Sukhemadewi & Ratih Salsabila,
PERKEMBANGAN pemajakan ekonomi digital membutuhkan langkah lebih lanjut untuk mengenakan pajak penghasilan perusahaan digital yang bertransaksi lintas batas negara (cross border transaction). Pengenaan pajak penghasilan (PPh) menjadi fokus bersama karena perusahaan seperti Netflix, Google, Facebook kerap abai membayar pajak, baik di Indonesia maupun negara lain.
Pada 2018 saja, Netflix yang mencatat laba senilai US$845 juta masih absen dalam membayar pajak di Amerika Serikat. Netflix justru mendapatkan potongan pajak senilai US$22 juta. Netflix berdiri di Indonesia sejak 2016 tapi sampai saat ini belum memenuhi kewajiban pajaknya di Tanah Air.
Sebelumnya, penarikan pajak bagi perusahaan digital sulit dilakukan sebab peraturan masih mewajibkan wajib pajak sebagai bentuk usaha tetap (BUT). Secara lex scripta dalam Pasal 2 ayat 5 pada UU PPh, BUT hanya menuntut physical presence atau berupa tempat permanen.
Di tataran global, roadmap pemajakan ekonomi digital sedang digodok oleh OECD. Rencananya, akan ada konsensus resolusi pada akhir 2020, saat pertemuan G20. Konsensus ini berdasar pada dua pilar yaitu realokasi pemajakan dan pengenaan pajak minimal. Kedua pilar tersebut akan memberikan alat baru untuk perlindungan basis perpajakan negara dari profit shifting to low/no tax jurisdictions.
Dalam pertemuan G20 belum lama ini, para menteri telah sepakat untuk mengincar pajak dari perusahaan teknologi raksasa. Mereka sepakat mengenalkan tiga skema dasar sistem perpajakan digital yaitu partisipasi pengguna (user participation), pemasaran tidak berwujud (marketing intangibles) dan kehadiran ekonomi yang signifikan (significant economic presence).
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia melalui Kemenkeu sudah mengeluarkan dua aturan, yaitu PMK 210/2018 dan PMK 35/2019. PMK 210/2018 tentang perpajakan e-commerce sebagai salah satu bentuk pengaturan ekonomi digital. Namun telah dicabut sebelum mulai diberlakukan. Sedangkan, PMK 35/2019 tentang Penentuan BUT untuk menjawab perkembangan model usaha lintas negara.
PMK 35/2019 mengharuskan perusahaan atau orang asing mendirikan BUT dan memiliki NPWP tanpa memedulikan tempat usaha. Pengaturan BUT merupakan langkah besar karena definisi BUT sebagaimana yang diatur dalam OECD Model Tax Convention ataupun UN Model Tax Convention sudah tidak relevan lagi.
Pertanyaannya adalah seberapa manjur PMK 35/2019 ini untuk menangani permasalahan ekonomi digital di Indonesia?
Apa Selanjutnya?
SAAT ini, Indonesia mengharapkan finalisasi sistem pajak secara komprehensif dari OECD. Melalui penggunaan PMK 35/2019, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim bahwa DJP sudah mempunyai basis penghitungan dengan estimasi berdasarkan data mereka dan akan secepatnya disepakati.
Secara teknis belum jelas bagaimana DJP akan mengeksekusi rencana tersebut. Langkah yang terlihat adalah DJP telah meluncurkan dua direktorat baru yaitu Direktorat Data dan Informasi Perpajakan, serta Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Langkah ini merupakan bentuk reformasi pajak dalam membangun basis data dan sistem informasi untuk mempermudah pengumpulan data pelaku ekonomi digital. Dengan aturan yang sudah ada diharapkan Indonesia juga dapat mencontoh Inggris, asalkan mempunyai data yang akurat dari kedua direktorat baru DJP.
Seperti diketahui, Inggris gencar melawan aggressive tax planning yang dilakukan Google, dengan cara mengenalkan jenis pajak baru yaitu diverted profit tax atau pengenaan pajak atas pengalihan keuntungan. Inggris sudah mempersiapkan data material yang akurat dengan menghitung semua sumber penghasilan dari semua grup korporasi pada seluruh jenis bidang usaha.
Selanjutnya, pengenaan PPN juga diklaim sebagai solusi sementara dalam pengenaan pajak ekonomi digital terutama e-commerce sebab undang-undang tidak membedakan transaksi konvensional dan digital. Direktur Perpajakan Internasional juga mengklaim PPN cenderung lebih mudah dikenakan dari PPh dalam transaksi digital karena tidak ada permasalahan nexus alias pembagian hak pemajakan antar negara.
Otoritas pun memaparkan bahwa pengenaan PPN dalam transaksi ekonomi digital masih memiliki loophole yaitu UU PPN mensyaratkan pemungutan atas kegiatan konsumsi atau distribusi barang dan jasa hanya terbatas di daerah pabean.
Namun, masih ada tantangan hukum dalam marketplace seperti mengidentifikasi pelaku transaksi dan produk terkait dengan batas geografis dan yurisdiksi nasional, hingga permasalahan anonimitas pengguna internet. Oleh karena itu, masih sulit dikatakan PPN sebagai solusi sebab bersinggungan dengan yurisdiksi pengenaan pajak tersebut.
Selanjutnya, ada pula wacana perluasan objek pajak dari UU PPh untuk menjawab perkembangan model bisnis seperti pemajakan layanan raksasa digital. Perluasan objek pajak tersebut seharusnya turut mengkaji penghasilan baik berupa penghasilan pasif seperti dividen maupun royalti hingga penghasilan dari transaksi ekonomi digital sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan penghasilan tersebut.
Pemerintah mau tidak mau harus meningkatkan efektivitas pemeriksaan perpajakan dengan penanganan transaksi ekonomi digital sesuai dengan matriks target rencana kerja DJP pada 2019.*
*Esai ini merupakan salah satu dari 12 esai terpilih yang lolos seleksi awal DDTCNews Tax Competition 2019 bertajuk ‘Tax Challenges in the Digital Era: It's Time for Youth to Speak Up!’.