Salah satu slide yang dipaparkan oleh Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah bakal menyiapkan administrasi pajak yang sederhana dalam menerapkan Solusi 2 Pilar (Two-Pillar Solution).
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan penerapan 2 Pilar bisa menimbulkan kompleksitas dalam sistem pajak di dunia. Untuk itu, administrasi pajak perlu disederhanakan sehingga implementasi Solusi 2 Pilar tidak menambah beban pada wajib pajak.
"Tentu saja kami berusaha membuat administrasi semudah mungkin sehingga para wajib pajak tidak diberikan beban tambahan dalam penerapan pajak pada solusi Pilar 1 dan Pilar 2 ini," katanya dalam acara International Tax Conference 2024, Kamis (3/10/2024).
Yon menuturkan dunia saat ini sedang dihadapkan pada tantangan yang muncul akibat digitalisasi ekonomi. Seiring dengan perluasan bisnis dan teknologi digital yang mengaburkan batas-batas negara, sistem pajak tradisional menjadi makin ketinggalan zaman.
Perusahaan multinasional beroperasi di banyak negara tanpa kehadiran fisik sehingga memunculkan ketidakselarasan antara tempat laba dihasilkan dan tempat pajak dibayarkan.
Kondisi ini pada akhirnya menyebabkan banyak negara, khususnya negara-negara berkembang, berada pada posisi yang kurang menguntungkan, termasuk Indonesia.
Ketidakseimbangan ini juga memperdalam kesenjangan ekonomi global sehingga kerangka kerja tradisional tak mampu mengakomodasi tantangan-tantangan yang muncul akibat digitalisasi ekonomi. Untuk itu, beberapa negara telah mengambil langkah seperti penerapan pajak layanan digital.
Di sisi lain, Yon menyebutkan bahwa tak sedikit negara dalam beberapa dekade terakhir ini saling bersaing menggunakan tarif pajak yang lebih rendah untuk menarik investasi. Sejak 1980, tarif pajak perusahaan rata-rata global telah turun dari 40,18% menjadi 28,45% pada 2023.
Tarif pajak yang lebih rendah memang dapat menarik investasi. Namun, hal ini juga bisa mengurangi penerimaan negara yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur, pemberian bantuan sosial, dan pelayanan kesehatan, terutama pada negara berkembang.
Dalam menghadapi 2 persoalan tersebut, negara-negara OECD/G-20 Inclusive Framework on BEPS pun bekerja sama untuk memberikan solusi melalui Solusi 2 Pilar.
"Dengan memerangi penghindaran pajak, kami meyakini akan dapat menstabilkan dan meningkatkan penerimaan serta menyediakan basis keuangan yang lebih kuat untuk mendukung upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi," ujar Yon.
Dia menjelaskan Pilar 1 bertujuan mengalokasikan kembali porsi hak perpajakan ke yurisdiksi pasar dengan memastikan distribusi laba dan pendapatan pajak yang adil sesuai dengan aktivitas ekonomi perusahaan di setiap yurisdiksi.
Pilar 1 terdiri atas Amount A dan Amount B. Amount A pada dasarnya mendistribusikan kembali sebagian dari laba residual ke yurisdiksi pasar melalui konvensi multilateral.
Sementara itu, Amount B berupaya untuk menyederhanakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sebagaimana diterapkan pada kegiatan pemasaran dan distribusi.
Pemerintah Indonesia berharap Pilar 1 dapat diimplementasikan pada 2025. Sembari pembahasan terus berlanjut, pemerintah juga sedang mempersiapkan semua peraturan domestik yang diperlukan untuk pengimplementasiannya.
Di sisi lain, Pilar 2 juga berupaya mengatasi fenomena race to the bottom sehingga diusulkan pajak minimum global sebesar 15% untuk menyamakan kedudukan dan mencegah pengalihan laba ke yurisdiksi dengan tarif pajak rendah.
Pajak minimum global akan berlaku terhadap perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas €750 juta per tahun.
"Sebenarnya kami berencana untuk menerapkan qualified domestic minimum top-up tax (QDMTT), income inclusion rule (IIR), dan juga undertaxed profit rule (UTPR) secara bersamaan. Namun, waktu penerapannya akan sangat bergantung pada pembahasan yang berlangsung," tutur Yon.
Yon menambahkan perubahan lanskap pajak tersebut memerlukan reformasi yang komprehensif dalam kebijakan pajak domestik agar selaras dengan standar global dan mempertahankan daya saing. Salah satu konsekuensi penerapan Pilar 2 ialah pemerintah harus mengevaluasi kebijakan insentif pajak yang berlaku saat ini.
Terdapat 3 skema insentif yang terkait dengan Pilar 2, meliputi insentif pajak Ibu Kota Nusantara, insentif pada kawasan ekonomi khusus (KEK), serta kebijakan tax holiday secara umum.
Menurut Yon, pemerintah akan terus mengamati perubahan kebijakan mengenai insentif pajak yang ada di negara lain dalam merespons Pilar 2.
Selain itu, pemerintah juga mulai membicarakan skema-skema insentif yang dapat menjadi alternatif kepada para pemangku kepentingan, terutama wajib pajak.
Terlebih, apabila insentif pajak di Indonesia mengarah pada tarif pajak efektif di bawah 15% maka hal ini akan memungkinkan yurisdiksi lain mengeklaim hak pemajakan melalui top-up tax atas laba yang kurang dipajaki. (rig)