JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Rabu (1/8) kabar mengenai tarif pajak penghasilan (PPh) final kembali mewarnai media nasional. Pasalnya tarif pajak yang berlaku untuk usaha kecil dan menengah (UKM) dan telah diubah dari 1% menjadi 0,5%, mulai berlaku hari ini.
Kabar selanjutnya kembali kepada terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 65/2018 yang sempat dianggap memberi ketidakpastian kepada wajib pajak. Otoritas pajak mengklaim beleid ini sebagai upaya penyesuaian terhadap perbendaharaan dan anggaran.
Selain itu, pemerintah berusaha menumbuhkan kepercayaan pelaku usaha agar menarik devisa hasil ekspor dari luar negeri. Tujuannya yaitu untuk menambah cadangan devisa yang tergerus. Pada akhir Juni 2018 mencapai USD119.839, sepanjang semester I 2018 cadangan devisa berkurang USD10.357.
Berikut ringkasannya:
Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan omzet Juli 2018 disetor pada Agustus akan otomatis dikenakan dengan tarif 0,5%. Dalam hal implementasi aturan, Kementerian Keuangan tengah merumuskan aturan lebih teknis mengenai kebijakan ini. Aturan teknis itu akan mengatur SPT pajak jika pelaku UKM memilih pembukuan, atau Surat Keterangan bila pelaku UKM bertransaksi dengan pemotong pajak seperti bendaharawan pemerintah.
Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan PMK 65/2018 mengakomodir wajib pajak tertentu yang tidak ingin menerima imbalan bunga secara tunai ke rekeningnya, tapi ingin diperhitungkan untuk pembayaran kewajiban pajak masa mendatang. Contohnya, PPh 25 untuk bulan yang sama akan semakin mempermudah wajib pajak. Namun skema ini hanya dilakukan atas permohonan wajib pajak, bukan suatu kewajiban yang harus diikuti oleh wajib pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sejumlah negara menerapkan kebijakan yang ketat untuk pengaturan devisa hasil ekspor dan arus modal keluar. Saat ini pemerintah masih dalam tahap dengar pendapat dengan pelaku usaha agar devisa bisa masuk dan bertahan lama di dalam negeri. Dia merasa hal ini bisa menumbuhkan rasa kepercayaan antara pengusaha terhadap pemerintah.
Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai rencana pemerintah menaikkan tarif cukai dan menyederhanakan layer cukai, justru berpotensi menyemarakkan peredaran rokok ilegal. Ketua Gappri Ismanu Soemiran menganggap salah satu pemicu peningkatan peredaran rokok ilegal dan penurunan produksi rokok resmi disebabkan tingginya harga rokok akibat kenaikan tarif cukai di atas daya beli masyarakat. Seperti halnya di Malaysia, peredaran rokok ilegal sangat banyak karena harga rokok yang mahal pula.
Kementerian perindustrian memberi insentif berupa tax holiday bagi industri dan perusahaan yang memproduksi kendaraan listrik dan perusahaan yang mengembangkan teknologi baterai dan motor listrik. Insentif pajak ini dikabarkan terbit pada Agustus 2018, termasuk yang super deductable tax untuk vokasi dan inovasi. (Amu)