DDTCNEWS TAX COMPETITION 2019

Perlunya Penegasan Perlakuan Pajak Peer to Peer Lending di Indonesia

Redaksi DDTCNews | Senin, 16 September 2019 | 11:55 WIB
Perlunya Penegasan Perlakuan Pajak Peer to Peer Lending di Indonesia

Atma Vektor Mercury & Muhammad Yusaka, PKN STAN

PEMERINTAH ingin menempatkan Indonesia sebagai negara ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Langkah ini sejalan dengan penerbitan Paket Kebijakan Ekonomi XIV yang menargetkan terciptanya 1.000 technopreneurs dengan valuasi bisnis US$10 miliar pada 2020.

Bagaimanapun, perkembangan teknologi informasi semakin pesat sehingga berdampak pada semua sektor dalam kehidupan masyarakat. Salah satu perkembangan yang tidak bisa disepelekan adalah tumbuhnya berbagai perusahaan penyedia layanan keuangan berbasis teknologi atau yang kerap disebut fintech.

Fintech merupakan penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menawarkan berbagai pilihan program layanan kepada penggunanya, seperti jasa asuransi, investasi, pembayaran, bahkan pinjaman. Hal tersebut mirip dengan aktivitas jasa keuangan konvensional. Perbedaannya, fintech dibuat agar penggunanya bisa mengakses seluruh layanan yang ditawarkan melalui gadget. Selain itu, ada efisiensi waktu dan penyederhanaan proses transaksi secara online.

Salah satu layanan yang ditawarkan oleh fintech adalah peer-to-peer (P2P) lending. P2P lending adalah praktik memberikan pinjaman uang kepada individu dengan cara menghubungkan antara peminjam dengan pemberi pinjaman atau investor secara online.

P2P lending terdiri dari tiga pihak. Pertama, penyelenggara layanan yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi. Kedua, penerima pinjaman (borrower) yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam meminjam uang. Ketiga, pemberi pinjaman (lender) yang menyediakan dana sebagai modal pinjaman.

Salah satu faktor bertumbuhnya industri P2P lending di Indonesia adalah mekanisme pinjaman secara online yang sangat mudah, cepat, dan menggiurkan dari sisi return. Di samping borrower bisa memperoleh pinjaman dengan mudah, lender pun bisa mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan instrumen investasi lain.

Dalam mekanisme P2P lending, lender biasanya mendapatkan rata-rata return 10%—15% per tahun. Angka ini jelas lebih tinggi daripada instrumen lain seperti tabungan dan deposito. Berdasarkan data yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada Juni 2019, jumlah akumulasi rekening lender mencapai total 498.824 rekening atau naik 140,39% dari akhir 2018 sebanyak 207.507 rekening.

P2P lending ini banyak dimanfaatkan oleh individu yang belum memiliki akses terhadap perbankan dan mampu menjadi solusi cepat atas pembiayaan individu maupun UMKM di Indonesia. Jumlah akumulasi rekening borrower, menurut data OJK, tercatat mencapai 9,74 juta rekening atau naik 123,51% dari akhir 2018 sebanyak 4,35 juta rekening. Hal ini menunjukan P2P lending mulai menjadi pilihan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pinjamannya.

Potensi Pajak

BERKEMBANGNYA industri fintech P2P lending merupakan bagian dari terbukanya Indonesia terhadap ekonomi digital. Hal ini dapat memberikan potensi penerimaan bagi pemerintah Indonesia dari sisi pajak. Bagaimana tidak, per juni 2019, penyaluran P2P lending telah mencapai Rp44,8 triliun atau meningkat 97,68% dibandingkan posisi akhir Desember 2018 senilai Rp22,6 triliun.

Nilai transaksi itu jelas berpotensi meningkatkan penerimaan negara. Dari perhitungan matematis kasar, dengan bunga yang diterima oleh lender sebesar 15% dapat disimpulkan terdapat potensi penghasilan yang dapat dipajaki sekitar Rp6 triliun tiap tahunnya. Nilai tersebut akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai pinjaman yang beredar.

