LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2022

Memanfaatkan Sumber Informasi Terbuka untuk Awasi Kepatuhan Pajak HNWI

Redaksi DDTCNews
Senin, 03 Oktober 2022 | 16.52 WIB
ddtc-loaderMemanfaatkan Sumber Informasi Terbuka untuk Awasi Kepatuhan Pajak HNWI

Aulia Rahmadani,

Kota Bekasi, Jawa Barat

FAKTA bahwa kekayaan dari 1% orang Indonesia setara dengan kekayaan setengah penduduk di Tanah Air menunjukkan fungsi pajak untuk redistribusi pendapatan belum efektif.

Kondisi tersebut dapat disebabkan beberapa faktor, seperti ketidakpatuhan pembayaran pajak yang masih tinggi, kebijakan dan perlakuan pajak belum berkeadilan, serta regulasi atau aturan masih menyisakan celah untuk penghindaran pajak.

Faktor keadilan dan celah aturan berkaitan erat dengan aktivitas wajib pajak kelompok high net worth individuals (HNWI). Keduanya memunculkan trade-off karena ketika Ditjen Pajak (DJP) berupaya meningkatkan tarif pajak, HNWI akan selalu berupaya menghindari pajak dengan modus baru.

Oleh karena itu, wajib pajak HNWI harus diatur dan diperlakukan secara khusus oleh DJP. Setidaknya, kita dapat melihat ada dua upaya yang dilakukan DJP untuk menangani wajib pajak HNWI sejauh ini. Pertama, membuat kebijakan untuk meningkatkan keadilan vertikal.

Adapun keadilan vertikal adalah keadilan yang memperhatikan besarnya pendapatan atau kekayaan bersih wajib pajak. Makin besar pendapat atau kekayaan bersih wajib pajak maka makin tinggi juga pajak yang dikenakan. Contoh, tarif progresif PPh.

DJP juga sadar tarif progresif perlu disesuaikan untuk meningkatkan efektivitas redistibusi pendapatan. Oleh karena itu, per 1 April 2022, tarif progresif diubah. Bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar dikenakan tarif PPh sebesar 35%.

Kedua, membuka Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar atau Large Tax Office (LTO). Dengan demikian, setiap wajib pajak kelompok HNWI dapat diawasi untuk meminimalisasi penghindaran pajak. Selain itu, kebijakan lain terkait dengan redistribusi pendapatan adalah pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Namun demikian, terdapat beberapa tantangan terkait dengan kebijakan dan perlakuan wajib pajak HNWI. Pertama, belum adanya ketentuan mengenai batasan minimal harta atau penghasilan wajib pajak untuk menentukan masuknya wajib pajak ke dalam kelompok HNWI.

Hal tersebut terutama menyangkut wajib pajak orang pribadi. Pasalnya, masih ada wajib pajak yang seharusnya masuk ke dalam kelompok itu, tetapi belum diperlakukan sebagai wajib pajak besar. Hal ini berdampak pada tidak efektifnya redistribusi.

Kedua, masih belum ada kejelasan pendataan harta wajib pajak. Hal ini memang masih menjadi perhatian khusus DJP. Pasalnya, DJP masih terus mengupayakan cara agar wajib pajak dapat transparan dan mudah melaporkan harta kekayaannya setiap tahun.

Pelaporan harta adalah aspek yang penting. Tantangan pertama bisa diperbaiki dengan adanya pelaporan harta tiap tahun yang memadai. Oleh karena itu, sebaiknya DJP memanfaatkan teknologi informasi agar pelaporan harta tiap tahun dapat dipatuhi wajib pajak.

Sumber Informasi

PELAPORAN Surat Pemberitahuan (SPT) adalah salah satu kewajiban perpajakan yang harus dilaksanakan. Dengan SPT, wajib pajak melaporkan total pendapatan dan jumlah pembayaran pajak. Hal ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya kurang/lebih pembayaran pajak.

Selain itu, melalui SPT, wajib pajak juga melaporkan harta dan utang. Dengan demikian, DJP dapat mengetahui peningkatan dan penurunan harta bersih dari wajib pajak. Data-data yang didapat akan dianalisis untuk tujuan mewujudkan keadilan.

Jika wajib pajak patuh melaporkan dan memperbarui nilai harta, DJP dapat menganalisis kemampuan bayar (ability to pay) setiap wajib pajak. Jika mengetahui tingkat ability to pay dari wajib pajak, otoritas dapat menentukan kebijakan dan perlakuan yang tepat. Hal ini sesuai dengan data hasil analisis.

Namun, tidak dapat dimungkiri masih banyak kendala di lapangan. Kendala yang dimaksud mulai dari ketidaktahuan wajib pajak mengenai prosedur pelaporan SPT, pesoalan ‘gagap teknologi’, hingga permasalahan server down.

Terlepas dari itu, ada satu masalah penting yang perlu diperhatikan, yakni pengisian harta dan utang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Persoalan ini terkesan sederhana, tapi sangat penting dalam konteks untuk mewujudkan keadilan.

Selain itu, pemangku kepentingan juga perlu melihat kiprah Eliot Higgins yang mendirikan Bellingcat, sebuah situs jurnalisme investigasi asal Belanda. Dengan situs itu, banyak kasus dan skandal besar di dunia dapat dibongkar.

Uniknya, seluruh usaha itu dilakukan dengan mengandalkan sumber terbuka (open source) yang bisa diakses siapa pun. Mulai dari berbagai unggahan pada media sosial, akurasi dari peranti lunak (software) geolokasi, serta data-data internet lainnya.

Situs web itu menunjukkan adanya kolaborasi antara jurnalisme investigasi dan jurnalisme warga. Skema ini patut untuk ditetapkan juga di Indonesia dengan beberapa adaptasi.

Skema tersebut bukan hanya membantu otoritas mengatasi kasus penghindaran pajak, tetapi juga meletakkan warga sebagai pihak yang berperan aktif dalam penuntasan kasus. Di satu sisi memberi efek jera pada pelaku. Di sisi lain menyuburkan tradisi kritis, berani, dan transparan.

Tentu saja strategi Bellingcat hanya satu dari sekian banyak cara yang bisa diterapkan. Di tangan para pemuda, kita layak menaruh harapan besar. Mereka, dengan segala karakter yang khas dan kemudahan terhadap akses informasi, memiliki peran penting sebagai peniup peluit (whistleblower) di jagat maya. Sebagaimana wasit yang bergerak di tengah lapangan, para pemuda bisa memastikan tata-kelola negara berlangsung secara bersih.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.