Laman muka dokumen PER-10/PJ/2025.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) telah menerbitkan Peraturan Dirjen (Perdirjen) Pajak Nomor PER-10/PJ/2024 mengenai ketentuan pembayaran dan penyetoran pajak, serta pengembalian kelebihan pembayaran atau restitusi pajak.
Penerbitan PER-10/PJ/2024 ini sejalan dengan penerapan coretax administration system mulai 1 Januari 2025. DJP juga menyebut perlu penataan ketentuan di bidang perpajakan yang berkeadilan dan memberikan kepastian hukum guna meningkatkan penerimaan pajak dan mendukung perekonomian nasional.
"Penataan ketentuan di bidang perpajakan dilakukan dalam lingkup proses bisnis, teknologi informasi, dan basis data, termasuk melalui penyederhanaan dan penyesuaian pengaturan pembayaran dan penyetoran pajak serta pengembalian kelebihan pembayaran pajak," bunyi salah satu pertimbangan PER-10/PJ/2024, dikutip pada Kamis (13/2/2025).
Ruang lingkup dalam PER-10/PJ/2024 ini meliputi ketentuan pembayaran dan penyetoran pajak; serta ketentuan restitusi pajak.
Mengenai pembayaran dan penyetoran pajak, dilakukan ke kas negara melalui layanan atau kanal pembayaran yang disediakan oleh collecting agent sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
Pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP); meterai, untuk pembayaran bea meterai; atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Dalam hal diperlukan, SSP dapat dibuat lebih dari 1 rangkap sesuai dengan kebutuhan.
SPP ini paling sedikit berisi 5 informasi, yakni Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); kode akun pajak; kode jenis setoran; masa pajak atau bagian tahun pajak atau tahun pajak; dan nominal yang disetor atau dibayar.
Sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP tersebut dapat berupa Bukti Penerimaan Negara (BPN) atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem penerimaan negara secara elektronik; atau surat setoran pabean, cukai, dan pajak atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta PPN hasil tembakau buatan dalam negeri.
Selanjutnya, yang dipersamakan dengan SSP juga termasuk bukti pemindahbukuan atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui pemindahbukuan; surat perintah pencairan dana atas pembayaran pajak; dan bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembayaran atau penyetoran pajak dilaksanakan secara elektronik dilakukan melalui sistem billing DJP. Pembayaran atau penyetoran pajak meliputi pembayaran dan penyetoran seluruh jenis pajak, kecuali pajak dalam rangka impor (PDRI) yang diadministrasikan oleh Ditjen Bea dan Cukai (DJBC); dan/atau pajak yang tata cara pembayarannya diatur secara khusus.
"Transaksi pembayaran atau penyetoran pajak ... dilakukan dengan menggunakan kode billing," bunyi Pasal 4 ayat (3) PER-10/PJ/2024.
Transaksi pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui layanan atau kanal pembayaran pada loket atau teller (over the counter); layanan atau kanal pembayaran dengan menggunakan sistem elektronik seperti mesin ATM dan internet banking; dan sarana lainnya.
Atas pembayaran atau penyetoran pajak tersebut, wajib pajak akan menerima BPN. BPN ini dapat berbentuk tertulis atau elektronik.
BPN ini paling sedikit mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN); nomor transaksi bank/nomor transaksi pos/nomor transaksi lembaga persepsi lainnya; kode billing; NPWP; nama wajib pajak; alamat wajib pajak, kecuali untuk BPN yang diterbitkan melalui ATM dan mesin EDC; tanggal bayar; mata uang; dan jumlah nominal pembayaran.
Pasal 7 PER-10/PJ/2024 kemudian menjelaskan pemindahbukuan dilakukan berdasarkan permohonan wajib pajak atau secara jabatan.
Pertama, pembayaran pajak terkait penyampaian atau pembetulan SPT masa sejak masa pajak Januari 2025, SPT PPh untuk bagian tahun pajak sejak bagian tahun pajak yang berakhir pada Januari 2025, dan SPT Tahunan sejak tahun pajak 2025.
Kedua, pembayaran pajak terkait penyampaian atau pembetulan surat pemberitahuan masa bea meterai. Ketiga, pembayaran pajak terkait ketetapan pajak atau surat keputusan atau putusan yang menyebabkan pajak yang masih harus dibayar bertambah.