Sayangnya, potensi pajak yang tinggi tersebut masih belum dibarengi dengan adanya regulasi yang mumpuni. Sampai saat ini, masih belum ada regulasi yang mengatur mengenai perpajakan industri fintech P2P lending di Indonesia.

Peraturan OJK No.77/POJK.01/2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi juga tidak memuat informasi mengenai perpajakan terhadap layanan pinjam meminjam uang berbasis online. Belum adanya kejelasan terkait dengan perlakuan perpajakan pada sektor ini tentu berisiko menghambat laju pertumbuhan industri maupun menghilangkan potensi pajaknya.

Pendapatan dari fintech P2P lending sendiri dapat dikategorikan sebagai pendapatan berupa bunga. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh), pendapatan bunga yang diperoleh dari lembaga nonperbankan dikenakan PPh pasal 23 sebesar 15%.

PPh Pasal 23 pada dasarnya bukan merupakan jenis pajak penghasilan, melainkan hanya mekanisme pelunasan PPh yang terutang dalam tahun berjalan. Mekanismenya dilakukan melalui pemotongan oleh wajib pajak atas penghasilan yang dibayarkan kepada pihak yang menerima penghasilan atau dapat disebut juga sebagai withholding tax.

Selama ini, masih belum adanya payung hukum yang jelas menyebabkan penyelenggara layanan P2P lending masih tidak mengetahui kewajibannya untuk memotong penghasilan bunga yang diberikan kepada lender. Kondisi tersebut, pada gilirannya, menyebabkan kewajiban perpajakannya berada pada lender sepenuhnya.

Dengan demikian, lender menghitung sendiri secara self assesment atas pajaknya dengan cara menambahkan pendapatan bunga yang didapatkan ke dalam penghasilan kena pajak mereka. Hal ini jelas berbeda dengan kegiatan pinjaman konvensional yang atas penghasilan bunga dipotong PPh pasal 23 oleh pihak yang membayarkan penghasilan tersebut.

Kondisi tersebut tentu akan membuka celah bagi lender untuk melakukan penghindaran pajak atas penghasilan bunga yang diterima dari kegiatan P2P lending. Oleh karena itu, perlu adanya penegasan terkait dengan mekanisme perpajakan di industri P2P lending ini.

Penyedia layanan sebagai perantara dapat dijadikan sebagai wajib pungut (wapu) untuk membantu negara mendapatkan potensi pajak. Ditunjuknya penyedia layanan sebagai wapu PPh pasal 23 akan mempermudah integrasi informasi atas profil wajib pajak dan penghasilan bunga yang diterima oleh lender.

Dengan demikian, mekanisme pemungutan ini dapat mengamankan penerimaan negara dalam tahun berjalan sekaligus memudahkan pengawasan dari penghasilan bunga pada kegiatan P2P lending dengan lebih efisien.

Bagaimanapun, industri fintech P2P lending semakin menunjukkan potensinya untuk berkembang lebih jauh di Indonesia. Pemerintah harus dapat memberikan penegasan terhadap mekanisme pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima dari industri P2P lending. Selain memberikan kepastian bagi industri, regulasi yang jelas diharapkan mampu mengoptimalkan pemungutan pajak.*

*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 25 Maret 2024 | 15:37 WIB KINERJA PERDAGANGAN

Transaksi e-Commerce Diprediksi Tembus Rp 1.730 Triliun pada 2025

Jumat, 15 Maret 2024 | 09:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tambah Lagi 4 Perusahaan Pemungut PPN PMSE, Ada Tencent Cloud

Rabu, 06 Desember 2023 | 18:44 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Pemerintah Siapkan 3 Fase Transformasi Digital Nasional Hingga 2045

Sabtu, 18 November 2023 | 12:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ekonomi Digital Tumbuh, Ada Peluang dan Tantangan ke Penerimaan Pajak

BERITA PILIHAN