PERSPEKTIF

Perlukah Indonesia Menunggu Konsensus Global atas Pajak Digital?

Rabu, 21 Maret 2018 | 23:30 WIB
Perlukah Indonesia Menunggu Konsensus Global atas Pajak Digital?
Darussalam,
Managing Partner DDTC

PADA tanggal 16 Maret 2018 lalu, OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS menerbitkan laporan bertajuk Tax Challenges Arising from Digitalisation – Interim Report 2018. Laporan ini jelas ditunggu. Bagaimana tidak? Saat ini dunia belum memiliki konsensus global untuk memajaki ekonomi digital, yaitu aturan yang menjamin pembayaran pajak yang adil terhadap pemain bisnis digital lintas-yurisdiksi atau negara.

Di saat yang bersamaan, banyak negara kurang sabar dan mengambil jalan pintas melalui kebijakan domestiknya (unilateral action). Lalu, bagaimana rekomendasi Interim Report tersebut? Apa sajakah hal-hal yang perlu dipertimbangkan oleh suatu negara ketika merumuskan kebijakan pajak atas ekonomi digital lintas yurisdiksi atau negara? Serta, bagaimana prospek konsensus global dengan adanya laporan tersebut?

Pendahuluan

Ekonomi digital telah menimbulkan tantangan baru bagi sektor pajak. Tidak mengherankan jika topik ini menjadi salah satu dari 15 Aksi dari Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang digagas oleh OECD dan G20. Yaitu, melalui BEPS Aksi 1: Addressing the Tax Challenges of Digital Economy.

Tidak lama setelah laporan final mengenai BEPS dirilis di September 2015, dibentuklah suatu Inclusive Framework on BEPS di Juni 2016 yang merupakan wadah untuk memonitor dan menilai implementasi Proyek BEPS. Salah satunya, mengenai ekonomi digital. Saat ini, lebih dari 100 negara telah bergabung dalam Inclusive Framework.

Inclusive Framework ini kemudian memberikan mandat kepada Task Force on Digital Economy (TFDE) di Januari 2017 untuk menghasilkan interim report (2018) dan final report (2020) mengenai aspek pemajakan ekonomi digital. Interim report pada dasarnya berisi paparan tentang segala perkembangan dan hal-hal yang telah dilakukan oleh TFDE dalam mengkaji aspek pemajakan atas ekonomi digital. Adapun Final Report, akan menghasilkan suatu konsensus global yang bersifat final sebagai ‘aturan main’ di kemudian hari.

Sebagai catatan, perihal ekonomi digital yang diulas melalui Proyek BEPS lebih condong kepada aspek penghindaran pajak dan bukan pajak atas ekonomi digital secara umum. Artinya, mengacu pada pemahaman bahwa digitalisasi bisnis berpotensi menciptakan risiko terjadinya pengikisan basis pajak, terutama dengan model bisnis digital yang lintas-yurisdiksi atau negara. Apalagi, dengan sistem pajak internasional yang saat ini berlaku dan cenderung ‘ketinggalan jaman’.

Pertengahan Maret 2018 lalu, Inclusive Framework telah merilis Interim Report mengenai ekonomi digital. Laporan tersebut telah ditunggu-tunggu kehadirannya. Ini terkait dengan dua hal, yaitu:

Pertama, BEPS Aksi 1 tidak memberikan suatu rekomendasi final yang bersifat konsensus, namun berupa opsi-opsi kebijakan yang bisa dipertimbangkan. Dengan demikian, sampai saat ini tidak ada suatu kesepakatan tentang adanya perubahan sistem pajak internasional yang mampu menjamin pembayaran pajak di bisnis digital secara adil.

Kedua, di tengah ketiadaan konsensus tersebut, banyak negara justru mendesain kebijakan domestik yang bersifat sepihak (unilateral and uncoordinated action) dalam mengejar pajak dari pemain (raksasa) bisnis digital. Fenomena ini tentu menciptakan ketidakpastian.

Kehadiran Interim Report tersebut jelas memberikan harapan terciptanya konsensus global di waktu yang lebih cepat. Atau, setidaknya laporan tersebut mengindikasikan adanya kesepahaman bersama yang akan menjadi cikal bakal konsensus di tahun 2020. Singkatnya, suka tidak suka, prospek terciptanya konsensus global atas pemajakan ekonomi digital akan tercermin dari Interim Report.

