Kepala Kanwil DJP Jawa Timur III Agustin Vita Avantin. (Foto: DJP)
JAKARTA, DDTCNews – Pandemi Covid-19 yang berdampak pada perekonomian mengharuskan pemerintah bergerak. Salah satunya dengan memberikan stimulus melalui insentif pajak.
Di tengah kondisi tersebut, penerimaan pajak masih menjadi andalan untuk mendanai pembangunan, termasuk berbagai upaya penanganan pandemi. Bagaimanapun, ada sektor usaha yang tetap bisa menggeliat dalam kondisi saat ini.
Hal inilah yang dilihat Kepala Kanwil Ditjen Pajak (DJP) Jawa Timur (Jatim) III Agustin Vita Avantin. Dalam situasi saat ini, menurutnya, gotong-royong dalam pembayaran pajak sangat penting. DDTCNews berkesempatan mewawancarainya pekan ini. Petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan Kanwil DJP Jatim III tahun lalu?
Pada 2019 itu pencapaian kami sekitar Rp30,9 triliun atau 85,1% dari target Rp36 triliun. Namun, perlu diingat capaian 85,1% ini pertumbuhannya cukup bagus, yakni 4,8%, seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Kalau disandingkan dengan kinerja penerimaan nasional, itu capaiannya 84%. Kalau nasional itu tumbuh 1,5%, kami 4,8%. Jadi, kalau dibilang cukup bagus tapi belum mencapai 100%.
Perlu diketahui, untuk Kanwil DJP Jatim III ini kan mulai dari Banyuwangi, Situbondo, Jember, sampai Blitar, Trenggalek, dan Tulungagung. Ada 15 kantor pelayanan pajak (KPP). Dominasi penerimaan ada di Malang Raya.
Sektor apa yang jadi penyumbang terbesar?
Penerimaan paling besar adalah industri pengolahan. Kontribusinya bisa mencapai 67,5%. Namun, industri pengolahan ini ternyata 82% dari rokok, Bentoel dan Gudang Garam lalu sisanya yang kecil-kecil tersebar. Ada beberapa yang bersinar seperti Gudang Baru Berkah di Kepanjen.
Jadi kalau disampaikan 2020 ini seperti apa? Memang rokok sedikit turun dan digantikan oleh sektor perdagangan dan jasa asuransi. Peranan industri rokok sedikit turun tetapi Kanwil DJP Jatim III tetap mengandalkan rokok.
Pada masa pandemi ini memang ada 2 perusahaan besar yang terganggu. Pada Maret-April, ada perusahaan rokok di wilayah Kediri yang sempat tutup. Itu produksinya turun 10 miliar batang sehingga penerimaan kami agak terganggu.
Lalu, Bentoel sekarang orientasinya ekspor. Di satu sisi, pola konsumsi masyarakat ini bergeser. Mereka merokok tapi tidak beli yang mahal. Mereka beli yang agak murah sehingga industri rokok kecilnya tumbuh bersinar.
Bagaimana dengan sektor pariwisata?
Sektor pariwisata seperti di Kota Batu dan Kota Banyuwangi ini terdampak akibat pandemi. Itu baru pada awal Maret ada pembatasan, sehingga wisatawan berkurang di Batu. Waktu masih April, di Banyuwangi kami melihat sektor pariwisata sudah dibatasi, tetapi masih ada kunjungan.
Jadi, ada tempat wisata yang menerapkan protokol masih buka tapi sekarang betul-betul lumpuh. Sama dengan Bali, sektor pariwisata kami belum tumbuh. Namun, saya lihat awal Oktober di Batu sudah mulai penuh untuk pariwisata karena sudah dibuka oleh Pemkot Batu.
Seperti apa kinerja penerimaan pajak tahun ini?
Untuk 2020, karena ada pandemi, target kami turun dari realisasi tahun lalu. Jadi target kami turun 13% dari realisasi 2019. Kami di awal dapat [target] kenaikan 22% dari realisasi 2019. Kami ditargetkan Rp26,9 triliun. Capaian per September sebesar 63%.
