Aksi 13 Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) menyatakan perusahaan multinasional tertentu wajib menyiapkan dokumentasi transfer pricing dalam bentuk country-by-country report (CbCR).
Alasannya, CbCR dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk mencegah praktik pengalihan laba. CbCR sendiri memuat berbagai informasi penting, seperti laba sebelum pajak, pajak yang dibayarkan, serta jumlah pegawai per negara.
Saat ini, akses terhadap CbCR hanya dapat diberikan kepada otoritas pajak yang kemudian bisa dipertukarkan dengan otoritas pajak negara mitra sesuai dengan Qualifying Competent Authority Agreement (QCAA).
Dengan kata lain, suatu CbCR perusahaan hanya bisa diakses terbatas pada otoritas pajak negara yang berwenang saja. Namun, dalam perkembangannya, permintaan CbCR untuk dapat diakses publik atau CbCR Publik (Public CbCR) justru terus meningkat.
Meski begitu, CbCR Publik ini menuai polemik lantaran kerahasiaan dagang perusahaan berpotensi terekspos. Pro-kontra CbCR Publik ini pernah dibahas dalam konferensi Foundation of International Taxation di Mumbai, India, yang dapat dibaca pada “Jika CbCR Bisa Diakses Publik, Apakah Negara Berkembang Akan Untung?”.
Pada praktiknya, implementasi CbCR Publik sebenarnya telah dimulai di beberapa negara. Namun, masih terbatas pada sektor-sektor industri tertentu saja. Lantas, apakah dokumen CbCR perlu dibuka kepada publik ke depannya?
Manfaat dan Kontroversi
UNTUK diketahui, CbCR Publik memiliki sejumlah manfaat. Pertama, meningkatkan efektivitas otoritas pajak dalam mengawasi risiko transfer pricing. Dalam hal ini, informasi yang tersedia mendorong penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dengan biaya yang efisien.
Kedua, sebagai akuntabilitas publik. CbCR Publik menjadi wujud tanggung jawab bagi perusahaan kepada masyarakat dan berfungsi sebagai sinyal positif terkait transparansi kebijakan perusahaan dalam hal pajak.
Ketiga, transparansi terhadap pihak internal. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap karyawan perusahaan memiliki hak untuk mengetahui kondisi perusahaan. Melalui CbCR Publik, hak karyawan dapat terpenuhi.
Keempat, pengambilan keputusan mengenai investasi. Ketersediaan data yang terbuka bagi publik akan mendorong keputusan investasi yang lebih efektif dan akurat (Tyrala, 2016).
Meski memiliki berbagai manfaat, kehadiran CbCR yang bisa diakses publik tersebut juga berpotensi menimbulkan sejumlah kontroversi di antaranya adalah tereksposnya kerahasiaan dagang suatu perusahaan.
Menurut EuropeanIssuers, pengungkapan strategi bisnis dan finansial perusahaan akan menempatkan perusahaan multinasional pada competitive disadvantage (Susannah, 2013).
Namun, menurut Paragraf 19.3 OECD Commentary atas Pasal 26, informasi keuangan bukan merupakan rahasia dagang perusahaan. Dengan demikian, satu-satunya informasi dalam CbCR yang bukan merupakan informasi keuangan adalah informasi mengenai jumlah karyawan dan deskripsi singkat mengenai bidang usaha perusahaan. Informasi itu pun umumnya bukan merupakan rahasia dagang perusahaan.
Hal yang menjadi kontroversi lainnya dari CbCR Publik adalah risiko reputasi. Perbedaan sistem akuntansi dan pajak antaryurisdiksi dapat mengakibatkan interpretasi data yang salah sehingga berdampak negatif pada reputasi perusahaan. Apabila data yang tersedia tidak lengkap dan akurat maka risiko reputasi berpotensi meningkat.
Industri Ekstraktif
MENURUT World Bank (2004), industri ekstraktif telah menimbulkan ketimpangan dalam manfaat dan risiko yang dihasilkan. Risiko terbesar ditanggung oleh negara lokasi sumber daya alam yang diambil, sedangkan manfaat terbesar dinikmati oleh pihak yang mengambilnya, yakni perusahaan dan investor.
Kebijakan tata kelola sumber daya ini seringkali dikaitkan dengan dampak negatif yang dihasilkan, seperti korupsi dan degradasi lingkungan (Haufler, 2010).
Namun, jika pengelolaan sumber daya alam dilakukan secara bijaksana dan transparan, sektor industri ini memiliki potensi yang besar dalam membangun ekonomi yang berkelanjutan. Salah satunya melalui kontribusi pajak atas pendapatan yang dihasilkan.