Isi Interim Report

Ada beberapa hal penting yang bisa diambil dari Interim Report tersebut:

Pertama, walau telah diulas dalam BEPS Aksi 1, laporan ini kembali memaparkan mengenai digitalisasi, model bisnis, dan kaitannya dengan proses pembentukan nilai (value creation). Perbedaannya, laporan ini jauh lebih detail dan tepat dalam memahami bisnis ekonomi digital.

Uraian mengenai aspek ekonomi digital seperti ketergantungan atas harta tidak berwujud, kemampuan memperoleh penghasilan di suatu yurisdiksi tanpa kehadiran secara fisik (scale without mass), peran data dan user participation yang besar, serta keterkaitan dengan konsep pembentukan nilai (value creation), dibahas secara lebih mendalam.

Penjelasan tersebut dapat ditemukan pada Bab 2 dari Laporan yang porsi halamanya kurang lebih 30% dari total laporan. Selain itu, Bab 2 ini juga turut mengulas empat model bisnis digital, mulai dari (i) multi-sided platform (Uber, Airbnb, Facebook, Google, dan seterusnya), (ii) resellers (Alibaba, Spotify, Amazon e-commerce, dan seterusnya), (iii) vertically integrated firms(Xiaomi, Netfilx, dan seterusnya), serta (iv) input supplier (Intel, Tsinghua Unigroup, dan seterusnya).

Kedua, laporan ini memberikan rangkuman perkembangan implementasi BEPS Package yang terkait dengan ekonomi digital. Beberapa di antaranya adalah: (i) mencegah penghindaran status Bentuk Usaha Tetap/BUT (Aksi 7), (ii) menjamin penerapan value creation dalam transfer pricing (Aksi 8-10), (iii) memperkuat ketentuan CFC (Aksi 3), hingga (iv) kemajuan dalamMultilateral Instrument/MLI (Aksi 15).

Laporan ini berpendapat, walau belum bisa diukur secara empiris, praktik penghindaran pajak akibat adanya ekonomi digital diperkirakan semakin berkurang. Sayangnya, implementasi berbagai Aksi tersebut hanya bisa menutup celah skema penghindaran pajak tertentu dan bukan mengatasi dampak ekonomi digital secara menyeluruh. Keberhasilannya juga sangat tergantung dari komitmen tiap negara untuk mengadopsi Aksi BEPS tertentu misalkan terkait penghindaran status BUT.

Sedangkan dalam konteks Pajak Pertambahan Nilai (PPN), terdapat komitmen yang semakin besar untuk mengadopsi OECD International VAT/GST Guidelines. Selain bisa mengurangi dampak risiko bagi penerimaan pajak, Guidelines tersebut juga berperan dalam menyelaraskan alokasi hak pemajakan PPN atas transaksi lintas-yurisdiksi.

Ketiga, Interim Report melakukan penelurusan atas kebijakan domestik yang diimplementasikan di berbagai negara sejak 2015, khususnya mengenai pemajakan bisnis ekonomi digital lintas-yurisdiksi atau negara. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa digolongkan dalam empat kelompok.

Kelompok pertama, kebijakan yang berupaya memodifikasi threshold BUT. Sebagai contoh, upaya mempertimbangkan kehadiran secara digital yang diterapkan di Israel melalui significant economic presence test, ataupun upaya memperluas definisi fixed place of business untuk digital platform yang diterapkan di Slovakia pada 2017.

Kelompok kedua, yaitu unilateral action dengan mekanisme withholding tax. Hal ini dilakukan melalui upaya memperluas cakupan withholding tax atas royalti ataupun mengadopsiwithholding tax atas biaya dari jasa teknik (technical service).

Kelompok ketiga, yaitu negara yang mengenakan pajak final (turnover tax) seperti India dengan equalization levy, Hungaria dengan advertisement tax, hingga Prancis yang memajaki aktivitas distribusi konten audio-visual baik secara online maupun fisik.

Kelompok terakhir, adalah negara yang memiliki rezim pemajakan khusus dengan target perusahaan multinasional yang besar. Pendekatan ini dilakukan oleh Inggris dengan Diverted Profit Tax, Australia dengan Multinational Anti-Avoidance Law, hingga Amerika Serikat yang akhir tahun lalu memperkenalkan Base Erosion Anti-Abuse Tax/BEAT.