Ini kurang 3 bulan, Oktober hingga Desember. Sebetulnya hanya 60 hari kerja. Ini yang harus kami kerjakan dengan fokus dalam 60 hari efektif ini untuk menutup 36%. Apa yang harus kami lakukan? Kami lakukan pengawasan atas penerimaan rutin. Ini kurang lebih 90%.
Namun, di satu sisi, kami analisis wajib pajak mana yang tidak terdampak. Makanya, ayo membayar. Yang booming juga harus membayar. Yang punya tunggakan, sanksi kami kurangkan.
Ada wajib pajak yang melakukan skema transaksi online dan transfer pricing ini jadi perhatian juga. Wajib pajak orang pribadi yang viral dan orang kaya baru juga kami lakukan pengawasan dan kami imbau ayolah [membayar pajak] untuk bantu negara.
DJP ini sesungguhnya sedang panen data. Kami dapat dari pusat. Sebenarnya kami tahu banyak orang yang semestinya membayar pajak, tapi belum. Ini saatnya kami sampaikan untuk membayar pajak supaya negara ini mampu menyembuhkan dirinya sendiri..
Apa saja kebijakan Kanwil DJP Jatim III untuk menjaga penerimaan sekaligus mendorong pemanfaatan fasilitas pajak?
Secara umum, kantor pajak tetap bersemangat. Tugas pemerintah yang pertama menjaga kesehatan dan memutus rantai penularan Covid-19. Kami tetap berkinerja menggalang dana untuk pembangunan sehingga betul-betul memperhatikan protokol kesehatan.
Dalam bekerja, kami terinspirasi oleh [istilah] gas dan rem yang diterapkan di pusat. Kami terinspirasi dari sana. Kami tetap bekerja dengan semangat. Kami menganalisis masyarakat mana yang tidak terdampak Covid-19, harus gotong-royong membayar pajak.
Di satu sisi, kami menawarkan insentif. Mereka yang terdampak, harus kami beri bantuan tidak bayar pajak dulu hingga Desember. Pajak itu seperti PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, dan PPh final untuk UMKM. Itu bentuk kepedulian kami terhadap kondisi sekarang.
Hingga saat ini, cukup banyak yang memanfaatkan insentif. Adapun insentif PPh Pasal 21 itu ada 3.106 wajib pajak yang memanfaatkan, yang PPh Pasal 22 Impor ada 225 wajib pajak, PPh Pasal 25 itu 2.260 wajib pajak. Untuk PPh Final UMKM, ada 5.949 wajib pajak yang memanfaatkan.
Ini akan bertambah terus karena ini baru masuk Oktober. Kami memberitahukan kepada wajib pajak yang masih belum tahu. Setiap minggu, kami terus lakukan sosialisasi melalui berbagai media.
Bagi yang terdampak, kami bantu beri insentif. [Untuk sektor usaha] yang tidak terdampak dan booming, seperti masker dan alat kesehatan serta sepeda, ayo bayar pajak.
Di satu sisi ada yang susah tapi di sisi lainnya ada yang booming. Ini semua perlu gotong-royong untuk membayar pajak. Bulan depan, kami harus fokus merealisasikan target yang diberikan.
Semoga bisa terealisasi sesuai harapan pemerintah. DJP sudah memberikan batasan. Memang kondisi pandemi tapi negara butuh dana. Jadi, kami dapat [menjalankan] kegiatan untuk menggali potensi agar bisa terealisasi.
Apa yang dilakukan untuk mencapai target tersebut?
Kami memanfaatkan sarana digital. Kami hubungi wajib pajak. Kami manfaatkan data Kanwil DJP Jatim III dan Kantor Pusat DJP untuk mengenal mana wajib pajak terdampak dan tidak terdampak. Itu semua kami imbau.
