Muhammad Akmal Nurfaiz,
UNTUK bertahan hidup di dunia saat ini, orang-orang membutuhkan biaya yang secara signifikan lebih besar ketimbang beberapa dekade lalu.
Pekerja pada zaman dahulu relatif mudah untuk menghidupi diri mereka sendiri beserta keluarga. Sebaliknya, banyak orang yang bahkan tidak mampu untuk sekadar berobat saat ini, apalagi menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi.
Berkat kemudahan akses terhadap informasi pada saat ini, orang-orang dapat secara instan melihat kondisi negara yang berlokasi puluhan ribu kilometer dari Indonesia dan mulai membanding-bandingkan kondisi antarnegara tersebut.
Negara-negara Skandinavia contohnya. Bagaimana mereka tidak menarik perhatian khalayak? Negara-negara tersebut disebut memiliki penduduk terbahagia di dunia. Biaya kesehatan dan edukasi juga ditanggung oleh pemerintah.
Wajar jika orang-orang menginginkan kondisi yang sama terjadi di negara ini. Mereka mulai mengarahkan telunjuk dan menuntut hak kepada pemerintah sebagai pemegang mandat ‘menyejahterakan kehidupan bangsa’.
Sayangnya, sering kali mereka lupa bahwa manfaat yang dinikmati oleh orang-orang di negara-negara seperti Denmark, Swedia, dan Finlandia tidaklah datang secara ujug-ujug atau merupakan bentuk bakar-bakar uang oleh pemerintah.
Jika dilihat lebih jauh, ketiga negara itu memiliki rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) atau tax ratio terbesar di dunia bersama dengan Prancis, Belgia, Norwegia, Austria, Italia, Luksemburg, dan Belanda.
Denmark memiliki rasio pajak terhadap PDB sebesar 46,3% pada tahun 2021. Rata rata penduduk Denmark menyetorkan 56% dari pendapat tahunan mereka ke pemerintah. Sedikit berbagi pengalaman saat saya berbincang di kelas, teman kuliah dari Swedia tanpa ragu membanggakan performa pajak di negaranya.
Tidak hanya bahagia, ternyata mereka juga bangga dan dengan senang hati melaksanakan kewajiban tersebut. Oleh karena itu, sangat mudah untuk menyimpulkan manfaat-manfaat yang dinikmati oleh penduduk-penduduk negara tersebut, sebagian besar, adalah hasil gotong-royong mereka.
Persepsi itulah yang sering kali hilang dalam benak masyarakat. Alih-alih dilihat sebagai bentuk upaya bersama-sama membangun bangsa, pajak kerap dilihat hanya sebagai paksaan, bukan pilihan.
Apakah ini berarti orang-orang Indonesia enggan membantu satu sama lain? Tidak juga. Apakah Anda masih ingat dengan penemuan yang mengatakan bahwa penduduk Indonesia paling dermawan di dunia?
Pemerintah Indonesia patut bersyukur dengan adanya temuan tersebut. Hal itu sekaligus menunjukkan bahwa permasalahan tentang pajak di Indonesia tidaklah terlalu mendasar, misalnya terkait dengan mindset, tetapi tentang penggunaan uang pajak setelah disetorkan.
PEMERINTAH cukup membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi-institusi yang ada. Pemerintah perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang fungsi pajak sekaligus membangun transparansi.
Pemerintah juga seharusnya tidak lupa untuk memvisualisasikan manfat-manfaat dari pajak dengan cara-cara kreatif masa kini. Contohnya dengan menggunakan media sosial. Terdengar mudah, tetapi sejatinya dibutuhkan upaya yang komprehensif untuk merealisasikan hal-hal tersebut.
Sebuah studi pada beberapa kota di Israel menunjukkan bahwa persepsi masyarakat terhadap keadilan pemerintah dan kemampuan mereka mengelola penghasilan berpengaruh besar pada kesediaan pembayaran pajak. Hal ini yang juga membuat tingkat pengumpulan pajak di kota-kota tersebut mencapai lebih dari 90% setiap tahunnya.
Lalu, untuk meningkatkan rasio pajak terhadap PDB, haruskah pemerintah Indonesia menerapkan hal yang sama seperti negara-negara maju yang telah disebutkan sebelumnya? Tidak juga.
Praktik tersebut adalah solusi yang mereka punya. Hal ini mengingat jumlah populasi penduduk negara-negara tersebut sedikit. Indonesia memiliki populasi 46 kali lebih banyak dari Denmark (6 juta dibandingkan dengan 278 juta).
Ibarat perusahaan automobile, Bentley harus memperbesar margin keuntungan dari setap unit mobil yang terjual untuk memaksimalkan penghasilan. Sementara untuk Toyota yang memiliki pasar lebih besar dan memproduksi lebih banyak mobil, tidak perlu menerapkan margin yang terlalu besar untuk mendapatkan pemasukkan yang sama. Cukup dengan memperbanyak penjualan.
Kuncinya adalah penegakan pajak. Tidak hanya manusianya, perusahaan yang beroperasi di Indonesia juga tidaklah sedikit. Namun, berapa dari mereka yang benar-benar taat membayar pajak masih menjadi misteri.
Dengan pasar domestik yang luar biasa besar, Indonesia menjadi sangat menarik di mata perusahaan-perusahaan asing. Dengan demikian, tidak perlu takut mengenai tidak akan ada yang tertarik berinvestasi di Indonesia.
Kedaulatan negara, keadilan pertumbuhan, serta kemakmuran seluruh rakyat tidak seharusnya menjadi ‘harga’ sebuah ‘kemajuan’. Sudah saatnya kesadaran ini ditanamkan tidak hanya pada pikiran-pikiran masyarakat, tetapi juga korporasi mengingat wajib pajak badan diasumsikan memiliki kewajiban yang lebih besar.
Upaya-upaya penghindaran pajak yang saat ini berseliweran juga perlu diminimalisasi. Kalau bukan karena kerja sama masyarakat terdahulu, Indonesia tidak akan merdeka. Kalau bukan karena kerja sama masyarakat saat ini, Indonesia tidak akan bisa berjaya.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.