Setidaknya terdapat tiga hal yang bisa dipelajari dari berbagai kebijakan ‘sepihak’ tersebut: (i) umumnya bertujuan untuk melindungi sekaligus memperluas basis pajak di tempat pelanggan atau pengguna berlokasi; (ii) sebagian besar desain kebijakan tersebut menggunakan elemen yang terkait dengan pasar sebagai basis pajak, contohnya: penjualan, tempat konsumsi, dan sebagainya; serta (iii) berbagai kebijakan tersebut merefleksikan adanya ketidakpuasan model pengalokasian laba dari sistem pajak internasional yang berlaku saat ini.

Keempat, anggota Inclusive Framework memiliki pandangan yang beragam dalam menyikapi perkembangan ekonomi digital, khususnya mengenai perlu atau tidaknya perubahan sistem pajak internasional serta sejauh mana perubahan tersebut perlu dilakukan. Laporan tersebut menyebutkan masih adanya perbedaan pendapat.

Sebagai contoh, ada kelompok negara yang menyuarakan tentang ketidakselarasan antara yurisdiksi tempat laba dipajaki dengan yurisdiksi tempat nilai (laba) dibentuk. Oleh karena itu, perubahan sistem pajak internasional diperlukan terutama terkait dengan model alokasi laba maupun nexus yang mempertimbangkan peran data dan user participation.

Sayangnya, tidak semua anggota menyetujuinya. Ada pula kelompok negara yang hanya menggarisbawahi ketergantungan yang semakin besar dari knowledge-based capital, serta menyerukan perlunya perombakan definisi BUT. Di sisi lain, ada juga kelompok negara yang puas dengan sistem pajak internasional yang berlaku saat ini sehingga tidak diperlukan perubahan mendasar.

Kelima, tidak ada kesepakatan antar anggota Inclusive Framework mengenai manfaat ataupun kebutuhan untuk adanya tindakan sementara (initial measures) sebelum Final Report 2020. Sejumlah negara justru menentang adanya initial measures karena bisa berisiko bagi prospek terbentuknya konsensus.

Walau demikian, bagi negara-negara yang pro terhadap adanya tindakan yang bersifat sementara, terdapat beberapa elemen kebijakan yang harus dipertimbangkan:

  • Kebijakan tersebut harus sesuai dengan kesepakatan internasional. Artinya, tindakan tersebut tidak bertentangan dengan isi Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B), tidak boleh diskriminatif terhadap non-residen, selaras dengan prinsip yang digariskan oleh World Trade Organization (WTO), dan sebagainya;
  • kebijakan harus bersifat sementara dan harus diubah berdasarkan konsensus global jika sudah ada;
  • kebijakan harus menyasar secara tepat (targeted) dan tidak berlaku secara umum. Idealnya, sasarannya merupakan model bisnis digital atau jasa elektronik tertentu yang memiliki risiko pajak tertinggi, misalkan internet advertising;
  • kebijakan tersebut tidak memberikan beban pajak yang berlebihan. Artinya, desain tarif tidak boleh terlalu tinggi serta tidak menciptakan pemajakan berganda;
  • kebijakan sebisa mungkin tidak berdampak pada bisnis start-up, pendirian usaha baru, dan usaha kecil. Hal ini bisa dilakukan dengan menambahkan adanya threshold; dan
  • kebijakan tidak menambah biaya kepatuhan dan memberikan kerumitan.

Keenam, laporan ini juga menelusuri lebih jauh dampak dari digitalisasi terhadap sistem pajak. Sebagai contoh, kehadiran online platform (situs sewa apartemen, taksi online, dan sebagainya) sejatinya bisa mendorong pertumbuhan gig dan sharing economies, yang pada akhirnya justru memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan penghasilan. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan adanya equal tax treatment serta menjamin tidak adanya rezim pajak tertentu bagi model bisnis tersebut.

Selain itu, tantangan ekonomi digital juga bisa diatasi melalui edukasi wajib pajak yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan serta adanya kerjasama antara otoritas dengan online platform dalam menghimpun data nilai transaksi. Dari sisi administrasi, adanya ekonomi digital juga bisa menciptakan efektivitas pelayanan kepatuhan, mengurangi biaya kepatuhan, serta meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak.

