LINI bisnis kartu kredit termasuk yang terpukul parah akibat pandemi Covid-19. Bagaimana tidak, mobilitas masyarakat sangat terbatas sehingga transaksi kartu kredit ikut menurun. Belum lagi, alat pembayaran jenis ini juga bersaing dengan teknologi pembayaran yang lebih anyar seperti Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan aneka layanan pay later.
Direktur Eksekutif Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) Steve Marta menilai perlu ada perlakuan yang adil antara kartu kredit dan layanan pembayaran lainnya. Dengan perlakuan yang setara, bisnis kartu kredit akan memiliki ruang lebih besar untuk tumbuh sejalan dengan pandemi yang semakin melandai.
Tak hanya soal kinerja bisnis, sosok yang sudah berkecimpung di dunia perbankan selama 30 tahun ini juga memaparkan implementasi pengenaan bea meterai tagihan kartu kredit dan penyampaian data transaksi nasabah kartu kredit untuk keperluan perpajakan. Berikut ini petikannya:
Bagaimana kinerja bisnis kartu kredit selama pandemi Covid-19?
Transaksi tertinggi kami untuk 10 tahun terakhir ini adalah pada Desember 2019. Sementara pandemi diumumkan Presiden Jokowi pada Maret 2020. Sepanjang 2020 memang seasonal. Tapi karena masa pandemi itu, pada 2020 transaksi kartu kredit kami drop bisa sampai 50%.
Yang dinamakan transaksi kartu kredit itu pertama dari pengguna kartu kredit kita, dan yang kedua adalah transaksi dari orang-orang luar negeri yang berada di Indonesia. Dua-duanya ini cukup besar. Saat ini mulai stabil, tapi tidak pernah kembali ke titik semula.
Pada saat yang sama, kami juga melihat alternatif-alternatif pembayaran lain. Keluarlah yang namanya model QR dan sebagainya. Transaksi QR itu juga meningkat di masa pandemi. Apalagi, marketplace juga banyak yang menerima transaksi QR ini.
Kita tahu pada saat pandemi face to face transaction bisa dibilang belum kembali normal karena restoran tutup dan mal tutup sehingga yang meningkat memang transaksi marketplace.
Sekarang situasi semakin membaik, transaksi kartu kredit pun semakin meningkat. Sampai dengan Maret atau April kemarin, baru bisa saya katakan bahwa transaksi kartu kredit bisa kembali mendekati nilai transaksi sebelumnya, tapi kami belum bisa melebihi.
Bagaimana proyeksi Anda mengenai kinerja bisnis kartu kredit hingga akhir tahun nanti?
Kami coba mendorong, tapi kalaupun melampaui, sepertinya masih akan sama dengan tahun 2019. Tapi di tahun depan, semoga situasinya begini terus sehingga kami optimis akan naik.
Bagaimana pandangan Anda mengenai layanan pay later yang menjamur, dengan proses pendaftaran lebih sederhana ketimbang kartu kredit?
Itu salah satu yang kami juga sampaikan kepada regulator. Saya tidak tahu apakah ini baik atau tidak, tapi memang benar masyarakat lebih mudah menggunakan fasilitas pay later. Kalau kita bedah lebih dalam lagi sebenarnya pay later adalah satu transaksi yang diubah menjadi cicilan.
Kartu kredit itu mengemban 2 fungsi, alat bayar dan fungsi cicilan. Nah, kartu kredit itu yang lebih ditonjolkan adalah fungsi alat bayarnya, bukan dari fungsi cicilan atau fungsi kredit.
Fungsi kredit itu adalah untuk emergency, jika sewaktu-waktu dibutuhkan seperti ketika harus tiba-tiba ke rumah sakit. Oleh karena itu, terbitlah aturan-aturan mengenai bagaimana sulitnya seseorang untuk mendapatkan kartu kredit. Kemudian, bagaimana regulator membatasi jumlah kartu kredit sehingga 1 hanya boleh pegang 2, dan sebagainya.
Kita tahu kasus orang tidak bisa membayar pinjamannya yang mencapai 10 pay later. Ini akhirnya akan berdampak ke bisnis kartu kredit karena masyarakat akan menjadi semakin negatif perspektifnya. Padahal di kartu kredit itu kita selalu tekankan bahwa kita memberikan fasilitas, bukan sebagai bagian kredit atau pinjaman. Lagi pula, lebih baik ambil saja kredit yang sesuai peruntukannya. Misalkan kredit perumahan atau mobil atau kredit usaha, dan sebagainya.
BI kembali memperpanjang relaksasi batas minimum dan nilai denda keterlambatan kartu kredit hingga akhir tahun. Bagaimana pandangan Anda?
