Chealsee Neobing,
SEJAK merebaknya Covid-19 dan munculnya respons berupa pembatasan sosial berskala besar (PSBB), masyarakat Indonesia merasakan dampaknya, termasuk perasaan kesepian. Survei yang dilakukan Into The Light dan Change.org terkait dengan kesehatan mental masyarakat Indonesia pada periode Mei-Juni 2021 menunjukkan 98% dari 5.211 orang partisipan merasa kesepian.
Untuk mengatasi perasaan kesepian yang muncul, banyak masyarakat di Indonesia memilih untuk memelihara hewan peliharaan. Adapun hewan peliharaan, yang tidak termasuk dalam kategori hewan ternak, adalah hewan yang dirawat dan dipelihara sebagai teman sehari-hari oleh pemiliknya. Lantas, muncul fenomena ‘pets are the new kids’.
Menurut survei yang dilakukan iPrice Indonesia, 2020 tercatat sebagai tahun dengan peningkatan pencarian online terkait dengan hewan peliharaan yang paling drastis, yakni naik hingga 66%. Peningkatan itu terjadi selama periode penerapan PSBB.
Riset dari Rakuten Insight mengidentifikasi ada lima alasan utama masyarakat memelihara hewan peliharaan. Dua di antaranya adalah mengurangi stres (41%) dan merasa memiliki teman (36%). Tiga alasan lainnya adalah faktor keamanan (36%), dorongan untuk beraktivitas fisik (26%), dan aktivitas berbagi hobi (22%).
Berdasarkan pada riset tersebut, sebagian besar hewan peliharaan diperoleh melalui adopsi. Sumber adopsinya beragam. Sebanyak 38% responden mengadopsi hewan dari saudara atau teman. Kemudian, 10% responden mendapatkan hewan peliharaan dari tempat penampungan. Selain itu, 29% responden mengadopsi hewan dengan cara membeli dari toko hewan.
Sebanyak 7% responden memilih untuk membeli dari peternak (breeder) karena tertarik pada ras tertentu. Meskipun metode ini kontroversial dan belum didukung oleh sistem pengiriman yang memadai, pembelian hewan peliharaan melalui toko online juga terjadi. Namun, toko online hanya menarik minat sekitar 5% responden.
Keberagaman cara masyarakat mendapatkan hewan peliharaan ini menciptakan peluang baru bagi bisnis pet shop dan breeder. Sayangnya, tidak semua pemilik hewan peliharaan bertanggung jawab. Banyak dari mereka yang menelantarkan hewan peliharaannya.
Menurut Susana Somali, aktivis hak-hak hewan dan pemilik Pejaten Animal Shelter, salah satu faktor penelantaran adalah masalah ekonomi. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi pajak pada pembelian hewan, baik dari pet shop maupun breeder. Tujuannya untuk mendorong pemilik mengeluarkan usaha lebih setelah melakukan pembelian yang mahal. Lantas, bagaimana rencana perlakuan pajaknya?
SEPERTI disampaikan sebelumnya, berdasarkan pada survei Rakuten Insight, sebanyak 29% responden membeli hewan peliharaan dari toko hewan. Dengan total 7.015 responden, sekitar 2.034 orang telah membeli hewan peliharaan di toko. Hal ini menarik karena ada potensi pajak. Perlakuan pajak bagi pet shop dan breeder tentu berbeda.
Terlebih, pet shop menjual beragam jenis hewan sehingga pajak yang dikenakan juga bervariasi. Pertama, hewan berkaki empat dengan ras yang sering ditemui dan/atau mudah berkembang biak. Hewan berkaki empat kelompok ini dapat dikenakan pajak yang lebih rendah. Hal ini mengingat perawatannya relatif mudah dan banyaknya dokter hewan yang tersedia.
Kedua, hewan akuatik. Meskipun ada kemudahan dari sisi perawatan, ada kesulitan dari sisi dokter hewan yang berpengalaman di bidang hewan akuatik. Kondisi ini dapat menjadi pertimbangan pengenaan pajak yang lebih tinggi pada hewan akuatik dibandingkan dengan kelompok hewan berkaki empat dengan ras yang sering ditemui dan/atau mudah berkembang biak.
Ketiga, hewan berbahaya. Hewan seperti ular, tarantula, dan kadal adalah contoh yang memiliki potensi membahayakan. Dengan demikian, pemeliharaannya pun perlu mendapatkan izin dan mematuhi regulasi ketat. Oleh karena itu, pungutan pajak tertinggi diperlukan untuk menegaskan komitmen dan tanggung jawab pembeli terhadap hewan tersebut.
Keempat, hewan dengan ras tertentu dari breeder. Adapun breeder sering menjual hewan yang langka. Hewan ini biasanya memerlukan perawatan khusus. Biasanya, breeder sudah menargetkan pangsa pasar tertentu yang mau membayar mahal. Oleh karena itu, pengenaan pajak lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dari pet shop biasa dapat dipertimbangkan.
Lantas, bagaimana dengan orang-orang yang mengadopsi hewan dari tetangga dan saudara, bahkan melakukan domestikasi sendiri? Dalam kondisi ini, tidak ada transaksi yang jelas antara penjual dan pembeli. Oleh karena itu, potensi pajak dapat dioptimalkan dari berbagai fasilitas dan kebutuhan hewan peliharaan.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa semua hewan membutuhkan kebutuhan dasar, seperti makanan dan perawatan medis, yang memadai. Meskipun akan dikenai pajak, seharusnya tarif yang diberlakukan merupakan tarif yang sangat rendah. Dengan demikian, potensi pajak dapat diambil dari fasilitas dan kebutuhan lain.
Meningkatnya minat masyarakat terhadap hewan peliharaan membuka peluang bagi beberapa industri, seperti perlengkapan hewan. Pajak dapat dipungut dari kebutuhan prioritas hewan. Fasilitas yang bersifat memanjakan hewan peliharaan, misalnya layanan pet spa, pet hotel, atau aksesoris hewan, dapat dikenakan pajak yang lebih tinggi.
Masih berdasarkan pada survei Rakuten Insight, 42% responden mengeluarkan lebih dari Rp 100.000 untuk kebutuhan hewan peliharaan setiap bulan. Diikuti oleh 38% responden yang mengeluarkan Rp100.000 - Rp300.000, dan 14% responden yang mengeluarkan Rp300.000-Rp 500.000 per bulan.
Sebanyak 88% responden melaporkan pembelian produk makanan dan camilam. Sebanyak 43% membeli kandang dan pernak-pernik rumah hewan. Kemudian, sebanyak 41% membeli produk perawatan dan kebersihan. Menariknya, hanya 4% responden yang memilih untuk memberikan asuransi hewan peliharaan.
Kendati demikian, perlu ada pengecualian untuk hewan ternak dan hewan peliharaan yang digunakan untuk kebutuhan dukungan kesehatan mental (mental health support). Hal ini dapat dibuktikan dengan surat asesmen dari psikiater. Kesehatan mental adalah prioritas penting bagi negara untuk menciptakan masyarakat yang produktif dan mendukung perekonomian.
Dengan pendekatan yang tepat, regulasi pajak terkait dengan hewan peliharaan dapat membantu menciptakan kesadaran dan tanggung jawab di kalangan pemilik hewan. Pada saat bersamaan, pengenaan pajak itu dapat mendukung perlindungan terhadap hewan dan pengembangan industri hewan peliharaan yang berkelanjutan. Hal ini pada akhirnya juga berkorelasi positif dengan pendapatan negara.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.