KEJAHATAN pajak merupakan salah satu kejahatan keuangan selain korupsi, suap, pendanaan teroris, pemalsuan laporan keuangan, maupun tindak pencucian uang.
Pada 2013, OECD Oslo Dialogue meluncurkan inisiatif kebijakan untuk memerangi kejahatan pajak yang salah satu pilarnya adalah mengenai standar dan praktik terbaik (OECD’s standard setting and best practices).
Cakupan pilar tersebut antara lain menyangkut (i) 10 prinsip global untuk memerangi kejahatan pajak, (ii) meningkatkan kerjasama antar lembaga dalam negeri, (iii) penukaran informasi antarotoritas pajak dan memperluas kerjasama internasional, serta (iv) melarang suap sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Adapun 10 prinsip global itu terdiri atas prinsip-prinsip dalam memerangi kejahatan pajak seperti menetapkan pelanggaran pajak sebagai praktik kriminal, memiliki kekuatan investigasi yang cukup, menyediakan sumber informasi investigasi yang memadai, memiliki kerangka yang efektif untuk kerjasama internasional, dan sebagainya.
OECD dalam rilisnya bertajuk “Combatting Tax Crimes More Effectively in APEC Economies” membahas bagaimana negara-negara yang tergabung dalam Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC) memerangi kejahatan pajak.
Kerjasama internasional yang berpayung hukum dan memiliki mekanisme serupa antaryurisdiksi diharapkan dapat menyamakan level playing field sehingga otoritas pajak dapat secara efektif mendeteksi berbagai kejahatan pajak.
Tabel di bawah ini menggunakan informasi yang terdapat dalam rilis OECD tersebut mengenai upaya negara-negara APEC dalam memerangi kejahatan pajak. Selain mengacu pada OECD, terdapat pula bentuk instrumen kerjasama global seperti United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), Multilateral Convention on Mutual Administrative Assistance in Tax Matters (MAC), dan Automatic Exchange of Financial Account Information (AEOI).
Dalam informasi tersebut, sebanyak 13 negara APEC (termasuk Indonesia), telah menunjukkan upaya yang maksimal dalam memerangi kejahatan pajak. Upaya ini dilihat dari keterlibatan negara-negara tersebut dalam menerapkan standar dan praktik OECD maupun partisipasi dalam kerjasama global.
Kondisi ini tentu merupakan kabar yang cukup memuaskan dalam kerja sama ekonomi yang menggaungkan ‘perdagangan bebas’ di kawasan Asia Pasifik, mengingat lebih dari setengahnya telah menunjukkan keseriusannya dalam memerangi kejahatan pajak tersebut.
Namun, hal tersebut tidak semata-mata dapat dijadikan pedoman dalam mengukur upaya memerangi kejahatan pajak. Pilar ketiga dari OECD Oslo Dialogue memfokuskan evaluasi dan dampak dari tahapan implementasi terhadap negara-negara yang telah menerapkan pilar pertama. Sepertinya, perlu ditinjau juga seberapa jauh tingkat penerapan pilar pertama melalui pilar ketiga, yaitu Evaluation and Impact Measurement. (kaw)