Ini yang diusulkan juga oleh industri kepada Bank Indonesia, bahkan kalau bisa dipermanenkan. Karena kami juga meminta ini berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh teman-teman di bank. Meskipun pandemi ini sudah berakhir, tapi kemampuan masyarakat untuk melakukan pembayaran atau namanya income yang diterima masyarakat sehari-hari belum sepenuhnya kembali.
Industri ingin kebijakan yang bisa meringankan beban masyarakat atau nasabah. Misalnya, pendapatan Rp3 juta atau Rp4 juta sebulan, tentunya kita akan bagi uang itu dengan fasilitas yang berkaitan. Kalau porsi kartu kredit itu porsi yang terbesar, tentunya akan menggeser atau memakan porsi dari kebutuhan yang lain.
Langkah apa yang perlu dilakukan untuk mendorong pemulihan bisnis kartu kredit? Adakah insentif pajak yang diperlukan?
Menurut saya yang bisa membantu agar industri kartu kredit bisa berkembang itu mungkin secara umum adalah level playing field. Kartu kredit itu bukan sesuatu yang jelek kok, karena layanan ada alat bayar seperti e-wallet dan ada alat kreditnya jika dibutuhkan, meskipun tidak kita tonjolkan.
Kenapa QRIS atau QR bisa berkembang dengan cepat, salah satunya adalah kemudahan. Ada 2 mekanisme, mekanisme cara bayar dan mekanisme source of fund atau sumber dana.
Cara bayarnya itu bisa macam-macam, bisa kartu gesek, kartu kredit, bisa dengan contactless atau bisa dengan QR. Kemudian, sumber dana juga bisa dari tabungan, deposito, pay later, atau kartu kredit. Sekarang ini, kartu kredit itu masih belum dibolehkan menjadi sumber dana, jadi kalau kita lihat e-wallet misalkan OVO, semua sistemnya top up. Top up ini bisa diambil dari dana di tabungan atau kartu kredit, tapi kami masih belum diizinkan [menjadi sumber dana]. Kalau begini terus, lama-lama masyarakat akan meninggalkan kartu kredit.
Dengan pengenaan bea meterai atas tagihan kartu kredit senilai Rp5 juta, bagaimana pandangan Anda?
Sebetulnya ini sudah lama, hanya nilai meterainya yang naik saja. Saya tidak bisa bilang ini mengganggu atau bagaimana, tapi kalau ditanya, kalau bisa ya jangan. Ini sudah menjadi aturan pemerintah dan undang-undang, di mana sesuatu yang sah harus ada meterainya, termasuk di billing statement.
Kalau bisa tidak dikenakan, akan lebih baik lagi. Setahu saya, satu-satunya negara yang membayar ini ya di Indonesia. Kalau di luar negeri, kita bayar kartu kredit, ya sudah, bayar saja sesuai pemakaian kita.
DJP kini mempunyai akses data terhadap perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya. Bagaimana pandangan Anda atas implementasinya?
Setahu saya yang namanya akses itu dari dulu ada, khususnya untuk kartu kredit. Kalau misalnya ada kasus atau case yang sedang terjadi bagi kepolisian atau pajak, data itu boleh minta ke bank. Di tahun 2018-2019, akses langsung dari pajak itu adalah mungkin tabungan dan sebagainya. Tapi bukan berarti transaksi kartu kredit harus dilaporkan semuanya ke pajak karena ini juga bisa jadi bumerang.
Kalau minta data semua transaksi, ya mau buat apa? Lagi pula itu juga privasi masyarakat. Tapi kalau memang mau tahu berapa pemakaiannya, bisa saja karena semua bank sudah melaporkan ke SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan] OJK.
Saat ini pemerintah sedang mengadakan program pengungkapan sukarela. Apakah pengungkapan harta juga dapat berdampak pada peningkatan konsumsi dan penggunaan kartu kredit?
Orang itu melakukan transaksi bukan karena uangnya lebih banyak, tapi transaksi itu mereka pakai kalau mereka butuh. Tinggal saya pakai uang tunai atau e-wallet, kartu kredit, atau pakai apa tinggal dipilih yang lainnya. Kalau masyarakat ini bergerak dan melakukan kegiatan, pasti ada transaksi dan itu pasti digunakanlah alat-alat transaksi.
Selain itu, contohnya saja kalau pemerintah mendorong semuanya menggunakan alat digital. Misalnya pemerintah mengatur membeli bensin harus membayar pakai alat bayar digital, pasti [transaksi kartu kredit] akan meningkat karena sudah tidak menerima uang tunai lagi.
Transaksi itu akan selalu ada, tinggal masyarakat yang memilih. Kalau mereka lebih nyaman pakai digital ya pakai digital, kalau digital tidak ada, maka akan kembali ke tunai. (sap)