ANALISIS TRANSFER PRICING

Aplikasi Metode Transfer Pricing atas Transaksi Digital

Kamis, 03 Oktober 2019 | 15:00 WIB
Aplikasi Metode Transfer Pricing atas Transaksi Digital

Flouresya Lousha,
DDTC Consulting

SALAH satu faktor pendukung semakin berkembangnya industri komunikasi dan teknologi informasi adalah peningkatan daya saing dan inovasi berbisnis. Hal ini turut berdampak langsung pada konsep ekonomi yang sarat dengan penerapan teknologi informasi, yaitu ekonomi digital.

Industri ekonomi digital menjadi sektor potensial bagi perekonomian Indonesia. Selain terlihat pada meningkatnya jumlah start-up, perkembangan industri ini juga terlihat pada gencarnya investasi asing. Untuk itu, pemerintah perlu meracik kebijakan yang mencerminkan kepentingan negara dan bisnis.

Sejalan dengan itu, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga mengakui ekonomi digital mulai menuju titik puncaknya. Tidak lama lagi, hampir semua perusahaan multinasional harus mampu memisahkan kontribusi nilai dalam value chain digital usahanya.

Ketika itu berhasil dilakukan, kontribusi nilai yang tercipta tersebut harus sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha menurut OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax Administration (OECD Guidelines) dengan metode transfer pricing di dalamnya.

Meskipun OECD telah melakukan banyak pembaruan dalam mengembangkan aspek perpajakan sehubungan dengan ekonomi digital, hingga kini langkah mengenai penetapan harga yang sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha untuk model bisnis ekonomi digital belum tersedia.

Akibatnya, perusahaan multinasional yang menerapkan model bisnis ekonomi digital harus memanfaatkan seluruh pedoman yang tersedia dalam OECD Guidelines untuk menguji kewajaran transaksi afiliasinya.

Dalam rantai nilai (value chain) umumnya, transaksi antarperusahaan afiliasi berkaitan dengan barang berwujud, jasa, barang tidak berwujud, dan instrumen keuangan. Bertentangan dengan fakta itu, dalam ekonomi digital data dan informasi seringkali merupakan satu-satunya produk yang dipertukarkan antarpihak afiliasi.

Ketika data atau informasi yang tidak memiliki sifat unik dan eksklusif dapat ditransformasi menjadi data atau informasi yang bernilai tinggi saat data dan informasi dipertukarkan antarpihak afiliasi untuk tujuan komersial, kondisi ini akan meningkatkan kesulitan dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Sebagaimana ditekankan oleh OECD Guidelines, analisis kesebandingan (comparability analysis) dan identifikasi kondisi ekonomi yang relevan (economic relevant circumstances) sangat penting untuk penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Analisis kesebandingan merupakan bagian penting dalam mengaplikasikan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Hal ini disebabkan tujuan analisis kesebandingan adalah mencari transaksi dengan derajat kesebandingan paling tinggi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi unik dalam suatu transaksi afiliasi.

Dengan demikian, untuk dapat mengidentifikasi seluruh kondisi tersebut, pemahaman secara menyeluruh atas industri yang dianalisis menjadi sangat diperlukan. Saat transaksi yang dianalisis melibatkan pertukaran barang dan/atau jasa yang mudah diidentifikasi dan dapat dipisahkan di seluruh rantai nilai, pengujian kewajaran transfer pricing dapat dilakukan dengan membandingkan produk (barang, jasa, barang tidak berwujud) yang identik atau sebanding yang ditransaksikan di pasar dengan syarat, ketentuan, dan harganya tersedia untuk diakses oleh publik.

Apabila informasi pembanding tersebut tersedia, pengujian transfer pricing dapat dilakukan dengan memanfaatkan metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) atau Comparable Uncontrolled Transaction (CUT) (Kenkre,2018).