Keempat, jenis pembayaran pajak selain pajak selain yang telah disebutkan, termasuk pembayaran PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan untuk penerbitan surat keterangan penelitian formal bukti pemenuhan kewajiban penyetoran PPh dan penyetoran di muka bea meterai. Kelima, deposit pajak.
"Dalam hal terjadi Keadaan kahar, direktur jenderal pajak berwenang menentukan kebijakan khusus yang diperlukan untuk mendukung pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban perpajakan," bunyi Pasal 8 PER-10/PJ/2024.
Pasal 9 beleid ini kemudian menyatakan wajib pajak memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi dalam hal terdapat kelebihan pembayaran pajak yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP), Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, surat keputusan, atau putusan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Restitusi pajak harus diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak wajib pajak. Apabila setelah dilakukan perhitungan masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak, sisa kelebihan pembayaran pajak tersebut dikembalikan kepada wajib pajak atau dapat digunakan untuk 2 keperluan.
Pertama, membayar utang pajak atas nama wajib pajak lain. Kedua, mengisi deposit pajak atas nama wajib pajak, berdasarkan persetujuan wajib pajak.
Kepala KPP akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak atas kelebihan pembayaran pajak setelah diperhitungkan dengan utang pajak; dan/atau utang pajak atas nama wajib pajak lain dan/atau deposit wajib pajak.
Berdasarkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak itulah, kepala KPP atas nama menteri keuangan bakal menerbitkan surat perintah membayar kelebihan pajak atau surat perintah membayar imbalan bunga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga akan diterbitkan dalam hal wajib pajak berhak atas pemberian imbalan bunga. Imbalan bunga yang terkait dengan PPh, PPN, dan PPnBM diberikan kepada wajib pajak dalam hal terdapat 5 kondisi.
Pertama, keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. Kedua, keterlambatan penerbitan SKPLB. Ketiga, keterlambatan penerbitan SKPLB.
Keempat, kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali, dikabulkan sebagian atau seluruhnya.
Kelima, kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) yang mengabulkan sebagian atau seluruh permohonan wajib pajak.
Namun, ketentuan tersebut dikecualikan jika kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan yang terkait dengan persetujuan bersama; atau kelebihan pembayaran pajak karena surat keputusan pembatalan surat ketetapan pajak.
Imbalan bunga yang terkait dengan PBB diberikan kepada wajib pajak dalam hal terdapat keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran PBB. Sedangkan imbalan bunga yang diberikan berdasarkan Pasal 27B ayat (1) UU KUP, diberikan secara proporsional berdasarkan keputusan dan/atau putusan pada setiap tingkat upaya hukum yang diajukan.
Imbalan bunga yang diberikan berdasarkan Pasal 27B ayat (3) UU KUP, atas kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT); surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atas SKPKB atau SKPKBT; atau surat keputusan pengurangan atau pembatalan STP, diberikan secara proporsional berdasarkan tanggal pembayaran SKPKB, SKPKBT, atau STP.
Pada saat PER-10/PJ/2024 ini berlaku, pembayaran atau penyetoran pajak terkait tahun pajak, bagian tahun pajak, atau masa pajak sebelum berlakunya perdirjen ini masih menggunakan tata cara sebagaimana diatur dalam PER-09/PJ/2020 s.t.d.d. PER-22/PJ/2021.
Adapun pembayaran atau penyetoran pajak atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), STP, SKPKB, SKPKBT, SKP PBB, STP PBB, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, putusan banding, putusan peninjauan kembali, dan surat keputusan persetujuan bersama yang diterbitkan sebelum berlakunya perdirjen ini; PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan; dan SPT masa bea meterai, yang belum dilunasi sampai dengan berlakunya perdirjen ini, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan PER-10/PJ/2024 ini.
Pada saat PER-10/PJ/2024 ini mulai berlaku, PER-05/PJ/2017 tentang Sistem Pembayaran Pajak secara Elektronik; PER-09/PJ/2020 s.t.d.d. PER-22/PJ/2021 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak; dan lampiran huruf D dan huruf E SE Dirjen Pajak Nomor SE-27/PJ/2022 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
"Peraturan direktur jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025," bunyi Pasal 13 PER-10/PJ/2024. (sap)