PANDEMI Covid-19 telah mengakibatkan resesi ekonomi di berbagai negara, tidak terkecuali bagi Indonesia. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 sebesar -2,07%. Walau relatif tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan kinerja banyak negara lain, pertumbuhan negatif ini merupakan pertama kalinya sejak 1998.
Resesi ekonomi tersebut juga turut berdampak bagi lesunya penerimaan pajak. Berdasarkan perhitungan dari data pendapatan negara dalam APBN Kita Kemenkeu dan data produk domestik bruto (PDB) yang dirilis BPS, tax ratio Indonesia – dalam artian luas – turun dari 10,74% (2019) menjadi 8,94% (2020).
Sejak tahun lalu, OECD telah memberikan sinyal pandemi dapat berpengaruh bagi risiko penurunan penerimaan pajak secara drastis. Khusus bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik, OECD menggarisbawahi perlunya untuk mempelajari pola yang terjadi pada periode krisis sebelumnya, yaitu resesi global 2008.
Melalui publikasinya Revenue Statistics in Asian and Pacific Economies 1990-2018 yang terbit Juli 2020 lalu, OECD menyampaikan data yang relevan. Data yang dimaksud adalah pola penurunan tax ratio di berbagai negara Asia dan Pasifik setelah terjadinya krisis 2008. Upaya mengukur dampak resesi dilakukan dengan membandingkan tax ratio pada 2007 (situasi ekonomi normal) dengan kinerja pada 2009 (situasi krisis).
Secara rata-rata, tax ratio di kawasan Asia Pasifik berkurang sebesar satu poin. Penurunan ini masih lebih kecil dari rata-rata penurunan di negara OECD (-1,4%), tapi jauh lebih buruk dari rata-rata penurunan di negara Amerika Latin (-0,7%) dan Afrika (-0,1%).
Salah satu penyebab besarnya dampak resesi 2008 terhadap penurunan tax ratio ialah tingginya ketergantungan negara Asia-Pasifik terhadap penerimaan PPh Badan. OECD mencatat secara rata-rata, terdapat penurunan rasio PPh badan terhadap PDB di kawasan ini dari 4,9% menjadi 4,1%.
Celakanya, saat ini negara-negara di kawasan Asia-Pasifik relatif masih memiliki ketergantungan penerimaan pajak dari PPh badan. Sebagai ilustrasi, pada 2017, sekitar 19% penerimaan masih berasal dari pos tersebut. Jauh lebih besar dari negara OECD yang hanya sekitar 9,3% (OECD, 2020).
Oleh karena itu, resesi akibat pandemi Covid-19 yang turut berdampak negatif bagi kinerja pelaku usaha diperkirakan akan berpengaruh besar terhadap performa tax ratio di kawasan Asia-Pasifik.
Tingginya pengaruh dampak resesi bagi tax ratio 2009 juga disebabkan jatuhnya harga komoditas. Hal ini juga terkonfirmasi dari besaran penurunan tax ratio di negara yang penerimaannya banyak bergantung dari sumber daya alam, seperti Kazakhstan dan Papua Nugini.
Di sisi lain, resesi relatif tidak terlalu besar pengaruhnya bagi penerimaan pajak di negara-negara yang memiliki struktur penerimaan yang lebih terdiversifikasi dan tidak berbasis komoditas.
Tax ratio di beberapa negara juga tetap meningkat, terutama karena dampak resesi global yang tidak terlalu memukul perekonomian mereka. Hal ini dialami emerging economies seperti China dan Malaysia. Tax ratio pada negara yang tidak terlalu berinteraksi dalam perekonomian global seperti Tokelau, Samoa, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Cook, juga relatif stabil.
Terdapat satu pelajaran penting dari krisis 2008 yang relevan bagi prospek tax ratio pada periode pandemi. Risiko penurunan tax ratio agaknya sesuatu yang sulit untuk dihindari dengan mengingat terkontraksinya perekonomian hampir di seluruh negara.
Tinggi rendahnya penurunan tax ratio akan sangat dipengaruhi dari struktur ekonomi dan komposisi penerimaan pajak di masing-masing negara. (kaw)