Managing Partner DDTC Darussalam memaparkan materi dalam diskusi interaktif bertajuk Apakah PPN di Indonesia Multitarif? (Kupas Tuntas Kebijakan baru PPN), Rabu (19/4/2022).
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah dan DPR sepakat mempertahankan sistem PPN dengan tarif tunggal sebesar 11% melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Namun demikian, terdapat beberapa barang kena pajak (BKP)/ jasa kena pajak (JKP) yang dikenai tarif PPN dengan besaran tertentu (skema final) atau menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain. BKP/JKP tertentu dikenai PPN dengan besaran tarif efektif tertentu.
“Ada besaran tertentu dan DPP nilai lain, apakah bisa dikatakan dengan tarif-tarif efektif ini kita sudah beralih menjadi multitarif?" ujar Managing Partner DDTC Darussalam dalam diskusi interaktif bertajuk Apakah PPN di Indonesia Multitarif? (Kupas Tuntas Kebijakan baru PPN), Rabu (19/4/2022).
Sebagai contoh, dengan adanya Pasal 9A UU PPN, terdapat pengenaan PPN tarif efektif sebesar 2,2% atas kegiatan membangun sendiri (KMS). Barang hasil pertanian tertentu dan mobil bekas juga dikenai PPN dengan tarif efektif sebesar 1,1%.
Menurut Darussalam, sistem tarif PPN yang berlaku di Indonesia tetaplah tarif tunggal dan bukan multitarif. Pasalnya, BKP/JKP tertentu dikenai PPN besaran tertentu atau DPP nilai lain dengan tetap berlandaskan pada tarif umum sebesar 11%.
Mekanisme pajak masukan dan pajak keluaran tidak berlaku atas BKP/JKP yang dikenai PPN dengan besaran tertentu.
Di negara-negara yang menerapkan sistem PPN multitarif, tarif umum PPN disebut sebagai standard rate. Sementara itu, tarif yang lebih rendah disebut sebagai reduced rate. Mekanisme pajak keluaran dan pajak masukan juga masih berlaku atas BKP/JKP yang dikenai tarif PPN lebih rendah.
"Indonesia tetap menggunakan single rate, tetapi untuk transaksi-transaksi tertentu yang dikenakan melalui skema final itu ada besaran tertentunya untuk dikalikan dengan tarif tunggal," imbuh Darussalam dalam acara yang digelar Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I) tersebut.
Adapun tarif-tarif efektif PPN terbaru telah tertuang dalam beberapa peraturan menteri keuangan (PMK) yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan pada awal April 2022. Simak ‘Ini Penjelasan Resmi Ditjen Pajak Soal 14 Aturan Baru Turunan UU HPP’.
Managing Director of Eksakta Strategic/Wakil Ketua PD AKP2I DKI Jakarta Sutan R. H. Manurung mengatakan tarif-tarif PPN pada beberapa PMK terbaru sejalan dengan kenaikan tarif dari 10% menjadi 11%.
"Ada perubahan tarif, ada perubahan cara melapor, ada perubahan lampiran. Secara general seperti itu saja. Berdasarkan industri ada barang hasil pertanian tertentu, ada KMS, ada pupuk bersubsidi, ada LPG. Dari situ kelihatan pemerintah ingin menarik penerimaan perpajakan dari sektor PPN," ujar Sutan.
Dalam sambutannya, Ketua Umum AKP2I Suherman Saleh mengatakan sistem PPN Indonesia telah mengalami banyak perubahan sejak mulai diundangkannya UU PPN pada 1983. Seiring berjalannya waktu, PPN ternyata telah menjadi penyokong penerimaan pajak dan melampaui setoran PPh dari wajib pajak orang pribadi.
Menurut Suherman, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% mulai 1 April 2022 berdasarkan pada perubahan UU PPN melalui UU HPP tidak akan menimbulkan beban tambahan bagi wajib pajak. "Ini untuk kebaikan negara. Ini akan memperkuat perusahaan-perusahaan bangkit berkembang," ujarnya.
Dalam acara tersebut turut hadir pula pengurus Kadin Indonesia sekaligus Anggota Pembina AKP2I Herman Juwono. Dia mengatakan dampak psikologis dari kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% tetap terasa di masyarakat pada masa saat ini.