PENERIMAAN PAJAK

Keuntungan Konsensus Pajak Global untuk Negara Berkembang Tidak Banyak

Redaksi DDTCNews | Minggu, 28 November 2021 | 10:30 WIB
Keuntungan Konsensus Pajak Global untuk Negara Berkembang Tidak Banyak

Ilustrasi. Gedung Kementerian Keuangan. (foto: Kemenkeu)

JAKARTA, DDTCNews - Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu menyebut proposal konsensus global pajak internasional tidak membuat negara berkembang mendapatkan banyak keuntungan.

Analis Kebijakan Ahli Muda BKF Melani Dewi Astuti mengatakan konsensus global dengan Pilar 1 dan Pilar 2 merupakan bentuk kompromi dalam skala internasional. Namun, negara berkembang tidak mendapatkan semua keuntungan dari adanya konsensus global.

"Jadi untuk Pilar 1 itu negara maju yang membagi penghasilan ke negara pasar yang sebagian besar merupakan negara berkembang. Sementara Pilar 2 justru kebalikannya, negara maju yang lebih banyak mendapatkan keuntungan," katanya, dikutip pada Minggu (28/11/2021).

Baca Juga:
Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Melani menjelaskan Pilar 1 dalam konsensus pajak global mengatur hak pemajakan bagi negara pasar meskipun perusahaan multinasional tidak memiliki kehadiran fisik.

Perubahan tersebut membuka ruang hak pemajakan negara pasar seperti Indonesia terhadap aktivitas bisnis perusahaan multinasional digital yang tidak memiliki kantor cabang atau bentuk usaha tetap (BUT), tetapi memperoleh penghasilan dari pasar domestik.

Meski demikian, terdapat sejumlah syarat yang berpotensi mereduksi jumlah penerimaan pajak negara pasar dari Pilar 1 antara lain ambang batas omzet konsolidasi naik dari €750 juta menjadi €20 miliar. Perubahan tersebut mengurangi basis pemajakan perusahaan multinasional yang bisa dikenakan PPh badan, meskipun tidak memiliki kehadiran fisik.

Baca Juga:
PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Kemudian, basis pemajakan bukan berdasarkan laba total tapi mengacu pada laba residual yang dibagi ke negara pasar sebesar 25%. Lalu, hak pemajakan berlaku untuk nilai penjualan minimum di negara pasar senilai €1 juta.

"Jadi kalau kurang dari itu [€1 juta penjualan domestik], kita tidak bisa pajaki, meskipun ada hak pemajakan baru, tetapi ada kriteria tertentu yang membuat tidak bisa dipajaki," ujarnya.

Selanjutnya, Pilar 2 mengatur pajak minimum bagi perusahaan multinasional sebesar 15%. Pada Pilar 2 ini, manfaat terbesar berlaku pada negara maju. Sebab, hak mendapatkan top up tax atau selisih dari tarif pajak minimum 15% berlaku bagi negara tempat ultimate parent entity (UPE) berdomisili.

"Perlu diingat Pilar 2 ini lebih ke arah ultimate parent entity negara domisili yang bisa narik. Jadi di mana induk perusahaan berada. Padahal, kalau dilihat induk perusahaan multinasional itu banyak di negara maju, bukan di negara berkembang," jelas Melani. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

BERITA PILIHAN
Jumat, 19 April 2024 | 18:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT atas Makanan dan Minuman?

Jumat, 19 April 2024 | 17:45 WIB KEANGGOTAAN FATF

PPATK: Masuknya Indonesia di FATF Perlu Diikuti Perbaikan Kelembagaan

Jumat, 19 April 2024 | 17:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Meski Tidak Lebih Bayar, WP Tetap Bisa Diperiksa Jika Status SPT Rugi

Jumat, 19 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jokowi Segera Bentuk Satgas Pemberantasan Judi Online

Jumat, 19 April 2024 | 16:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Jangan Diabaikan, Link Aktivasi Daftar NPWP Online Cuma Aktif 24 Jam

Jumat, 19 April 2024 | 15:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Kring Pajak Jelaskan Syarat Piutang Tak Tertagih yang Dapat Dibiayakan

Jumat, 19 April 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Persilakan WP Biayakan Natura Asal Penuhi 3M