THOMSON Reuters Institute bekerja sama dengan Acritas mengadakan survei yang menyasar lebih dari 300 profesional pajak dari berbagai level di perusahan-perusahaan Amerika Serikat. Survei diadakan pada Januari—April 2020 dengan komposisi responden pada level tinggi (49%), level menengah (32%), dan level rendah (19%).
Adapun survei yang dilakukan secara web based tersebut fokus terhadap area-area seperti tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi, strategi rekrutmen, kesenjangan keahlian (skill gap), penggunaan teknologi automasi beserta perkembangannya, serta pemanfaatan jasa konsultan pajak.
Masa pandemi pada era digitalisasi membawa tantangan tersendiri bagi perusahaan dan karyawan. Perubahan proses bisnis dan manajemen dikhawatirkan dapat berujung pada pengurangan jumlah pegawai untuk menghemat biaya, meningkatkan efisiensi, serta mempertahankan produktivitas kerja.
Namun demikian, perkembangan teknologi merupakan suatu peluang untuk mengasah kemampuan pegawai yang pada akhirnya dapat memberikan nilai lebih. Di sisi lain, perubahan proses bisnis dan manajemen sering kali mendapatkan hambatan dari para pegawai karena mengubah cara kerja mereka.
Dari beragam faktor krusial yang menyangkut permasalahan sumber daya tenaga kerja, kesenjangan keahlian merupakan tantangan tersendiri bagi banyak perusahaan, tak terkecuali pada divisi yang menangani hal-hal yang menyangkut perpajakan.
Tabel berikut memperlihatkan hasil survei atas responden yang terdiri dari 250 karyawan internal dan 185 rekrutmen baru di berbagai perusahaan. Masing-masing memberikan pendapatnya terkait dengan adanya kesenjangan keahlian pada domain-domain tertentu seperti pengetahuan pajak, teknologi, legal dan kepatuhan, riset dan analis, serta akuntansi.
Hasilnya, sebanyak 39% karyawan internal dan 38% karyawan baru menyadari adanya kekurangan pengetahuan yang berkaitan dengan pajak. Di sisi lain, sebanyak 30% karyawan internal menyadari adanya skill gap terkait teknologi.
Menariknya, hanya 11% rekrutmen baru di berbagai perusahaan yang berpendapat tidak ada suatu skill gap yang menyangkut dengan teknologi. Hal ini menyiratkan hasil rekrutmen baru di berbagai perusahaan-perusahaan tersebut pada umumnya cenderung memiliki kemampuan terkait dengan teknologi dibandingkan pengetahuan pajak.
Dalam laporan survei tersebut, divisi pajak umumnya mengalami kesulitan dalam merekrut tenaga kerja baru yang memiliki kapabilitas dalam mengoptimalkan teknologi digital yang disertai oleh perubahan dari sistem perpajakan. Ini adalah tenaga kerja yang memiliki perpaduan keahlian berbasis teknologi dan pengetahuan perpajakan.
Namun, perbedaan serupa juga terdapat pada persepsi atas skill gap yang berkaitan dengan riset dan analisis, legal dan kepatuhan, dan ranah-ranah lainnya. Secara keseluruhan, rekrutmen baru yang mengakui adanya skill gap mayoritas lebih rendah proporsinya dibandingkan dengan proporsi karyawan internal.
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karyawan baru umumnya memang khusus direkrut untuk menangani masalah-masalah spesifik sehingga persepsi mereka terhadap adanya skill gap lebih rendah apabila dibandingkan dengan persepsi karyawan lama.
Kedua, karyawan baru tidak mengetahui secara menyeluruh terkait permasalahan yang ada di suatu perusahaan sehingga menghasilkan suatu persepsi yang berbeda di dalam survei tersebut.
Dalam menyikapi hasil survei tersebut, tentunya dibutuhkan analisis lebih lanjut oleh masing-masing perusahaan. Adanya perbedaan persepsi di antara karyawan akan menyebabkan perbedaan penanganan atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi suatu perusahaan.
Untuk itu, diperlukan suatu strategi komunikasi yang jelas agar dapat membantu karyawan, baik lama maupun baru, untuk dapat terus mengembangkan keahlian dan wawasan mereka. Dengan demikian, mereka dapat terus konsisten dalam memberikan kontribusi yang optimal terhadap perusahaan.*