MAHKAMAH KONSTITUSI

Bernuansa Premium Remedium, Ketentuan Soal Pidana Pajak Diuji di MK

Muhamad Wildan
Sabtu, 02 Maret 2024 | 09.00 WIB
Bernuansa Premium Remedium, Ketentuan Soal Pidana Pajak Diuji di MK

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews - Wajib pajak bernama Puguh Suseno mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap Pasal 39 ayat (1) huruf d dan huruf i UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Kuasa hukum pemohon Muhammad Ardilangga mengatakan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh karena tidak secara tegas mengatur unsur pemidanaan atas wajib pajak yang menyampaikan SPT atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap. Norma pada Pasal 39 hanya menekankan unsur kesengajaan semata tanpa memberikan uraian yang jelas.

"Sehingga dengan menggunakan penalaran yang sangat wajar setiap orang yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam ketentuan Pasal 39 ayat (1) UU KUP secara mutlak dapat dengan mudah dan akan selalu dikenakan pendekatan pemidanaan," ujar Ardilangga membacakan alasan permohonan, dikutip Sabtu (2/3/2024).

Menurut pemohon, Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP justru terlihat mengedepankan premium remedium ketimbang ultimum remedium. Penerapan pasal-pasal pidana dalam UU KUP dipandang tidak memiliki parameter yang jelas.

"Seharusnya pelanggaran terkait menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP lebih tepat apabila terlebih dahulu diterapkan sanksi administratif dalam kerangka konseptual administrative penal law," ujar Ardilangga.

Lebih lanjut, pemohon juga mempertanyakan klausul sanksi denda dalam Pasal 39 ayat (1) UU KUP yang memungkinkan jaksa ataupun hakim untuk menjatuhkan pidana denda sebesar 2 kali hingga 4 kali jumlah pajak yang kurang dibayar atas terpidana yang terbukti tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong/dipungut.

Menurut pemohon, sanksi denda atas terpidana yang sengaja tidak menyetor pajak perlu dibatasi maksimal sebanyak 2 kali dari jumlah pajak yang terutang.

"Hal ini penting agar dalam praktik tidak terdapat disparitas penjatuhan sanksi denda pada perkara perpajakan berkaitan dengan perbuatan tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara," ujar Ardilangga.

Dalam petitumnya, pemohon meminta kepada MK untuk menyatakan Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan Pasal 39 ayat (1) huruf i bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling banyak 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar'.

Mendengar permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah meminta pemohon untuk memperkuat legal standing-nya.

"Misalnya prinsipal sudah pernah menyampaikan secara benar dan lengkap, kemudian dipersalahkan bahwa ini tidak benar, tidak lengkap. Sehingga itu ada causal verban, ada hubungan sebab-akibat kan begitu ya, sehingga saya persoalkan norma ini. Nah, itu harus diungkapkan gitu. Kalau tidak, nanti khawatirnya dipandang meskipun sebagai pembayar pajak bisa jadi juga tidak punya legal standing," ujar Guntur.

Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur juga mengatakan bahwa pemohon belum menjabarkan kerugian konstitusional yang dialami. "Status pembayar pajak, kerugiannya apa, dan dalam putusan MK tidak semuanya dapat diberikan kedudukan hukum sebagai pembayar pajak. Ini perlu elaborasi lagi," ujar Ridwan.

Para pemohon pun diberi kesempatan untuk memperbaiki permohonan dan menyerahkan naskah perbaikan paling lambat pada 13 Maret 2024 pukul 9.00 WIB. (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.