Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022. Kebijakan ini diamanatkan oleh Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Anggota Komisi XI DPR Heri Gunadi mengatakan regulasi tersebut perlu dikaji ulang. Alasannya, hingga saat ini belum ada aturan teknis terkait. Terlebih, harga komoditas sedang mengalami tren kenaikan.
“Namun, melihat kondisi terkini, ada baiknya pemerintah mengkaji ulang pemberlakukan ketentuan tersebut," kata Heri dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (12/3/2022).
Heri menyampaikan ada 4 alasan yang mendasari usulannya untuk menunda kenaikan tarif PPN. Pertama, hingga saat ini pemerintah belum mengeluarkan aturan teknis.
Menurutnya, aturan teknis ini penting sebagai pedoman pelaksanaan pemberlakukan tarif PPN 11%. Implementasi dari aturan teknis pun perlu disosialisasikan bila sudah terbit. Namun, dengan siwa waktu kurang dari 3 pekan menuju kenaikan tarif PPN, aturan teknis urung terbit.
"Terlalu mepet untuk membuat aturan teknis sekaligus menyosialisasikannya," ujarnya.
Kedua, kondisi perekonomian nasional yang terdampak penyebaran varian Omicron serta kenaikan harga komoditas global maupun energi. Kombinasi kedua faktor tersebut menjadikan momentum saat ini tidak ideal untuk menaikkan tarif PPN. Sebab menurutnya, kebijakan ini akan berdampak pada ekonomi rakyat.
“Sejak memasuki 2022, ekonomi rakyat mulai terdesak oleh kenaikan sejumlah produk, antara lain minyak goreng, kedelai, daging, BBM non-subsidi dan yang lainnya," ungkap Heri.
Dia menambahkan, keadaan kian diperparah dengan terjadinya konflik Rusia-Ukraina yang menyebabkan harga sejumlah komoditas global makin melejit tinggi.
Ketiga, penerimaan pajak relatif akan meningkat seiring harga komoditas global dan energi. Trennya pun belum menunjukkan penurunan. Bahkan, harga komoditas global makin melejit akibat dampak perang Rusia-Ukraina.
"Pemerintah bisa mendapatkan penerimaan negara dari kenaikan harga Indonesian crude price (ICP) dan sejumlah komoditas lainnya," ujarnya.
Keempat, pada 2 April 2022 adalah awal Bulan Ramadhan, yang kemudian disusul dengan perayaan Idul Fitri pada Mei 2022. Pada momentum ini, menurutnya tingkat konsumsi akan melonjak.
"Bila akan dikenakan PPN 11% maka akan membebani dan sekaligus bisa menurunkan daya beli masyarakat. Padahal, konsumsi masyarakat pada Ramadhan dan Idul Fitri menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Heri yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. (sap)