Di sisi lain, tata kelola yang baik dan transparan juga akan meningkatkan reputasi perusahaan di mata masyarakat. Sejarah transparansi industri ekstraktif dimulai pada 1999 ketika perusahaan migas multinasional di Angola mempublikasikan jumlah pembayaran ke kas pemerintah sebagai kompensasi ekstraksi sumber kekayaan alam.
Publikasi tersebut juga menjadi awal mula terbangunnya sebuah kampanye global bernama “Publish What You Pay” (PWYP). Tujuannya tidak lain untuk memperkenalkan pentingnya transparansi pada sektor ekstraktif (Addison, 2018).
Pada awal kegiatannya, PWYP fokus mengadvokasi publik mengenai penerapan kewajiban transparansi untuk perusahaan yang berkedudukan di Inggris. Dalam perjalanannya, aksi tersebut mendapat perhatian dari Tony Blair yang kala itu menjabat Perdana Menteri Inggris.
Tony Blair lantas menginisiasi terbentuknya Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) yang mengimbau perusahaan industri ekstraktif di berbagai yurisdiksi untuk melaporkan seluruh aktivitas bisnis dan finansialnya yang dapat diakses oleh publik.
Ketentuan EITI sejatinya bersifat sukarela, tetapi Inggris menjanjikan insentif dalam bentuk bantuan dan dukungan diplomatik bagi perusahaan yang berkomitmen untuk berpartisipasi (Haufler, 2010).
Dalam perkembangannya, beberapa negara mulai menetapkan transparansi perusahaan sebagai peraturan domestik. Amerika Serikat menjadi negara pertama yang menerapkan transparansi perpajakan secara legal dengan berlakunya Dodd-Frank Act 2010.
Pasal 1504 UU tersebut menyatakan perusahaan yang terdaftar di U.S. Securities and Exchange Commission (SEC) wajib melaporkan pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah, lembaga negara, dan perusahaan milik negara, secara terbuka untuk publik.
Lantas, bagaimana dengan kewajiban CbCR Publik di sektor industri ekstraktif? Khusus mengenai hal ini, tentu kita perlu melihat Uni Eropa.
Berdasarkan EU Accounting Directive Bab 10, Uni Eropa mewajibkan negara anggotanya menerapkan kebijakan CbCR Publik pada industri ekstraktif. Peraturan yang sama juga diberlakukan bagi industri penebangan dan pemrosesan kayu (logging). Di luar Uni Eropa, kebijakan serupa juga diberlakukan oleh Kanada mulai 2015.
Industri Keuangan
ASPEK kepercayaan publik dalam sektor keuangan merupakan komponen yang sangat penting bagi keberlangsungan bisnis perusahaan. Publik, dalam hal ini nasabah maupun investor, memerlukan informasi mengenai risiko yang mereka hadapi guna menghasilkan keputusan yang efektif (Sowerbutts, 2014).
Selain itu, adanya transparansi pada industri keuangan juga dipercaya bisa mengurangi tingkat ketidakpastian pasar (Basle, 1998).
Penerapan CbCR Publik pada industri keuangan diinisiasi oleh Uni Eropa melalui Pasal 89 EU’s Capital Requirements Directive IV. Isinya menyatakan seluruh lembaga kredit dan perusahaan yang bergerak dalam kegiatan investasi wajib melaporkan informasi bisnis dan keuangan perusahaan kepada publik.
Berbeda dengan sektor industri ekstraktif, industri keuangan memiliki tingkat risiko informasi yang lebih tinggi sehingga penyesuaian kebijakan terhadap industri ini patut dilakukan.
Salah satu contohnya adalah otoritas pajak di Uni Eropa perlu berkonsultasi dengan badan pengawas regulator yang berwenang sebelum pengungkapan CbCR kepada publik. Apabila terdapat konsekuensi negatif dari pengungkapan yang bersangkutan, penundaan kewajiban pelaporan dapat dilakukan.
Sebagai penutup, kebijakan CbCR Publik yang diterapkan pada dua sektor industri di atas dapat dijadikan pembelajaran dan acuan implementasi pada sektor industri lainnya. Satu hal yang pasti, CbCR Publik memiliki manfaat yang besar.
Kekhawatiran terhadap kerahasiaan dagang perusahaan yang selama ini merupakan polemik utama dalam CbCR Publik seharusnya dapat diatasi dengan penyesuaian kebijakan berdasarkan kekhususan industri, salah satunya melalui apa yang dilakukan otoritas pajak di Uni Eropa. Pertanyaannya, siapkah kita?