REFORMASI pajak membutuhkan suatu paradigma baru berupa kerangka kepatuhan pajak yang berbasis hubungan yang kooperatif antara wajib pajak dan otoritas pajak atau sering disebut kepatuhan kooperatif (cooperative compliance). Paradigma ini dinilai tepat digunakan untuk meredesain sistem pajak yang dapat menjamin kesinambungan penerimaan sekaligus meminimalkan sengketa.
Paradigma cooperative compliance sendiri adalah suatu bentuk adaptasi dari pokok-pokok reformasi perpajakan yang meliputi penguatan lembaga, sinergisitas dan komunikasi antarinstitusi, serta simplifikasi peraturan pajak. Pendekatan ini diharapkan dapat menjangkau dinamika perubahan arena pajak dan tekanan situasi perekonomian, terutama di masa pandemi seperti sekarang ini.
Pada intinya, paradigma baru cooperative compliance ini mensyaratkan adanya hubungan yang dibangun atas adanya transparansi, partisipasi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara wajib pajak, otoritas pajak, dan konsultan pajak (OECD, 2008).
International Monetary Fund (IMF) bersama dengan Intra-European Organisation of Tax Administrations (IOTA), The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dan Asian Development Bank (ADB) membangun sebuah kerangka survei yang dinamakan International Survey on Revenue Administration (ISORA).
Salah satu isu terkait administrasi pajak yang menjadi fokus survei ISORA tersebut adalah pendekatan kepatuhan kooperatif khusus untuk wajib pajak besar yang diterapkan oleh otoritas pajak masing-masing negara. Sebagai responden, otoritas-otoritas pajak di tiap-tiap negara memberikan klarifikasi mengenai penerapan pendekatan kepatuhan kooperatif terhadap wajib pajak besar.
Tabel berikut merangkum hasil survei ISORA yang dilakukan pada 2017. Negara-negara yang terdapat pada tabel merupakan negara yang merupakan responden dan menerapkan pendekatan kepatuhan kooperatif, tanpa melihat asal kawasan ataupun benua dari negara-negara tersebut.
Hasilnya, mayoritas negara-negara responden sudah memiliki pendekatan kepatuhan kooperatif tetapi hanya beberapa yang masing-masing otoritas pajaknya sudah mengimplementasikan pendekatan tersebut. Negara-negara yang dimaksud antara lain Siprus, Portugal, Meksiko, Lituania, Brasil, Cina, dan Indonesia.
Sementara itu, negara-negara yang tidak berinisiatif menerapkan pendekatan tersebut sama sekali berasal dari beragam kawasan yang antara lain Bulgaria, Cile, Hong Kong, Kanada, Kenya, Kolombia, Kosta Rika, Luksemburg, Malaysia, Polandia, Republik Cheska, Rumania, Thailand, dan Turki.
Menariknya, di antara negara-negara di Asia Tenggara yang menjadi responden, hanya Singapura dan Indonesia yang mempertimbangkan pendekatan kepatuhan kooperatif terhadap wajib pajak besar di negaranya masing-masing.
Perlu diingat, survei tersebut hanya memuat pendekatan kepatuhan kooperatif wajib pajak besar. Dengan demikian, negara-negara yang menerapkan pendekatan tersebut kemungkinan sangat menggantungkan penerimaan pajaknya pada kontribusi wajib pajak besar.*