Mereka yang menunggak, kami dorong untuk bayar pajak tapi sanksinya kami kurangi. Kami menawarkan wajib pajak terperiksa – baik pemeriksaan rutin, uji kepatuhan, maupun indikasi pidana – untuk lakukan pembetulan. Itu hal-hal yang kami ingin sampaikan ke masyarakat.
Kami juga tahu ada wajib pajak yang belum patuh. Kami punya alat [untuk mendeteksi ketidakpatuhan]. Kami lakukan forensic digital atas rekening karena sudah ada hubungan dengan bank.
Jadi, semua data sudah bisa kami peroleh. Orang pajak sesungguhnya sudah punya data, tetapi kami ini kan prihatin karena ada pandemi. Jadi, kami tawarkan kepada wajib pajak untuk diungkapkan [ketidakpatuhannya] lalu bayar.
Bagaimana karakteristik wajib pajak di Kanwil DJP Jawa Timur III? Apakah literasi dan kepatuhannya cukup tinggi?
Kemarin-kemarin, ketika kondisi normal wajib pajak di wilayah Kanwil DJP Jawa Timur III kepatuhannya bagus. Namun, begitu pandemi dan enggak bisa tatap muka, ternyata wajib pajak ini punya semacam pandangan takut salah, takut didenda, dan menghindari risiko diperiksa kantor pajak.
Kalau enggak ke kantor dan enggak ketemu orang pajak, enggak puas. Itu kami sulit di situ. Jadi, kami buka komunikasi online ini juga lama. Kalau dilihat dari sisi kepatuhan, tahun ini agak kurang.
Tahun ini, [target] kepatuhan [formal] dipatok 82% dan kami baru mencapai 70%. Ini belum finish karena kan sampai Desember. Kami coba mencapai target 82% pada 3 bulan ke depan.
Literasi wajib pajak dirasa kurang bagus. Mengedukasi masyarakat ini butuh waktu. Kalau belum biasa dengan digitalisasi, mereka enggak percaya, takut salah, dan harus ketemu.
Kami coba membuat terobosan seperti di KPP Malang kami mengatur tempat konseling dengan memasang komputer adep-adepan. Mereka isi sendiri dan kami pandu. Jadi tatap muka tapi pakai komputer 2 arah. Ini sangat membantu.
Untuk memudahkan koordinasi saya bagi daerah Kanwil DJP Jatim III ini menjadi 3, yakni Timur, Malang Raya, sama Barat mengikuti wilayah eks karesidenan. Di Malang Raya saja banyak yang enggak puas kalau enggak ketemu, bagaimana yang di Timur dan di Barat. Ini gambarannya.
Tidak ada yang salah di sini, tapi kondisi kita yang menciptakan seperti ini. Mereka ada pandangan harus ketemu dengan orang pajak baru mereka bayar. Itu memang bagus sebetulnya di satu sisi. Namun, di sisi lain, kalau kita enggak bisa tatap muka, ini sangat menghambat.
DJP menerapkan proses bisnis baru bagi KPP Pratama untuk perluasan basis pajak. Bagaimana kondisinya di Kanwil DJP Jawa Timur III?
Jadi per Maret 2020 di-launching AR (account representative) kewilayahan dan AR strategis. AR strategis itu adalah AR yang menangani wajib pajak besar di wilayahnya.
Mereka harus melakukan analisis komprehensif. 1 KPP Pratama itu ada 300 wajib pajak strategis, yakni wajib pajak yang memberikan sumbangan besar dalam KPP-nya.
Selebihnya, kami bagi per wilayah. Bisa per kelurahan atau per kecamatan. Itu bisa dipegang 1 AR dan kami bagi habis. Mereka harus mengetahui model-model wajib pajaknya. Intinya harus tahu siapa yang kaya, siapa yang punya usaha, alamat di mana, jualan apa, seperti itu.
Ini sudah kami lakukan. Karena jumlah AR di setiap KPP tidak sama maka disesuaikan pembagian AR-nya dengan potensi daerah masing-masing. Hasilnya, kami menemukan hal-hal baru yang selama ini belum tersentuh. Oh, ini yang usahanya belum kami ketahui dan sebagainya.
