LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Menebak Potensi dan Tantangan Pajak Digital

Redaksi DDTCNews | Kamis, 16 Januari 2020 | 19:00 WIB
Menebak Potensi dan Tantangan Pajak Digital
Dwi Marlina Wijayanti
Bantul
, Yogyakarta

ERA industri 4.0 membawa dampak pada perpajakan. Muncul objek pajak baru, yaitu transaksi digital dengan subjek pajak perusahaan digital. Beberapa raksasa digital besar yang beroperasi secara lintas batas negara di Indonesia antara lain Google, Amazon, Facebook, Twitter, dan Instagram.

Raksasa-raksasa digital itu menarik banyak manfaat keuangan dari Indonesia. Namun, mereka tidak dikenakan pajak karena belum ada aturan pajak digital. Kesulitan penerapan pajak digital tidak hanya dirasakan di Indonesia. Masalah ini menjadi topik yang banyak diperbincangkan di seluruh dunia.

Salah satunya pada sidang G20 di Jepang pada 2019. Sidang itu dihadiri sejumlah negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Berdasarkan riset OECD, risiko kehilangan pajak akibat base erosion and profit shifting pada negara berkembang mencapai US$200 miliar per tahun.

Untuk mengatasi masalah tersebut perlu aturan perpajakan yang ditujukan untuk perusahaan digital. Apalagi, para era internet saat ini, hampir semua aktivitas dilakukan secara online, termasuk menjual barang dan jasa. Hal ini ditandai dengan banyaknya e-commerce yang berkembang di Indonesia.

Pemerintah kemudian merespons perkembangan ini dengan merilis Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. PP tersebut menjelaskan pelapak di toko online atau e-commerce diwajibkan memiliki izin usaha.

Aturan ini juga berlaku bagi pelaku usaha dari luar negeri yang secara aktif melakukan perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) kepada konsumen di Indonesia. Mereka harus membuat kantor fisik sebagai perwakilannya untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Potensi dan Tantangan
ISTILAH yang sering digunakan untuk penyediaan layanan aplikasi atau konten melalui internet adalah over-the-top (OTT). Potensi penerimanaan pajak dari OTT sangat besar. Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia menunjukkan kontribusi Indonesia terhadap OTT Rp15 triliun per tahun.

Upaya yang dilakukan untuk menghimpun pajak dari perusahaan digital penyedia layanan OTT tersebut tidak lain adalah dengan mendesain dan merumuskan kebijakan baru yang sesuai. Untuk itu, pemerintah perlu memperluas definisi badan usaha tetap (BUT) sebagai subjek pajak.

Definisi BUT yang selama ini berbentuk fisik harus diperluas dengan melihat strukturnya. Banyak perusahaan digital asing yang beroperasi di Indonesia, tetapi tidak memiliki kantor fisik di Indonesia. Jika mengacu pada definisi lama, perusahaan seperti ini tentu tidak dikenakan pajak.

Selain itu, pemerintah perlu memperhatikan signifikansi kehadiran perusahaan digital. Perusahaan digital dengan pengguna yang sangat banyak telah menerima manfaat keuangan dari operasinya di Indonesia. Untuk itu, perlu dilakukan perhitungan kuantitatif dari manfaat tersebut.

Upaya nyata yang dilakukan pemerintah adalah dengan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) omnibus law perpajakan. Harus diakui, banyak negara yang kesulitan mengatur kebijakan pajak digital. Mereka memilih menunggu konsensus global OECD yang dijadwalkan 2020.

Pengenaan pajak layanan OTT dipandang sulit karena tidak dapat menggunakan aturan dalam pajak penghasilan (PPh). Hal ini disebabkan pengenaan PPh lintas negara berdasarkan UU yang berlaku dan perjanjian pajak (tax treaty) masih berpedoman pada keberadaan fisik perusahaan.

Padahal, era sekarang menunjukkan praktik bisnis sudah berubah. Perusahaan asing tidak perlu mendirikan perusahaan secara fisik di suatu negara untuk dapat melakukan aktivitas bisnis. Karena itulah, pemerintah merumuskan RUU omnibus law perpajakan untuk mengatasi masalah tersebut.

Kebijakan praktis yang dibutuhkan untuk mengenakan pajak digital tanpa mengubah sistem yang ada adalah dengan menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN). Pilihan ini merupakan salah satu cara yang paling rasional. Pajak tidak hanya dibebankan pada perusahaan, tetapi juga konsumen.

Berbeda dengan PPh, PPN menganut prinsip destinasi. Artinya, pajak dikenakan di mana barang atau jasa itu dikonsumsi. Pemerintah juga telah berencana agar perusahaan seperti Google dan Amazon dapat menarik PPN dan menyetorkannya kepada otoritas pajak.

Namun, di luar RUU omnibus law perpajakan, pemerintah tetap perlu menyelaraskan UU Pajak lain dengan industri 4.0, yaitu UU PPh, UU PPN, dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Revisi UU Pajak itu dimaksudkan terutama untuk mencegah penghindaran pajak oleh perusahaan digital.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN