TRISH Henessy dalam salah satu bab buku yang berjudul “The Great Revenue Robbery” mengatakan, “A tax is the gift generations of social citizens hand down, one to the next. It’s our public inheritance”.
Dijelaskan selanjutnya bagaimana desain sistem pajak yang diracik mencerminkan persepsi suatu bangsa meneruskan tongkat estafet dari generasi pendahulu ke generasi penerus. Melihat realitas saat ini, pernyataan tersebut sangat sulit untuk didebat.
Sebab, pembangunan bangsa yang sebagian besar didanai pajak akan menentukan seberapa besar modal yang akan “diterima” generasi mendatang. Sebaliknya, ketika keberlangsungan bangsa terpaksa didanai utang, beban tersebut jugalah yang “diwariskan” untuk nantinya dibayar.
Tak heran jika editor buku tersebut, Richard Swift, menggambarkan sistem pajak sebagai suluh yang perlu diteruskan antargenerasi layaknya tongkat estafet. Suluh tersebut yang menjamin bahwa spirit akan nilai keadilan yang ditanamkan dalam dinginnya sistem ekonomi suatu bangsa dapat dihangatkan dengan adanya sistem pajak.
Ya, tanpa pajak, sistem ekonomi yang mengagung-agungkan free will dan efisiensi pada akhirnya dinikmati oleh lapisan kelompok orang kaya. Terbukti, trickle down effect yang menganggap kenikmatan yang diterima oleh lapisan penduduk kaya akan tertuang dengan sendirinya ke bawah, hanya ilusi belaka.
Bentuk keberpihakan dan kejelian pemerintah dalam menyadari hal ini sangat krusial untuk diwujudkan dalam sistem pajak yang mengintervensi terhambatnya aliran kesejahteraan dari “atas” tersebut.
Pada akhirnya, prinsip pajak yang umumnya mengacu pada prinsip netralitas, sederhana, dan memperhatikan kemampuan membayar (ability to pay) saja tidak cukup. Belajar dari buku yang diterbitkan Between The Lines pada 2013 tersebut, sistem pajak harus mencerminkan keberanian otoritas dalam merebut kembali harta yang dirampas orang kaya dari orang miskin.
Apalagi, jika melihat sistem pajak yang belum sempurna, penghindaran, dan penggelapan pajak memungkinkan orang-orang super kaya tersebut untuk tidak membayar kewajibannya. Keberadaan tax haven, akses pada konsultan keuangan yang mampu mengeksploitasi kelemahan sistem pajak, dan kemampuan melobi oknum pemerintah menegaskan bagaimana kekayaan suatu negara dengan mudah dirampok.
Belum lagi, insentif pajak yang selama ini dapat dinikmati para pemilik modal. Swift mempertanyakan dengan kritis, apa betul insentif pajak menjadi pendorong tingginya investasi? Atau jangan-jangan, gelondongan insentif tersebut hanya semakin mempertebal dompet kaum tersebut.
Robert Swift bersama dengan kelompok penulis lainnya, menegaskan progresivitas sistem pajak harus disusun dengan mempertimbangkan realitas tersebut, Menurutnya, pajak yang menjurus pada kekayaan sudah sangat urgen dan sangat terjustifikasi secara moral.
Pajak atas warisan, transaksi keuangan di pasar modal, pajak karbon yang progresif, peningkatan tarif atas tax bracket kelompok penghasilan tinggi, bahkan kenaikan tarif PPh badan menjadi beberapa usulan yang ditawarkan Robert Swift cs.
Meskipun belum tentu populer atau bahkan melawan efisiensi ekonomi, kebijakan-kebijakan tersebut dipercaya dapat membantu menggeser kembali keadilan dalam pajak ke tempat seharusnya.
Selanjutnya, perlawanan terhadap keberadaaan tax haven juga perlu dibangun secara kolektif antarbangsa seluruh dunia. Dengan demikian, harta-harta yang seharusnya dialirkan ke lapisan bawah ekonomi tidak lagi mengalir ke teritorial surga pajak tersebut.
Seluruh isi tulisan yang ditawarkan menggunakan pendekatan yang bersifat naratif dan membongkar kebohongan-kebohongan yang selama ini sembunyi di balik teori ekonomi. Tidak sedikit fakta-fakta yang dibongkar justru membuktikan asumsi yang mendasari konsep ekonomi pasar tidak lagi relevan.
Sebaliknya, realitas sosial yang menjadi korban kerakusan sekelompok pemilik modal sangat membutuhkan intervensi pajak sebagai terobosan menegakkan keadilan.
Richard Smith cs berharap pemikiran para pengambil kebijakan dapat berubah terhadap pajak. Ekonomi pasar, tanpa intervensi pemerintah, hanya akan mencoba menghilangkan berbagai aspek biaya eksternal yang ditanggung oleh masyarakat.
Pada akhirnya, dalam batasan tertentu, pajak seharusnya juga memiliki kemiripan tujuan dengan cukai, yaitu menginternalisasi eksternalitas negatif yang ditimbulkan. Untuk pajak diarahkan pada ketimpangan pendapatan dan kekayaan.
Pajak seharusnya hadir untuk sebagai bentuk gerakan sosial yang dimotori oleh pemerintah dalam melawan ketidakadilan. Tertarik untuk mendapat inspirasi dari buku tersebut? Silakan kunjungi DDTC Library.*