Banyak pula usaha online yang kami baru tahu, seperti youtuber dan selebgram. Itu di Kediri ada. Dengan pengawasan berbasis kewilayahan itu, kami tahu semua.
Setelah itu, banyak impact-nya pada penerimaan. Artinya, perluasan basis data dengan pembagian kewilayahan ini sampai sekarang lumayan sangat membantu. Jadi sudah oke.
Hampir semua daerah yang selama ini dipandang minim potensi ternyata memiliki potensi besar. Karena kita juga ada kerja sama dengan instansi lain seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Bersama DJBC kami bisa meningkatkan kerja sama dan menertibkan wajib pajak yang kurang atau tidak patuh dengan pengawasan joint program. Tidak hanya untuk kepentingan cukai, kami juga menemukan usaha-usaha yang penghasilannya seharusnya sudah dipajaki.
Kanwil DJP Jawa Timur III termasuk salah satu kanwil yang diwacanakan akan memiliki KPP Madya baru. Seperti apa prosesnya?
Sepertinya Kanwil DJP Jatim III belum perlu KPP Madya baru. Yang disampaikan Pak Sekdirjen DJP itu tampaknya untuk Kanwil DJP Jatim I Surabaya, bukan Kanwil DJP Jatim III. Kalau Kanwil DJP Jatim III belum ditambah pada 2020, tapi enggak tahu tahun depan.
Memang secara target penerimaan itu selisih sedikit antara Kanwil DJP Jatim I dan Kanwil DJP Jatim III. Namun, wajib pajak di Kanwil DJP Jatim I itu hampir merata. Kalau di sini, penyumbang besarnya masih Bentoel sama Gudang Garam.
Saya senang sih kalau dapat KPP Madya baru. Namun, karena ada Peraturan Dirjen Pajak No. PER-07/PJ/2020 itu, wajib pajak besar akan dikelompokkan ke KPP Madya atau di Kanwil Jakarta Khusus atau Kanwil Wajib Pajak Besar.
Oleh karena belum ada tambahan wajib pajak besar, dan mengingat Bentoel dan Gudang Garam ini 40% sendiri kontribusinya, kami belum dapat tambahan KPP Madya.
Saat ini, banyak relaksasi pajak, misalnya dengan UU Cipta Kerja. Bagaimana strategi Kanwil DJP Jatim III menyikapi ini?
Kami memandang UU Cipta Kerja ini sebagai pendorong. Kami ingin Indonesia lebih maju terlepas dari kebijakannya apa. Yang jelas, kami mengumpulkan dana demi kemandirian bangsa.
Nah, dengan pengawasan berbasis kewilayahan saja kami belum bergerak penuh sesungguhnya. Ini yang kami fokuskan untuk menciptakan keadilan dan kegotong-royongan. Mendorong orang yang punya penghasilan [untuk] bayar pajak. Itu saya rasa lebih penting.
Kalau UU Cipta Kerja ini akan kami bahas nanti. Jadi, belum ada juklak terperinci bagaimana menyikapinya. Banyak hal, sebelum ada UU Cipta Kerja, yang harus kami lakukan.
Kami perlu mengoptimalkan kinerja karena masih banyak kesempatan dan potensi yang belum diurai. Apalagi, dengan bertaburannya data informasi dari pihak ketiga.
Kami juga berupaya mengembangkan sistem informasi untuk mempermudah pelaporan. Itu lebih penting kayaknya. Kalau UU Cipta Kerja, nanti saja, tahun depan. Namun, kami menyambut baik UU itu untuk mendorong kami mengadaptasi, mereformasi, dan menciptakan pelayanan yang lebih baik.
Ke depan pajak, harus dipandang sebagai hak, bukan kewajiban. Jadi kalau punya penghasilan orang perlu punya pemikiran ‘saya ini berhak lho untuk menyumbang buat negara melalui pajak’. (Kaw/Bsi)