Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah terus mematangkan rencana pengenaan pajak karbon agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerapan pajak karbon perlu dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Meski tujuannya baik untuk menurunkan emisi, kebijakan pajak tersebut tak boleh menimbulkan dampak negatif pada aktivitas ekonomi.
"Penerapan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap dan hati-hati. Artinya, dampak positifnya diinginkan. Namun, dampak negatif dari setiap instrumen juga perlu diperhatikan agar ekonomi tetap terus tumbuh," katanya dalam sebuah webinar, Selasa (6/6/2023).
Sri Mulyani menuturkan pemerintah mulai memperkenalkan pengenaan pajak karbon melalui UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak karbon diharapkan mampu mengubah perilaku konsumsi energi masyarakat menjadi lebih ramah lingkungan.
Pemungutan pajak karbon akan menggunakan mekanisme cap and trade. Dalam hal ini, pemerintah akan menetapkan cap emisi suatu sektor, sehingga pajak yang dibayarkan hanya selisih antara karbon yang dihasilkan dengan cap.
Selain itu, ada pula skema perdagangan karbon atau kegiatan jual-beli kredit karbon. Sebagai langkah awal, pajak karbon bakal dikenakan pada PLTU batu bara. Jenis pajak ini semula direncanakan mulai berlaku pada 1 April 2022, tetapi sejauh ini belum terimplementasi.
"Kami telah mengamanatkan tarif pajak karbon Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menjelaskan pemerintah telah mendesain 2 jenis instrumen untuk mengakselerasi transformasi ekonomi hijau, yakni menggunakan instrumen perdagangan karbon dan nonperdagangan karbon.
Menurutnya, pajak karbon termasuk dalam instrumen nonperdagangan yang dipandang bakal efektif menurunkan produksi emisi karbon.
Saat ini, sistem perdagangan karbon yang bersifat mandatory atau emission trading system baru diterapkan di sektor energi.
Tahun ini, terdapat 99 PLTU batu bara yang berpotensi mengikuti emission trading system dengan kapasitas total mencapai 33.565 megawatt atau 86% dari total PLTU batu bara di Indonesia.
"Ini adalah kemajuan karena berarti para PLTU ini memahami bahwa mereka menghasilkan energi yang dibutuhkan energi dan masyarakat, namun juga menghasilkan CO2 yang memperburuk kondisi perubahan iklim dunia," tutur Sri Mulyani.
Nanti, perdagangan karbon tersebut dilaksanakan secara langsung hanya di antara para pelaku usaha. Ke depan, pemerintah juga akan meluncurkan bursa karbon sehingga dapat diperdagangkan secara lebih luas. (rig)