BERITA PAJAK SEPEKAN

Isu Terpopuler: Ketentuan Soal PPN Final dan PPS Hindarkan Sanksi 200%

Redaksi DDTCNews
Sabtu, 16 Oktober 2021 | 08.00 WIB
Isu Terpopuler: Ketentuan Soal PPN Final dan PPS Hindarkan Sanksi 200%

Ilustrasi.

JAKARTA, DDTCNews - Melanjutkan tren pekan lalu, topik terkait UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) masih hangat didiskusikan warganet. Namun, berbeda dengan pekan lalu yang masih berfokus pada sejumlah poin utama yang diatur dalam UU HPP, isu terpopuler pekan ini mulai menyasar perincian peraturan yang lebih teknis. 

Pembahasan tentang PPN final misalnya, menjadi yang terpopuler. Ketentuan PPN final pada UU PPN yang diubah melalui UU HPP disiapkan untuk mempermudah pemungutan dan penyetoran PPN oleh pengusaha kena pajak (PKP).

Merujuk pada ayat penjelas dari Pasal 9A ayat (1), PPN final nantinya akan diterapkan untuk memberikan kemudahan administrasi serta rasa keadilan. Adapun salah satu PKP yang nantinya bakal bisa menggunakan skema PPN final adalah UMKM. 

"Menteri Keuangan dapat menentukan besarnya PPN yang dipungut dan disetor oleh PKP yang peredaran usahanya dalam 1 tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu," bunyi ayat penjelas dari Pasal 9A ayat (1) UU PPN yang diubah dengan UU HPP.

Selain PKP yang memiliki omzet tidak melebihi jumlah tertentu, PPN final nantinya juga dapat diberlakukan atas PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu.

PKP dengan kegiatan usaha tertentu yang dimaksud antara lain mereka yang kesulitan dalam mengadministrasikan pajak masuk, mereka yang melakukan transaksi melalui pihak ketiga, atau kegiatan usaha yang proses bisnisnya kompleks sehingga pengenaan PPN tidak dapat dilakukan dengan mekanisme normal.

Terakhir, ketentuan PPN final nantinya juga dapat diberlakukan terhadap PKP yang melakukan penyerahan BKP/JKP tertentu. BKP/JKP tertentu yang dimaksud adalah BKP/JKP yang dikenai PPN dalam rangka perluasan basis dan BKP yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.

Artikel lengkap terkait PPN final, baca PPN Final Bakal Berlaku Atas PKP dengan Omzet Tertentu, Ini Detailnya.

Kemudian, berita terpopuler kedua berkaitan dengan program pengungkapan sukarela (PPS) yang akan digelar selama 6 bulan pada 2022 mendatang. 

Pemerintah melalui UU HPP memberikan beberapa fasilitas kepada wajib pajak yang mengikuti program pengungkapan sukarela pada skema pertama untuk perolehan harta periode 1985-2015.

UU HPP mengatur wajib pajak yang berpartisipasi dalam program pengampunan pajak 2016 bisa memanfaatkan skema pertama program pengungkapan sukarela harta, dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan pengungkapan harta.

Jika sudah mendapatkan surat keterangan atas pengungkapan harta maka berlaku beberapa ketentuan, di antaranya tidak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 200% dari pajak penghasilan yang tidak atau kurang dibayar yang diatur dalam UU No.11/2016 tentang Pengampunan Pajak.

"Wajib Pajak yang telah memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) UU No.11/2016 tentang Pengampunan Pajak," bunyi Pasal 6 ayat (5) UU HPP.

Selain itu, masih ada fasilitas lain yang bisa didapatkan peserta tax amnesty 2016 yang memanfaatkan program pengungkapan harta yaitu data dan informasi yang disampaikan wajib pajak dalam surat permohonan beserta lampirannya tidak akan dijadikan dasar melakukan penegakan hukum.

Pasal 6 ayat (6) UU HPP menegaskan data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta tidak dapat dijadikan sebagai dasar melakukan penyelidikan terhadap wajib pajak. Data dan informasi tersebut juga tidak dapat dijadikan dasar melakukan penyidikan dan/atau upaya penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Artikel lengkap terkait isu di atas, baca Ikut Program Ungkap Harta, WP Bisa Terhindar dari Sanksi 200%

Selain 2 di atas, masih banyak topik perpajakan lainnya yang menarik untuk diulas lebih dalam. Berikut ini 5 artikel terpopuler DDTCNews selama sepekan terakhir yang layak disimak:

1. Kembangkan Fitur Baru DJP Online, Ini Pengumuman Ditjen Pajak
Ditjen Pajak (DJP) telah mengembangkan sejumlah fitur baru dalam DJP Online pada 2021.

Dalam Pengumuman No. PENG-12/PJ.09/2021 tertanggal 8 Oktober 2021, DJP menyatakan pengembangan sejumlah fitur baru sejalan dengan KEP-389/PJ/2020 serta sebagai bentuk transparansi dan pemberian layanan terbaik kepada wajib pajak.

