dapat dilakukan dengan cara penambahan lapisan dan penerapan tarif PPh orang pribadi yang lebih progresif, penurunan VAT threshold dan PTKP, perbaikan skema pemajakan passive income, serta pembenahan kebijakan pada sektor prioritas, seperti high wealth individual, transaksi transfer pricing dalam perpajakan internasional, dan digital economy.

Terkait dengan reformasi administrasi perpajakan, dokumen Medium-term Revenue Strategy IMF menyatakan ada potensi peningkatan tax ratio sebesar 1,5% dalam periode 5 tahun. Oleh karena itu, akselerasi program reformasi administrasi perpajakan perlu dilakukan melalui upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) aparatur pajak, penguatan organisasi, dan pembaruan sistem teknologi informasi perpajakan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan.

Perbaikan administrasi perpajakan sebenarnya saat ini sedang dilakukan oleh DJP melalui proyek pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau yang dikenal dengan sebutan coretax system berdasarkan pada 5 pilar reformasi pajak.

Adapun kelima pilar itu adalah sumber daya manusia (SDM), organisasi, proses bisnis, teknologi informasi dan basis data, serta regulasi. Namun demikian, implementasi coretax system—yang rencananya mulai 2024—perlu diawasi, direviu, dan dievalusi dengan saksama. Harapannya, output dan outcome yang dihasilkan dapat optimal bagi peningkatan penerimaan dan kinerja perpajakan Indonesia.

Dengan melakukan reformasi kebijakan dan administrasi perpajakan yang komprehensif, tax gap diharapkan dapat diminimalisasi. Sejalan dengan hal tersebut, tax ratio dapat meningkat sehingga pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk mewujudkan pembangunan dan kesejahteraan Indonesia pada masa mendatang.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.

 

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.