Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Dengan diundangkannya UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD), kenaikan nilai jual objek pajak (NJOP) tidak serta merta diikuti dengan kenaikan PBB terutang.
Berdasarkan Pasal 40 UU HKPD, NJOP yang digunakan pemerintah daerah (pemda) untuk menghitung PBB adalah sebesar 20% hingga 100% dari NJOP yang tidak dikurangi NJOP tidak kena pajak (NJOPTKP) senilai Rp10 juta.
"NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3)," bunyi Pasal 40 ayat (5) UU HKPD, dikutip pada Rabu (8/2/2023).
Dalam ketentuan yang lama, yaitu UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), besaran PBB dihitung dengan cara mengalikan tarif PBB dengan NJOP yang telah dikurangi NJOPTKP senilai Rp10 juta.
Mengingat ketentuan lama tidak memberikan fleksibilitas kepada pemda dalam menentukan NJOP yang digunakan untuk menghitung PBB terutang, kenaikan NJOP bakal selalu diikuti oleh kenaikan PBB.
Melalui UU HKPD, pemda diberikan keleluasaan untuk menentukan PBB terutang atas setiap objek pajak. Dengan keleluasaan tersebut, kenaikan NJOP yang sejalan dengan harga pasar tak serta merta menimbulkan kenaikan beban PBB bagi masyarakat.
Agar ketentuan PBB dalam UU HKPD dapat diterapkan, pemda dan DPRD harus terlebih dahulu melakukan penyesuaian peraturan daerah (perda). Pemda diberi waktu hingga 5 Januari 2024 untuk menyesuaikan perdanya sesuai dengan UU HKPD.
Apabila jangka waktu tersebut tidak dipenuhi, pemungutan pajak dan retribusi di daerah tersebut harus dilaksanakan berdasarkan UU HKPD.
Merujuk pada Pasal 94 UU HKPD, seluruh jenis pajak dan retribusi harus ditetapkan dalam 1 perda. Artinya, setiap pemda diwajibkan untuk hanya memiliki 1 perda yang mengatur seluruh jenis pajak dan retribusi daerah termasuk PBB. (rig)