CIKARANG, DDTCNews – Pungutan pajak air tanah dari kawasan industri terbesar di Indonesia, Kabupaten Bekasi, masih sangat kecil. Tercatat, kontribusinya masih kurang dari Rp10 miliar per tahun yang hanya bersumber dari 300 wajib pajak.
Ketua Panitia XXVI DPRD Kabupaten Bekasi Nurdin Muhidin mengatakan potensi pajak dari sektor industri sangatlah besar, karena ada ribuan pabrik di satu kawasan tersebut. Pajak air tanah seharusnya menjadi lumbung pendapatan asli daerah terutama dari daerah dengan sektor industri yang besar.
“Jika perusahaan besar yang ada di kawasan semisal ada 3.000 perusahaan. Artinya jika wajib pajaknya hanya 300 perusahaan, yang bayar pajak hanya 10%. Kemudian sisanya mereka ambil air dari mana? Apakah dari PDAM? Belum tentu, apa mereka tidak menggunakan air sedikitpun?” paparnya di Cikarang, Selasa (6/3).
Setiap industri yang berdiri, baik itu industri kecil maupun skala besar, membutuhkan banyak air untuk menjalankan usahanya. Tapi, kompensasi yang didapat pemerintah daerah dari air yang digunakan itu justru sangat jauh dari harapan.
Dia memaparkan persoalan realisasi pajak air tanah masih ditelusuri akar persoalannya. Mengingat rendahnya realisasi itu bisa juga disebabkan karena proses izin yang terlewat, pencatatan yang tidak aktual atau nilai perolehan air yang rendah.
“Termasuk apakah 300 wajib pajak itu taat membayar semua atau justru tidak? Apakah petugas di lapangan mengecek meteran airnya? Nilai perolehan air pun kalau terbilang terlalu murah Rp500 per kubik sehingga akan kami naikkan,” paparnya seperti dilansir beritacikarang.com.
Lebih lanjut, Nurdin bersama Pansus XXVI tetap akan terus mengecek kondisi di daerah terdekat seperti di Kota Bekasi dan Karawang sebagai pembanding realisasi pajak air tanah. Adapun realisasi pajak air tanah setinggi 70% diberikan pada pemerintah kabupaten atau kota, sedangkan 30% sisa realisasnya diserahkan kepada pemerintah provinsi.
“Meski 70% diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota, jumlahnya tetap kecil,” pungkasnya. (Amu)