FENOMENA ketidaksetaraan global sering kali terlihat ketika sebagian kecil negara maju menguasai sumber kekayaan yang sangat besar. Pada saat bersamaan, banyak negara berpendapatan rendah dan berkembang masih terus berjuang dalam ‘perang’ melawan kemiskinan.
Ide terkait dengan konsep inter-nation equity oleh Musgrave (1972) berfokus pada pembagian hak pajak antarnegara. Tujuannya untuk mencapai keadilan dalam distribusi pajak secara internasional. Konsep ini muncul sebagai respons atas kebutuhan untuk memperoleh pendapatan pajak suatu negara, selain mempertimbangkan aspek redistribusi agar mengurangi ketimpangan.
Fenomena tersebut dibahas secara menarik dalam artikel berjudul Inter-Nation Equity And The Regulation of Tax Competition via The Global Minimum Tax Rule: A Case of Improvement. Artikel karya Chidozie Chukwudumogu ini dimuat dalam Jurnal Intertax edisi ke-10 Volume 52, Oktober 2024.
Peraih gelar doktor bidang International Tax law Policy dari University of Auckland itu menekankan bahwa aturan global minimum tax (GMT) harus mendorong kesetaraan antarnegara. Selain itu, dia menekankan pentingnya semua negara mendapat bagian yang adil atas pendapatan pajak dari perusahaan multinasional (MNC).
ATURAN terkait pajak minimum global belum sepenuhnya mempertimbangkan prinsip inter-nation equity. Hal ini justru dapat memperburuk ketidaksetaraan global karena aturan tersebut akan lebih menguntungkan negara-negara berpenghasilan tinggi (high-income countries/HICs) dan kurang sesuai untuk negara-negara berpenghasilan rendah (low-income countries/LICs).
Kebijakan tersebut tidak cocok bagi LICs. Hal ini dikarenakan aturan akan ‘membatasi’ efek redistribusi positif dari persaingan pajak dalam bentuk narasi insentif pajak berbasis keuntungan (profit-based incentives) yang tidak efektif dan tidak efisien. Dampaknya, aliran modal ke LICs akan makin terbatas.
Dalam artikel tersebut, penulis mengungkap 2 pendekatan yang ditujukan untuk menjelaskan fenomena inter-nation equity dalam kompetisi peraturan pajak secara global. Pendekatan yang dimaksud adalah differentiated approach dan effective tax competition.
Differentiated approach didasarkan pada penerapan domestic law equitable principle yang menjelaskan adanya perlakuan berbeda sesuai dengan ability to pay. Artinya, pihak yang berpenghasilan lebih tinggi membayar pajak lebih banyak daripada pihak yang berpenghasilan lebih rendah.
Perbedaan kemampuan antarnegara mendorong perlunya kebijakan pajak internasional yang berkeadilan. Dalam hal ini, dibutuhkan pemberian hak lebih bagi LICs, seperti mengurangi kewajiban tertentu hingga mengizinkan praktik tax competition untuk menarik investasi masuk ke negaranya. Sejalan dengan itu, hukum internasional juga mendukung adanya tanggung jawab bersama oleh setiap negara dengan memperhatikan situasi sosial ekonomi serta kontribusi setiap negara.
Oleh sebab itu, otoritas pembuat kebijakan seharusnya mengadopsi dan mengimplementasikan aspek ‘differentiation’ saat mendesain kebijakan pajak internasional. Hal ini menjadi salah satu solusi yang adil bagi LICs untuk tetap dapat memberikan insentif pajak yang efektif dan efisien.
Kemudian, effective tax competition. Adanya persaingan pajak memiliki efek redistribusi positif melalui masuknya investasi asing. Kondisi ini dapat menjadi penggerak ekonomi yang berkelanjutan dalam upaya pengentasan kemiskinan, kelaparan, dan pendidikan.
Adanya kebijakan GMT yang tidak adil bagi LICs dapat membatasi persaingan pajak yang efektif tersebut. Situasi ini dapat berujung pada munculnya kesulitan LICs untuk menggairahkan iklim investasi dalam negeri.
Penulis menyatakan terlepas dari pro-kontra bentuk insentif pajak yang lebih baik, cost-based ataupun profit-based, aturan GMT memang ditujukan untuk mengurangi persaingan tersebut. Akan tetapi, hal ini justru akan menghilangkan kesempatan bagi LICs untuk memanfaatkan skema pemberian insentif.
ALIH-alih menciptakan kesetaraan, regulasi terkait GMT justru berpotensi memperlebar ketimpangan global. Ketimpangan diperkirakan akan meningkat akibat adanya regulasi GloBE dengan dua alasan. Pertama, aturan tersebut membatasi efek redistribusi positif. Kedua, regulasi tersebut akan mendorong persaingan pajak yang kurang cocok bagi LICs.