Namun, karena karakteristiknya yang bersifat unik, data dan informasi pada umumnya tidak memiliki harga pasar. Hal ini menjadikan metode CUP atau CUT, yang merupakan metode yang paling dapat diandalkan, tidak mungkin diterapkan.

Berbasis Rantai Nilai
OLEH sebab itu, pendekatan berbasis rantai nilai dengan menggunakan metode residual profit split bisa dianggap sebagai pendekatan yang paling komprehensif dalam analisis transaksi digital (Huibregstse dan Sood, 2016).

Secara sederhana, Sim (2014) menyebutkan residual profit split diaplikasikan dengan terlebih dahulu mengurangi jumlah nilai kontribusi yang dihasilkan dari fungsi rutin (routine functions) atau fungsi lain yang mudah diukur besaran nilai kontribusinya pada jumlah laba keseluruhan sebelum sisa laba tersebut dialokasikan.

Melalui Revised Guidance on The Application of the Transactional Profit Split Method yang dirilis Juni 2018, dapat diidentifikasi sifat kompleks dalam penerapan metode profit split dapat menjadi salah satu faktor sulitnya mengaplikasikan metode ini dalam praktik analisis transfer pricing.

Kompleksitas tersebut berupa: (i) penetapan jumlah laba yang akan dibagikan, (ii) penentuan tingkat kontribusi yang tentunya akan menjadi basis alokasi pembagian laba, dan (iii) dokumentasi yang mendukung kedua hal tersebut.

Laporan OECD tersebut juga menyatakan ketika pembanding yang digunakan untuk melakukan analisis transfer pricing tidak tersedia, kondisi ini tidak semerta-merta menjadikan metode profit split menjadi metode yang paling tepat dalam melakukan analisis transfer pricing.

Kemudian, sejalan dengan praktik yang dihadapi, hingga kini identifikasi dan penentuan basis alokasi yang paling tepat sangatlah sulit dan dapat menjadi poin perdebatan yang paling signifikan antara wajib pajak dan otoritas pajak. Hal ini dipengaruhi kemungkinan perbedaan informasi yang dimiliki dan digunakan untuk menentukan basis alokasi pembagian laba antarkedua belah pihak.

Penjelasan di atas menunjukkan analisis lebih lanjut mengenai pemilihan metode yang paling memungkinkan diterapkan dalam transaksi digital perlu untuk dilakukan. Oleh karena itu, penggunaan metode alternatif lain, seperti Transactional Net Margin Method (TNMM), dapat dipertimbangkan dalam analisis transfer pricing untuk transaksi digital.

Dikarenakan kompleksitas transaksi digital yang semakin meningkat dan pihak terkait tidak dapat dengan mudah dikarakterisasi, baik karena fungsi dan risikonya, atau disebabkan data dan informasi yang unik dan bukan dalam kegiatan atau aktivitas bisnis yang dilakukan dalam melakukan analisis transfer pricing, metode tradisional menjadi kurang bermanfaat diterapkan untuk transaksi digital.

Namun, mempertimbangkan metode residual profit split membutuhkan berbagai informasi keuangan dan nonkeuangan serta sifatnya yang kompleks, pada akhirnya metode TNMM masih menjadi metode yang paling tepat untuk pengujian prinsip kewajaran dan kelaziman usaha terkait transaksi digital.*

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Senin, 25 Maret 2024 | 15:37 WIB KINERJA PERDAGANGAN

Transaksi e-Commerce Diprediksi Tembus Rp 1.730 Triliun pada 2025

Jumat, 15 Maret 2024 | 09:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tambah Lagi 4 Perusahaan Pemungut PPN PMSE, Ada Tencent Cloud

Jumat, 09 Februari 2024 | 09:00 WIB PMK 172/2023

Begini Ketentuan Pemilihan Metode Transfer Pricing di PMK 172/2023

Rabu, 06 Desember 2023 | 18:44 WIB PEREKONOMIAN INDONESIA

Pemerintah Siapkan 3 Fase Transformasi Digital Nasional Hingga 2045

BERITA PILIHAN