Aturan Baru

Lantas, bagaimana Indonesia harus menyikapi Interim Report tersebut? Untuk menjawab hal tersebut pertama-tama kita perlu ‘membaca’ makna dan isi Interim Report.

Alih-alih memberikan suatu sinyal akan adanya prospek konsensus global di masa mendatang, Interim Report tersebut justru memberikan kesan mengenai sulitnya mendapatkankesepahaman dari para anggota Inclusive Framework. Hal ini terlihat dari masih terbelahnya pendapat mengenai seberapa jauh reformasi sistem pajak internasional yang diperlukan dalam menghadapi tantangan ekonomi digital.

Sebagian negara berkeinginan untuk merombak model atribusi laba maupun menyerukan perlunya nexus baru untuk menentukan negara yang berhak memajaki. Sebagian negara lain justru sudah terang-terangan mengambil langkah progresif dengan mengadopsi beberapa opsi BEPS Aksi 1 dalam kebijakan domestiknya. Ada juga beberapa negara sudah puas dengan sistem yang ada dan memilih untuk menolak adanya perubahan.

Mencermati pertentangan ini, agaknya benar yang dinyatakan oleh Brauner (2017) bahwa Proyek BEPS berangsur-angsur merubah lanskap pajak internasional dari kompetisi menuju koordinasi (bukan harmonisasi). Akan tetapi, debat dalam forum-forum koordinasi juga tidak mudah karena hegemoni negara OECD tidak sedominan sebelumnya, sedangkan posisi tawaremerging economies serta negara berkembang juga semakin meningkat. Akibatnya, konsensus global tidak mudah untuk dicapai.

Tidak hanya itu. Jika kita membaca seluruh dokumen Interim Report secara komprehensif, agaknya bisa disimpulkan bahwa TFDE gagal dalam ‘menggiring’ posisi anggota Inclusive Framework menuju ke titik yang sama. Memang betul bahwa Interim Report bukanlah suatu dokumen yang bertugas untuk menyajikan suatu rancangan awal konsensus global, tapi isinya yang tidak banyak memantik diskusi dan mengerucut pada satu kerangka menjelaskan satu hal: prospek konsensus global semakin tidak jelas.

Interim Report justru banyak mengulang tentang model bisnis ekonomi digital, tantangan pajak internasional, implementasi BEPS, dan sebagainya. Di sisi lain, uraian mengenai roadmap,posisi anggota Inclusive Framework, kaitan interim report dengan final report justru ‘kering’ dan kurang berbobot.

Menariknya, Interim Report banyak mengulas tentang aksi unilateral, mulai dari memodifikasi definisi BUT, mekanisme withholding tax, pengenaan pajak final, hingga adanya rezim khusus bagi perusahaan multinasional di bidang digital. Apakah ini suatu pertanda bahwa TFDE ‘menyerah’ atas derasnya gelombang aksi unilateral di banyak negara? Ataukah memang secara tidak langsung TFDE hendak mengajak para pemangku kebijakan untuk menelaah aksi unilateral yang paling feasible sebagai second-best policy?

Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut, yang pasti Interim Report juga menyediakan suatu panduan dalam mendesain kebijakan domestik yang bersifat sementara. Panduan tersebut juga secara tidak langsung ‘mengamini’ aksi unilateral namun dalam koridor yang jelas.

Bagi Indonesia, belum adanya kesepahaman atau suatu diskusi yang mengerucut dalam Interim Report tersebut bisa dibaca sebagai ‘peluang’ untuk membuat aturan baru terutama untuk memastikan pembayaran pajak yang adil oleh raksasa ekonomi digital. Menunggu suatu konsensus yang belum ‘jelas’ prospeknya justru bisa merugikan, terlebih mengingat bahwa Indonesia merupakan negara dengan basis pasar dan user participation yang besar.

Yang pasti, langkah yang diambil Indonesia haruslah mengikuti panduan Interim Report yaitu: (i) selaras dengan pedoman internasional, (ii) bersifat sementara, (iii) targeted, (iv) tidak memberikan beban pajak yang berlebihan, (v) menggunakan threshold, serta (vi) tidak menambah kerumitan dan biaya kepatuhan.

Menurut pendapat penulis, Interim Report ini adalah suatu sinyal saatnya Indonesia membuat aturan pajak baru mengenai ekonomi digital lintas yurisdiksi atau negara!

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN