SELAMA 1 dekade terakhir, reformasi pajak pertambahan nilai (PPN) menuju sistem yang modern menjadi tren secara global. Perwujudannya, berbagai negara mulai meninggalkan sistem PPN tradisional dengan mempersempit cakupan objek yang dikecualikan dari PPN.
Sejumlah inovasi, penyesuaian, dan penyempurnaan juga terus mewarnai perjalanan menuju sistem PPN yang modern. Lantas, apa saja yang menjadi justifikasi mulai ditinggalkannya penerapan sistem PPN tradisional dan menuju sistem PPN yang modern?
Sistem PPN Tradisional
SECARA historis, PPN pertama kali diperkenalkan di Prancis pada 1948 dalam bentuk pengenaan pajak di tahap pabrikan. Kemudian, pada 1954, pengenaan PPN diubah yang semula hanya pada tahap pabrikan menjadi seluruh tahapan produksi dan distribusi (Mattes, 2015).
Dalam perkembangannya, PPN mulai diterapkan di berbagai negara untuk menggantikan pajak penjualan (PPn) yang diterapkan atas konsumsi. Namun, terlepas dari popularitasnya yang luar biasa, penerapan sistem PPN di berbagai negara sejak awal tidaklah murni dan sempurna.
Alasannya, banyak negara menerapkan pengecualian atau pembebasan PPN atas objek tertentu. Pada umumnya, penerapan pengecualian dan pembebasan PPN banyak ditemukan di negara-negara Eropa. Oleh sebab itu, sistem PPN yang diterapkan di kawasan tersebut dikenal sebagai sistem PPN tradisional (Ebril, 2001).
Pengecualian atau pembebasan PPN sebenarnya menjadi suatu ketidaksempurnaan desain yang lazim diterapkan. Tidak hanya mencederai prinsip utama PPN sebagai pajak atas konsumsi, pengecualian dan pembebasan PPN juga dianggap mendistorsi prinsip efisiensi dan netralitas pajak.
Lalu, mengapa negara tersebut tetap menerapkan pengecualian PPN? Pada dasarnya, terdapat 2 alasan yang mendasari pengecualian PPN (Feria, 2013). Pertama, alasan teknis kebijakan. Otoritas pajak kerap kali kesulitan untuk menentukan dasar pengenaan pajak pada barang/jasa tertentu.
Kedua, tujuan ekonomi politik. Banyak negara yang mengecualikan barang/jasa tertentu karena dianggap sebagai layanan publik dan memiliki kepentingan sosial. Alhasil, pengecualian ini dimaksudkan untuk menciptakan keadilan vertikal dan meningkatkan eksternalitas positif dari layanan publik.
Berdasarkan pada perkembangan literatur pajak, pengecualian PPN, khususnya atas barang/jasa sektor publik, ternyata memiliki berbagai konsekuensi negatif. Konsekuensi yang dimaksud antara lain mendistorsi perekonomian, menggerus basis pajak, dan menurunkan penerimaan negara.
Tak hanya itu, pengecualian PPN terhadap layanan publik dianggap sebagai mekanisme hidden subsidy yang tidak efektif. Subsidi ini cenderung menjadi ajang bagi pemasok untuk melakukan profit taking, baik melalui kenaikan harga maupun peningkatan volume produksi hingga level yang tidak mencerminkan efisiensi pasar.
Sistem PPN Modern
BERKACA pada kekurangan sistem PPN tradisional, diskursus mengenai sistem post-modern mulai menjadi perhatian. Berbeda dengan sistem PPN tradisional, negara yang menerapkan sistem PPN modern memasukkan sedikit objek ke dalam kriteria pengecualian dan pembebasan PPN.
Selain itu, negara yang menerapkan sistem PPN modern umumnya memiliki alternatif desain pemajakan lain yang ditujukan untuk sektor tertentu (Feria, 2013). Sejauh ini, sistem PPN yang modern telah diterapkan di negara-negara seperti Australia, Selandia Baru, dan Kanada.
Negara-negara tersebut memilih untuk mengenakan PPN terhadap seluruh barang/jasa tak terkecuali yang berkaitan dengan pengadaan layanan publik (full taxation). Sebagai contoh, sebagian besar jasa pendidikan dan kesehatan di Australia menjadi objek PPN. Kendati demikian, Australia memberlakukan zero-rated terhadap layanan tersebut.
Berbeda dengan Australia, sistem PPN di Selandia Baru memberlakukan zero-rated terhadap barang/jasa tertentu dan pengecualian opsional yang jumlahnya lebih sedikit. Selandia Baru juga memungut PPN bagi produk kebutuhan sehari-hari, seperti makanan dan obat-obatan.
Sistem PPN yang lebih modern telah mengarah kepada pembatasan pengecualian atau pembebasan PPN dan menuju rezim full taxation. Dalam sistem PPN post-modern, kata kunci yang dapat diingat dalam mempertimbangkan desain alternatif adalah konsep konsumsi.
Namun, terdapat tantangan yang merintangi penerapan sistem PPN post-modern, yaitu terkait dengan filosofi dasar PPN. Penerapan sistem PPN harus mampu secara konseptual mendefinisikan apa yang dimaksud dengan transaksi untuk tujuan pajak konsumsi. Pada praktiknya, prinsip PPN terkait netralitas tidak selalu menjadi hal utama dalam merumuskan kebijakan pemungutan PPN.
Secara praktis, negara-negara yang menerapkan full taxation masih memberikan pengecualian untuk jenis barang/jasa tertentu. Ada kalanya prinsip kesederhanaan dan kemudahan dalam pemungutan lebih diutamakan untuk tujuan efisiensi serta efektivitas sistem PPN.
Dengan demikian, meski secara konseptual seluruh jenis barang dan jasa harus dikenai PPN untuk menjamin prinsip netralitas, tetapi hal tersebut sulit dilakukan, terutama bagi negara-negara dengan sistem administrasi PPN yang masih lemah. Oleh sebab itu, arah perubahan menuju full taxation dengan cara memperluas basis PPN perlu diikuti oleh reformasi administrasi pajak secara keseluruhan.
Selengkapnya pembahasan mengenai penerapan sistem PPN post-modern telah diulas secara komprehensif dalam buku Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Buku setebal 629 halaman ini disusun oleh para periset DDTC Fiscal Research and Advisory (FRA).
Buku tersebut disunting langsung oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, serta Partner of Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji. Tertarik membaca buku ini? Silakan membacanya di Perpajakan ID atau kunjungi langsung DDTC Library!