"Pada tahun 2021, Direktorat Jenderal Pajak telah mengembangkan sejumlah fitur baru dalam aplikasi layanan perpajakan yang dapat diakses melalui login di situs web pajak (pajak.go.id)," tulis DJP melalui pengumuman yang diteken Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Neilmaldrin Noor. 

Apa saja fitur yang dimaksud? Langsung saja klik tautan pada judul artikel di atas. 

2. Ada Batasan Omzet Tidak Kena Pajak, UMKM Diharapkan Ekspansi Usaha
Kementerian Keuangan berharap fasilitas batasan peredaran bruto tidak kena pajak pada UU HPP dapat mendorong UMKM melakukan ekspansi usaha.

Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti mengatakan adanya batasan omzet tidak kena pajak tersebut maka sebagian penghasilan yang sebelumnya dipakai untuk membayar pajak, kini dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas usaha.

"Ini diharapkan bisa memberikan stimulus bagi usaha kecil sehingga uang yang tadinya digunakan untuk membayar pajak, sekarang bisa digunakan untuk membeli barang dan ekspansi penjualan," katanya.

Untuk diketahui, ketentuan mengenai batasan omzet atau peredaran bruto tidak kena pajak adalah klausul baru pada UU PPh yang dimasukkan melalui UU HPP. Adapun klausul baru tersebut akan berlaku mulai tahun pajak 2022.

Wajib pajak orang pribadi yang membayar pajak memakai skema PPh final UMKM atau PP 23/2018 tidak perlu membayar pajak final atas omzet hingga Rp500 juta per tahun. Bagi yang memiliki omzet lebih dari Rp500 juta maka hanya bagian omzet di atas Rp500 juta yang terutang PPh UMKM.

3. UU HPP Ubah Ketentuan Soal Kuasa Wajib Pajak
UU HPP mengubah ketentuan terkait kuasa wajib pajak yang tercantum dalam Pasal 32 ayat (3a) UU KUP.

Perubahan itu berkaitan dengan keharusan bagi kuasa wajib pajak untuk memiliki kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan. Namun, syarat kompetensi tertentu ini tidak berlaku jika kuasa wajib pajak merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah/semenda hingga derajat kedua.

"Seorang kuasa yang ditunjuk...harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua," demikian bunyi Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dalam UU HPP.

Berdasarkan penjelasan Pasal 32 ayat (3a), kompetensi tertentu tersebut antara lain jenjang pendidikan tertentu, sertifikasi, dan/atau pembinaan oleh asosiasi atau Kementerian Keuangan.

Untuk itu, masih berdasarkan penjelasan Pasal 32 ayat (3a), kuasa juga dapat dilakukan konsultan pajak atau pihak lain sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Adapun yang dimaksud dengan kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari wajib pajak untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

4. UU HPP, Pengungkapan Ketidakbenaran SPT Maksimal Sebelum SPHP Terbit
Wajib pajak kini hanya punya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) sepanjang Dirjen Pajak belum menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP).

Ketentuan tersebut tertuang di Pasal 8 ayat (4) UU KUP yang diubah melalui UU HPP. Ayat ini memperkenankan wajib pajak dengan kesadaran sendiri mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT meski telah diperiksa. Hal ini bisa dilakukan sepanjang Dirjen Pajak belum menyampaikan SPHP.

"Walaupun Dirjen Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Dirjen Pajak belum menyampaikan SPHP, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan," demikian bunyi Pasal 8 ayat (4) UU KUP dalam UU HPP.

Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT tersebut harus dilakukan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kendati wajib pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran pengisian SPT, Pasal 8 ayat(4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP ini menyatakan proses pemeriksaan akan tetap dilanjutkan.

5. Apa Beda Program Ungkap Sukarela dan Tax Amnesty? Ini Penjelasan DJP
DJP menegaskan PPS yang akan digelar pada 2022 'berbeda dan tidak sama' dengan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016.

Kasubdit Hubungan Masyarakat DJP Dwi Astuti mengatakan kebijakan PPS harta bersih merupakan upaya pemerintah meningkatkan kepatuhan pajak secara sukarela. Dia menyampaikan wajib pajak didorong untuk lebih patuh dan jujur atas kepemilikan harta yang selama ini belum dilaporkan dalam SPT Tahunan.

"Ini kebijakan pemerintah memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk jujur sehingga meningkatkan kepatuhan," katanya dalam acara Tax Talk di akun Instagram DJP.

Dwi Astuti mengungkapkan program PPS akan memiliki ketentuan implementasi yang jauh lebih sederhana dibandingkan program tax amnesty pada 2016. Hal tersebut juga berlaku dari sisi tata cara yang berbeda dengan program pengampunan pajak.

Pada program PPS yang berlaku tahun depan ini lebih banyak menggunakan saluran elektronik. Selain itu, skema yang berlaku bersifat deklaratif dan dengan menyampaikan pembetulan SPT Tahunan.

"Jadi sangat berbeda dengan TA 2016. Pengungkapan sukarela lebih sederhana, dilakukan secara online dan dengan pembetulan SPT. Ini memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk lebih jujur lagi," terangnya dalam diskusi yang dimoderatori oleh Dian Anggraeini ini. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.