RUBINO SUGANA:

'Harus Ada Terobosan Inovatif'

Redaksi DDTCNews
Jumat, 03 Juni 2016 | 11.53 WIB
'Harus Ada Terobosan Inovatif'

Revenue Strategy Adviser Australia Indonesia Partnership for Economic Governance Rubino Sugana. (Foto: DDTCNews)

PERMASALAHAN sistem pajak di Indonesia seolah tak henti bergulir. Era pemerintahan yang silih berganti tidak serta-merta menyelesaikan permasalahan itu. Presiden Joko Widodo juga menaruh perhatian besar di sektor pajak. Dia berjanji akan melakukan banyak perubahan dalam sistem pajak.

Lalu, sejauh mana upaya pemerintah mengatasi persoalan sistem pajak? Untuk menelisik persoalan tersebut secara lebih dalam, DDTCNews mewawancarai Rubino Sugana, Revenue Strategy Adviser pada Australia Indonesia Partnership for Economic Governance beberapa waktu lalu. Petikannya:

Reformasi pajak kini jadi agenda prioritas pemerintah. Komentar Anda?

Harus diakui semenjak era kepemimpinan Jokowi, diskusi terbuka mengenai pajak menjadi lebih intensif. Ini berbeda dengan era Orde Baru, dimana semua pihak tunduk mengikuti kebijakan yang berlaku. Saat itu, akses data dan informasi pajak juga terbatas.

Pada tahun 2016, Jokowi menetapkan target penerimaan pajak yang cukup tinggi. Untuk itu pemerintah sedikit kewalahan memenuhi target setoran pajak. Belakangan ini muncul sejumlah tekanan dari kebijakan-kebijakan yang diluncurkan pemerintah sebelumnya.

Kebijakan tersebut di antaranya, penghapusan sanksi, revaluasi aset, dan sebagainya yang akan mengurangi future income tax. Ditambah polemik kebijakan tax amnesty, yang tentunya akan turut mengurangi penerimaan pajak.

Secara jangka panjang arah kebijakan pajak Jokowi sudah jelas dan benar. Namun, pemerintah perlu memperluas basis pemajakan, salah satunya menoptimalkan penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi di luar pegawai yang selama ini kontribusinya masih rendah.

Soal pertukaran data & informasi, bagaimana Anda menilainya?

Data dan informasi berperan penting dalam menjamin trust antara otoritas pajak dan WP. Meskipun sudah ada aturannya, kebijakan pertukaran informasi masih menjadi persoalan yang problematis di Indonesia terutama antara otoritas pajak dan perbankan.

Jika otoritas pajak mampu menunjukkan kredibilitasnya dalam menjaga kerahasiaan data dan informasi, seharusnya bank tidak perlu ragu memberikan data dan informasi nasabahnya kepada otoritas pajak.

Ada baiknya bank-bank di Indonesia mewajibkan nasabahnya melaporkan surat pemberitahuan pajak (SPT) sebelum membuka rekening atau saat akan mengajukan pinjaman. Ini akan menjadikan WP lebih dipercaya otoritas pajak, sekaligus menjadikan bank sebagai institusi penting dalam perpajakan.

Di tingkat internasional kebijakan pertukaran informasi ini sudah disepakati lebih dari 90 negara. Negara-negara itu berkomitmen saling memberikan data dan informasi secara terbuka untuk tujuan perpajakan. Ini dapat membatasi aktivitas negara tax haven yang memfasilitasi para penghindar pajak.

Era keterbukaan informasi memang diharapkan mampu mengatasi persoalan struktur penerimaan pajak yang menyangkut kepatuhan WP. Nantinya sistem pertukaran informasi yang sistematis akan menjaring WP yang selama ini belum masuk ke dalam sistem.

Struktur penerimaan pajak kita didominasi PPh Badan. Komentar Anda?

Tradisi mengandalkan PPh, terutama PPh badan sebagai sumber utama penerimaan memang perlu dibenahi. Skema withholding tax yang sering digunakan dalam mengumpulkan PPh tidak terlepas dari pro dan kontra. Prinsip keadilan dianggap terbaikan jika melihat banyak WP yang belum masuk ke dalam sistem.

Semakin luasnya objek pajak dan tingginya tarif pajak, semakin terasa berat bagi WP. Di sini lah letak ketimpangan beban pajak antara WP patuh dan tidak patuh. Selain itu, terdapat semacam gangguan terhadap cashflow WP, di mana pajak yang dipotong akhir tahun pajak menyebabkan banyak restitusi.

Di lain sisi, otoritas pajak sebagai pihak yang pro dengan skema ini, menganggap withholding tax sudah tepat. Skema potong dan/ atau pungut yang bebannya dilimpahkan pada pihak ketiga akan memudahkan otoritas pajak dalam mengumpulkan penerimaan dan mendapatkan informasi pajak.

PPh dapat saja terus diandalkan, namun harus ada terobosan inovatif dalam proses pemungutannya. Misalnya menerapkan double-tax system seperti di Skandinavia. Ada pula, ketentuan pemisahan PPh antara yang berasal dari aset dan penghasilan sehubungan dengan pekerjaan seperti di Norwegia.

Metode ini digunakan untuk mengenakan pajak  atas badan usaha ilegal di sana. Alternatif lainnya adalah menggali penerimaan pajak dari sektor Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Hal ini menjadi relevan seiring komitmen Indonesia untuk bersaing dalam Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Arus pasar bebas MEA memungkinkan barang dan jasa yang diperjualbelikan di Indonesia harganya menjadi sangat murah. Didukung perkembangan ekonomi digital dan budaya konsumtif masyarakat Indonesia, PPN seharusnya bisa memberikan kontribusi besar.

Apakah ini berarti PPN dapat dijadikan tulang punggung baru ?

Tentu saja bisa, namun upaya ini tidak terlepas dari beberapa kendala. Pertama, penegakan hukum pajak masih belum merata atau adil. Masih ada wajib pajak yang tidak membayar pajak, namun terbebas dari jeratan hukum.

Kedua, sulitnya melakukan pengawasan karena faktor geografis. Indonesia sebagai negara kepulauan memungkinkan tidak terdeteksinya suatu transaksi barang dan jasa yang terutang PPN. Misalnya, akibat banyaknya titik perbatasan di Indonesia, potensi penyelundupan barang menjadi cukup tinggi.

Ketiga, di Indonesia ada banyak barang dan jasa yang diberikan fasilitas PPN atau exemption. Sebenarnya, fasilitas ini tidak diperlukan jika proses restitusi dapat dilakukan lebih cepat dan tidak rumit. Seandainya restitusi dapat segera diberikan kepada WP tentu ini akan menjadi stimulus.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.