Lebih jelasnya, GloBE akan membatasi beberapa jenis persaingan pajak dan membatasi efek redistribusi positif. Kemudian, secara tidak langsung LICs akan dipaksa mengadopsi aturan yang mungkin saja akan berdampak lebih buruk jika dibandingkan dengan kondisi saat ini. Kedua hal tersebut akan menjadi disinsentif bagi LICs dan membuat perusahaan multinasional (MNC) enggan untuk berinvestasi di LICs.
Aturan GloBE yang ada akan membatasi persaingan pajak oleh LICs baik dalam hal operasional, profit, maupun tarif PPh dan insentif pajak yang berada dibawah tarif minimum global. Adanya tarif minimum akan memungkinkan negara lain (diluar LICs) berhak untuk mengenakan top-up tax (meski tidak serta merta) jika sebuah perusahaan MNC memiliki laba yang belum dipajaki di LICs.
Tentunya, hal itu akan merugikan bagi LICs yang tidak mengadopsi kebijakan GMT, karena negara lain kemungkinan besar akan mengenakan top-up tax melalui mekanisme yang ada. Sekalipun LICs tetap menerapkan kebijakan GMT, hal itu akan menetralkan sifat insentif pajak berbasis laba.
Dengan begitu, investasi yang dilakukan oleh MNC ke LICs yang selama ini menjanjikan, menjadi tidak menarik lagi. Alih-alih diuntungkan, LICs serta negara-negara berkembang lainnya cenderung dirugikan dan tidak mendapatkan tambahan penerimaan dengan diterapkannya GMT.
DOSENÂ hukum pada Sydney Law School di University of Sydney itu mengatakan aturan GloBE secara praktik dan teori justru akan mendorong semua negara untuk terlibat dalam persaingan pajak melalui tarif PPh badan, kredit pajak, dan kegiatan substansial. Ketiganya akan sulit dilakukan oleh LICs dan justru akan dimanfaatkan HICs yang secara keadaan diuntungkan dalam berbagai hal.
Penulis juga menyebutkan bahwa LICs tidak akan diuntungkan jika harus bersaing dalam hal tarif pajak penghasilan. Setidaknya, terdapat 3 alasan terkait hal itu. Pertama, tantangan administratif dan aturan kompleks yang memberatkan bagi LICs.
Kedua, perjanjian investasi internasional yang mempertahankan insentif pajak. Jika aturan ini diadopsi maka keberadaan insentif akan melanggar aturannya sendiri. Ketiga, faktor tuan rumah operasional oleh MNC. Suatu negara harus berstatus sebagai negara parent bagi MNC untuk mendapatkan keuntungan dari aturan GloBE. Sekali lagi, hal itu sulit dimiliki oleh LICs.
Oleh karena itu, tidak tepat bagi LICs untuk bersaing dalam persaingan pajak di bawah aturan GloBE. Pembuat kebijakan perlu dan harus mengadopsi prinsip inter-nation equity yang menjadi ide utama tulisan tersebut. Lalu, bagaimana cara menerapkan dan menghadirkan prinsip ‘kesetaraan’ dalam lanskap perpajakan global?
Perlu diingat, mindset penerapan aturan GMT yang ‘dipukul rata’ untuk negara-negara dengan kondisi yang jelas berbeda tidaklah tepat. Sebaliknya, perlu ada pendekatan berbeda untuk memperlakukan negara-negara yang tidak setara. Dengan pendekatan yang berbeda, aturan GloBE seharusnya tidak diterapkan dalam kondisi asimetris ketika ‘meniadakan’ insentif pajak yang efektif dari LICs.
Chidozie menyarankan bahwa LICs harus diperbolehkan untuk tetap mengadopsi insentif pajak berbasis keuntungan. Bukan tanpa bukti, perusahaan multinasional (MNC) dan LICs harus dapat menunjukkan bahwa adanya tarif pajak rendah, yang mendatangkan arus investasi, akan meningkatkan indeks pembangunan manusia di negara LICs.
Sebagai bukti, otoritas LICs perlu menyiapkan analisis berisi manfaat yang diperoleh ketika suatu kebijakan pajak diterapkan di negara tersebut. Di samping itu, instrumen berupa dokumen country-by-country reporting (CbCR) dapat dimanfaatkan sebagai salah satu persyaratan yang memuat informasi tentang operasional MNC di suatu negara untuk diverifikasi lebih lanjut.
Pada akhirnya, penulis memproyeksi diperlukannya instrumen multilateral agar kebijakan tersebut berdampak lebih baik bagi LICs dan negara-negara berkembang dalam mengantisipasi masalah yang mungkin akan muncul ke depan. Intinya, ide utama penulis adalah LICs dan negara-negara berkembang masih memerlukan insentif pajak untuk mengurangi kemiskinan multidimensi melalui pertumbuhan ekonomi.
Dengan demikian, adanya pendekatan berbeda sebagaimana pembahasan inti dari artikel tersebut diharapkan memberi dampak nyata dalam rangka menangani isu ketidaksetaraan dan kemiskinan melalui sistem perpajakan global yang adil.