Safruddin,
KASUS korupsi akan selalu menjadi topik hangat di media massa karena jumlah kerugian negara yang ditimbulkan sangat fantastis. Salah satu kasus yang sedang ramai diperbincangkan adalah korupsi perusahaan bidang pertambangan timah, batu bara, dan nikel. Dalam kasus tersebut, Kejaksaan Agung menyatakan ada kerugian negara lebih dari Rp300 triliun.
Salah satu langkah yang ditempuh untuk memulihkan kerugian keuangan negara adalah dengan penelusuran dan penyitaan harta benda milik para tersangka. World Bank dan UNODC bahkan menginisiasi program Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) yang mendukung negara-negara dalam melacak, membekukan, dan memulihkan aset hasil korupsi yang disembunyikan di luar negeri.
Harta benda itu termasuk berbagai jenis aset seperti properti, rekening bank, hingga bentuk gratifikasi lainnya yang memiliki indikasi kuat berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Barang sitaan tersebut akan menjadi barang milik negara (BMN) kategori barang rampasan negara setelah adanya penetapan hakim atau putusan pengadilan.
Barang rampasan negara selanjutnya dapat diserahkan kepada pihak lain dengan mekanisme penjualan, pemindahtanganan, atau hibah. Kondisi ini memunculkan pertanyaan adakah potensi pajak pertambahan nilai (PPN) dari penyerahan tersebut?
Pada dasarnya, PPN dikenakan atas suatu penyerahan yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dikategorikan sebagai penyerahan terutang PPN (scope of VAT supplies) (Darussalam, Septriadi, dan Dhora, 2018).
Dalam konteks Indonesia, adanya penyerahan perlu dilihat lebih detail dengan kacamata Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (UU PPN). Jika dikaitkan dengan ketentuan dalam UU PPN, terdapat potensi penerimaan PPN atas penyerahan barang rampasan negara, yang dapat dioptimalkan untuk memulihkan kerugian negara.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pengenaan PPN atas penyerahan barang dapat dilakukan jika memenuhi dua syarat utama, yaitu barang yang diserahkan merupakan barang kena pajak (BKP) dan penyerahan barang dilakukan oleh PKP.
Berdasarkan pada ketentuan Pasal 4A UU PPN, semua barang adalah BKP, kecuali barang tertentu dalam kelompok makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, serta uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.
Berkaca pada ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 41/2023 tentang PPN atas Penyerahan Agunan yang Diambil Alih (AYDA) oleh Kreditur kepada Pembeli Agunan, penyerahan barang rampasan negara yang dilakukan oleh kejaksaan kepada pihak lain penerima atau pembeli barang rampasan negara dapat dikenakan PPN.
Hal tersebut dikarenakan pada prinsipnya, agunan memiliki karakteristik yang sama dengan barang rampasan negara. Jika agunan yang diambil alih oleh kreditur kemudian dijual untuk menyelesaikan perkara utang-piutang, barang rampasan negara yang disita kejaksaan digunakan untuk memulihkan kerugian negara.
Selanjutnya, bagaimana dengan syarat bahwa pemungutan PPN atas penyerahan barang dilakukan oleh PKP? Hal ini telah diatur dalam PMK 231/2019 s.t.d.d PMK 59/2022. Dalam PMK tersebut diatur bahwa instansi pemerintah yang melakukan penyerahan BKP wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN terutang.
Dalam penyerahan barang rampasan negara maka Kejaksaan dapat dikukuhkan sebagai PKP instansi pemerintah. Tidak hanya Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Oditurat TNI pun dapat dikukuhkan sebagai PKP instansi pemerintah karena tugas dan tanggung jawabnya dalam penuntutan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
Dengan demikian, penerapan PPN atas penyerahan barang rampasan negara dapat dilaksanakan berdasarkan pada payung hukum setingkat PMK yang berlaku saat ini. Namun, peluang untuk mengatur PPN atas penyerahan barang rampasan negara dalam undang-undang sebenarnya terbuka lebar.
Peluang itu muncul karena masih dibahasnya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset oleh pemerintah dan DPR. RUU Perampasan Aset dapat dijadikan pintu masuk untuk lebih memperkuat dasar hukum pemungutan PPN atas barang rampasan negara.
Saat ini, sistem hukum di Indonesia masih selalu dikaitkan dengan pemidanaan terlebih dahulu. Artinya, memidanakan dulu pelakunya, baru kemudian memasukkan tuntutan agar aset hasil tindak pidananya dirampas oleh negara.
Dengan RUU Perampasan Aset, perampasan aset dapat dilakukan tanpa menunggu penjatuhan pidana terhadap pelaku. Hal ini selaras dengan tren global dalam penegakan hukum terkait korupsi dan pemulihan aset yang tujuan utamanya adalah mengembalikan sebanyak mungkin kerugian negara.
Penerapan PPN atas penyerahan barang rampasan negara bukan hanya membantu menambah penerimaan negara, tetapi juga memperkuat komitmen Indonesia dalam memerangi korupsi dan memulihkan aset negara yang hilang. Inilah saatnya bagi Indonesia untuk mengoptimalkan peluang ini demi keberlanjutan pemulihan keuangan negara yang lebih cepat dan efektif.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.