Rafindra Dzakyatha Anindito,
PAJAK air permukaan (PAP) adalah pajak daerah yang dikenakan terhadap segala jenis usaha yang memanfaatkan air permukaan, baik itu sungai, waduk, danau, saluran irigasi, dan lain sebagainya. Kewenangan pengelolaan PAP diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat provinsi.
Pajak ini secara umum diatur pada Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Berdasarkan pada definisinya kita bisa tahu bahwa PAP melibatkan banyak multidisiplin ilmu karena cakupannya yang sangat luas. Pernahkah Anda berpikir berapa liter air yang digunakan untuk mencuci getah karet dalam industri crumb rubber dalam sekali produksi?
Kemudian, berapa air yang digunakan oleh usaha air minum dalam kemasan (AMDK)? Berapa liter air yang digunakan untuk pengendalian debu tambang agar pekerja tidak mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)? Berapa liter air yang diminum seribu ekor sapi bali dalam satu hari?
Dari pertanyaan-pertanyaan itu, kita melihat potensi PAP yang sangat besar. PAP bisa mencakup banyak sekali entitas usaha, mulai dari industri kecil rumahan sampai dengan industri besar seperti perkebunan dan pertambangan. Sudah seharusnya PAP perlu dioptimalkan pemerintah.
Pada kenyataannya, selaras juga dengan peluangnya yang besar, banyak juga tantangan yang akan dihadapi. Setidaknya ada dua masalah yang paling besar dalam konteks upaya optimalisasi PAP. Keduanya adalah kapasitas sumber daya manusia (SDM) terbatas dan kolaborasi antarinstansi pemerintah minim.
Hal tersebut menyebabkan koordinasi pendataan, regulasi derivat, sarana prasarana, dan bahkan standar operasional kurang baik. Situasi ini menjadi momok dalam upaya peningkatan efisiensi dan efektivitas penerapan PAP.
Lantas, bagaimana idealnya? Sebaiknya, pemerintah mulai berbenah dan memperbaiki peta konsep secara general mengenai penerapan PAP di seluruh sektor yang bersangkutan. Hal ini dimulai dari pendataan wajib pajak potensial.
Pemerintah provinsi melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dapat berkoordinasi dengan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan Badan Pusat Statistik (BPS) setempat. Koordinasi dilakukan untuk memetakan potensi PAP di wilayah kerja yang bersangkutan.
Kemudian, dalam tahap penetapan besaran pajak, Bapenda dapat bekerja sama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) Kementerian Keuangan untuk menyelenggarakan diklat mengenai pemeriksaan pajak daerah dan juru sita pajak daerah. Kerja sama itu dilakukan agar penagihan pajak, baik secara pasif maupun aktif, dapat terlaksana dengan baik.
Untuk menghadapi permasalahan teknis multidisiplin ilmu dalam penghitungan perkiraan penggunaan air permukaan, Bapenda dapat bekerja sama dengan SKPD teknis atau pakar dari pihak ketiga lainnya dengan keahlian dalam bidang yang dipersoalkan.
Sebagai contoh, kerja sama dilakukan dengan BWS Dinas PUPR yang memiliki keahlian dalam kalkulasi hidrologi untuk penghitungan penggunaan air pertambangan. Bisa juga dengan ahli peternakan dari suatu universitas untuk mengetahui fakta-fakta biologis ternak beserta proses bisnisnya.
Penulis percaya hanya dengan effort dan kolaborasi dari berbagai pihak, PAP dapat dioptimalkan dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Harapannya, instansi-instansi pemerintah lebih bersinergi lagi untuk menerapkan tata peraturan perpajakan sebagai satu kesatuan pemerintahan yang berdaulat.
Dengan demikian, pemerintah daerah dapat makin dekat dengan kemandirian daerah. Kemudian, daerah dapat membangun dirinya sendiri tanpa menggantungkan nasib pada pembagian dana transfer ke daerah. Hal ini bisa menjadi perhatian pemerintah selanjutnya yang terpilih dalam pemilihan umum 2024.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.