Perkembangan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
JAKARTA, DDTCNews – Bank Indonesia meyakini ketahanan ekonomi Indonesia masih cukup kuat, meskipun rupiah pada akhir pekan ini terdepresiasi hingga di titik terlemah setelah krisis moneter 1998. Apa yang menjadi pembeda Indonesia dibandingkan negara lain?
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan ada beberapa indikator menjadikan kondisi Indonesia berbeda dari negara lain, apalagi bila dibandingkan dengan Turki dan Argentina yang tengah mengalami krisis.
Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi, performa Indonesia cukup bagus. Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia pada semester I/2018 mencapai 5,17%. Walaupun demikian, capaian ini masih jauh dari asumsi 5,4% dalam APBN 2018.
Selain itu, sambung Perry, tingkat inflasi terjaga rendah. Berdasarkan pemantauan harga hingga minggu kelima, indeks harga konsumen pada Agustus 2018 diperkirakan deflasi 0,06% (month to month/mtm) atau mengalami inflasi 2,12% (ytd) dan inflasi 3,19% (yoy).
“Message-nya, inflasinya sangat rendah. Kondisi stabilitas sistem keuangan kita terjaga. Intermediasi juga kuat. Dari berbagai indikator makroekonomi kita, stabilitas ekonomi, pertumbuhan itu juga terjaga,” jelasnya, seperti dikutip pada Sabtu (1/9/2018).
Perry melanjutkan hal yang membedakan Indonesia dengan negara lain yakni hati-hatinya kebijakan-kebijakan yang diambil. Kebijakan yang prudent itu baik dari sisi moneter maupun fiskal, tidak terkecuali kebijakan-kebijakan lain di bidang stabilitas sistem keuangan.
Dia pun mengapresiasi komitmen kuat Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintahan untuk segera menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Seperti diketahui, CAD Indonesia pada kuartal II/2018 tercatat 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Salah satu kebijakan yang telah ditempuh itu yakni pemberlakuan kewajiban pencampuran bahan bakar minyak dengan 20% crude palm oil (CPO). Kebijakan yang akrab disebut B20 ini dinilai mampu menurunkan defisit sekitar US$2,2 miliar pada tahun ini.
“Pariwisata juga digenjot. Ada juga penundaan sejumlah proyek yang belum finansial closing, TKDN, dan kedepannya CAD akan semakin rendah. Itu sejumlah hal yang membedakan Indonesia dari negara lain, apalagi dibandingkan dengan Turki dan Argentina,” tutur Perry.
Seperti diberitakan sebelumnya, dalam perdagangan spot Jumat (31/8/2018), rupiah ditutup di level Rp14.710 per dolar AS. Di pasar internasional, menurut data Reuters, rupiah ditutup semakin melemah di level Rp14.839 per dolar AS.
Adapun, pada hari yang sama, kurs tengah (Jisdor) BI dipatok senilai Rp14.711 per dolar AS. Angka ini juga melemah sekitar 0,38% dibandingkan dengan posisi hari sebelumnya Rp14.655 per dolar AS. Angka ini merupakan level terlemah setelah krisis moneter 1998. (kaw)