JAKARTA, DDTCNews – Belum juga tuntas soal perang nilai tukar, negara-negara di dunia masuk ke gelanggang pertandingan baru yaitu perang tarif pajak. Berita tersebut menjadi topik utama sejumlah media nasional pagi ini, Rabu (24/5).
Mulai 1 juli mendatang, India mewajibkan semua transaksi oleh pelaku industri usaha kecil menengah (UKM) secara digital. Aturan tersebut juga sepaket dengan reformasi pajak India yang akan meresmikan pajak satu pintu untuk barang dan jasa (Good and Services Tax/GST).
Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump akan merilis anggaran tahun 2018 pada pekan ini yang berisi mengenai reformasi perpajakan. Trump akan memangkas tarif pajak perusahaan dari 35% menjadi 15%.
Filipina juga akan menurunkan tarif PPh badan dari 30% menjadi 25% dan PPh orang pribadi dari 32% menjadi 25%. Hal senada juga akan dilakukan oleh pemerintah Malaysia.Â
Lantas bagaimana pemerintah Indonesia menyikapi hal tersebut? akankah Indonesia juga turut serta menurunkan tarif pajaknya? Berita lainnya datang dari RUU KUP yang berisikan tentang perombakan institusi pajak menjadi lembaga independen. Berikut ulasan ringkas beritanya:
Pemerintah Indonesia akan melakukan perombakan besar dalam institusi pajak melalui revisi Undang-Undang KUP yang diserahkan kepada DPR. Dalam RUU KUP tersebut pemerintah akan memisahkan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, sehingga akan menjadi lembaga pajak yang bertanggung jawab langsung ke Presiden. Lembaga non kementerian yang mengurusi pajak ini ditargetkan dapat beroperasi mulai 1 Januari 2018.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) masih berharap pemerintah menurunkan pajak untuk mobil sedan. Pasalnya, pajak mobil sedan masih sangat tinggi dibandingkan pajak untuk model lain, seperti MPV. Ketua Gaikindo 1 Jongkie D. Sugiarto mengatakan saat ini Gaikindo memang tengah membuat kajian dengan LPEM UI terkait empat hal, yaitu pajak karbon, LCEV, KBH2, termasuk pajak sedan tersebut. Lanjut Jongkie, pihaknya memang berharap pajak sedan dari 30%, turun menjadi 10%, sama seperti mobil jenis lain, seperti MPV.Â
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan rencana pemisahan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan bukan merupakan isu baru. Pasalnya, rencana tersebut sudah ramai diperbincangkan sejak tahun lalu. Darussalam memperkirakan pembahasan rencana tersebut di DPR akan berjalan mulus seperti soal amnesti pajak. Revisi RUU KUP akan menjadi momentum reformasi perpajakan. Sebab, saat bersamaan pemerintah juga akan merevisi UU PPh dan akan memangkas sejumlah tarif PPh.
Dalam revisi UU KUP pemerintah ingin mengubah sejumlah definisi mulai dari penyelesaian sengketa hingga penegakan hukum. Pertama, mengubah istilah wajib pajak menjadi pembayar pajak. Kedua, mengubah istilah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP). Ketiga, mengubah istilah sanksi menjadi sanksi administratif. Keempat, pemerintah juga memasukkan pasal soal kerugian negara, yakni kurang bayar pajak yang dianggap sebagai kerugian negara. Kelima, jika pembayar pajak bersengketa dengan kantor pajak, tidak ada lagi penundaan kewajiban pembayaran pajak. Keenam, pemerintah memperberat sanksi administratif keterlambatan pelaporan SPT masa lainnya menjadi denda sebesar Rp500.000. ketujuh, sanksi pemeriksaan SKP dibedakan antara terlambat bayar dan kurang bayar.
Pemerintah tengah mengejar penyelesaian RUU PPh karena tidak mau ketinggalan dengan negara-negara lain yang beramai-ramai menurunkan tarif pajak. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Goro Ekanto mengatakan saat ini Kemenkeu masih membahas poin-poin revisi UU PPh bersama Ditjen Pajak. Adapun Kepala BKF Suahasil Nazara mengakui penurunan tarif pajak bakal meningkatkan daya saing dan meningkatkan kepatuhan pembayaran pajak. Sementara itu, Peneliti Pajak DDTC Bawono Kristiaji mengatakan kebijakan yang pro investasi perlu dirumuskan secara hati-hati karena bisa berisiko terhadap penerimaan negara. (Amu)