Deden Mulyana,
BEBERAPA waktu lalu, rencana pemerintah untuk memungut pajak pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sembako mencuat ke publik. Penolakan datang dari berbagai kalangan, mulai dari politisi, pengusaha, hingga ibu-ibu rumah tangga.
Pasalnya, sembako dinilai sebagai kebutuhan pokok masyarakat. Jika PPN dikenakan terhadap sembako, bahkan tarifnya naik menjadi 12%, masyarakat akan makin susah. Apalagi, pada saat ini, pandemi belum berakhir dan ekonomi masih melemah.
Dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja, atas perubahan pasal 4A UU PPN, kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak masih dikecualikan dari pengenaan PPN. Lantas, mengapa pemerintah tiba-tiba berencana menghapus pengecualian itu sehingga sembako bisa dikenai PPN?
Dalam penjelasan pemerintah, pengenaan PPN hanya akan menyasar sembako premium yang dikonsumsi masyarakat menengah ke atas. Namun, persepsi yang muncul di masyarakat terlanjur negatif karena tidak adanya sosialisasi atau edukasi dari pemerintah.
Pertanyaan selanjutnya, apakah rencana pengenaan PPN terhadap sembako sudah tepat, terlebih diusulkan ketika pandemi Covid-19 belum usai?
Untuk menjawabnya, perlu kita lihat juga kondisi fiskal, terutama penerimaan pajak. Pada 2020, target penerimaan pajak meleset karena hanya mencapai Rp1.069,98 triliun atau 85,65% dari target senilai Rp1.198,82 triliun.
Penurunan penerimaan pajak pada tahun lalu juga dikarenakan karena pemerintah mengeluarkan kebijakan insentif pajak. Beberapa insentif yang diberikan terkait dengan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, dan PPh Pasal 25.
Melihat kondisi tersebut, mau tidak mau, pemerintah harus mengambil metode lain untuk mengumpulkan penerimaan pajak. Salah satu kebijakan yang bisa ditempuh adalah menarik pajak dari orang-orang kaya.
Harapannya, dengan metode baru pemungutan pajak tersebut, ketika orang-orang kaya menjadi target utama, penerimaan pajak untuk tahun-tahun mendatang bisa tercapai dan pemulihan ekonomi bisa terjadi lebih cepat.
REVISI Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebetulnya menjadi sebuah terobosan yang baik dari pemerintah. Hal ini dikarenakan PPN yang dibebankan hanya untuk kelas menengah ke atas. Sementara kelas menengah ke bawah masih tetap bisa menikmati tarif PPN 0%.
Dalam menanggapi revisi UU KUP ini, seharusnya masyarakat tidak terburu-buru menanggapi dengan pesimis dan negatif. Masyarakat seharusnya lebih cermat dalam melihat dan mengetahui substansinya. Masyarakat harus lebih jeli melihat sisi baik yang diusahakan pemerintah.
Masalahnya, masyarakat belum memahami substansi penuhnya. Masyarakat hanya mendengar dari tetangga atau mengetahui sekilas dari postingan di sosial media. Begitu isu rencana revisi UU KUP mencuat, masyarakat sudah salah kaprah.
Seharusnya rencana revisi UU KUP ini tepat dan memenuhi unsur keadilan. Hal ini dikarenakan pada saat ini, orang-orang kaya memang seharusnya membantu pemerintah dalam pemulihan ekonomi.
Namun, pemerintah sebetulnya juga perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait dengan rencana pemungutan PPN atas sembako. Dengan demikian, masyarakat juga dapat memahami secara langsung dan tidak termakan informasi hoax.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pajak juga diperlukan. Selama ini, masyarakat cenderung berusaha menghindari pajak. Di samping itu, transparansi keuangan dari negara diperlukan agar masyarakat dapat memahami pentingnya pengenaan pajak PPN sembako.
PPN sembako ini seharusnya ini bisa dijadikan sebagai momentum untuk menarik pajak dari orang-orang kaya. Bukankah selama ini mereka menikmati pembebasan PPN atas sembako premium? Jika sekarang mereka diminta negara untuk membayar pajak PPN, saya kira tepat dan adil.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.