LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Winter is Coming: Membebaskan UMKM dari Pajak Saat Pandemi

Redaksi DDTCNews | Kamis, 09 September 2021 | 11:02 WIB
Winter is Coming: Membebaskan UMKM dari Pajak Saat Pandemi

Gatot Swandito,
Cirebon, Jawa Barat

“DENGAN banyaknya masalah perekonomian dunia, sudah cukup bagi kita untuk mengatakan bahwa winter is coming.” Pernyataan Presiden Jokowi itu disampaikan dalam Opening Plenary Pertemuan Tahunan IMF-World Bank pada 12 Oktober 2018 atau 1,5 tahun sebelum pandemi Covid-19 terjadi.

Pernyataan ‘winter is coming tersebut mengambil judul episode perdana serial Game of Thrones yang tengah populer pada waktu itu. Jokowi tidak asal memilih pernyataan karena pada saat itu, pendinginan ekonomi global sudah diproyeksi lembaga internasional seperti IMF dan World Bank.

Pascapandemi Covid-19 melanda, suhu perekonomian benar-benar makin dingin. Pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dilakukan sejumlah perusahaan tidak terhindarkan. Hingga akhir 2020, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 9,77 juta jiwa kehilangan pekerjaannya.

Sektor UMKM paling terdampak. Menariknya, Badan Koordinasi Penanaman Modal mencatat ada 170.152 pengajuan Nomor Induk Berusaha untuk UMKM pada masa pandemi. Hal Ini menunjukkan pengembangan UMKM menjadi salah satu ‘tungku pemanas’ untuk menaikkan suhu perekonomian.

Namun, di tengah geliat UMKM yang masih terasa, pemerintah justru berencana menggenjot penerimaan pajak dari sektor usaha tersebut. Alasannya, ekonomi Indonesia sebagian berasal dari para pelaku UMKM.

Rencana pemerintah tersebut sebenarnya masuk akal. Langkah itu juga telah sesuai dengan konstitusi. Hal ini dikarenakan sesuai dengan PP 23/2018 tarif pajak penghasilan (PPh) final UMKM ditetapkan sebesar 0,5% terhadap omzet dan dibayar setiap bulannya.

Berdasarkan pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah UMKM mencapai 99,9% dari keseluruhan usaha yang beroperasi di Indonesia. Dengan demikian, potensi pajak dari sektor UMKM cukup besar sehingga mampu menutupi defisit keuangan negara.

Namun, di tengah impitan ekonomi karena pandemi, memajaki pelaku UMKM bukanlah keputusan yang tepat. Meskipun jumlah UMKM meningkat, seperti data yang dirilis World Bank, pendapatan per kapita Indonesia menurun. Penghasilan pelaku UMKM juga menurun.

Berdasarkan catatan Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), sekitar 30 juta UMKM disebut bangkrut lantaran terdampak pandemi Covid-19. Jadi, bagi pelaku UMKM, jangankan untuk membayar pajak, untuk ‘memperpanjang nafas’ saja sudah terbilang sulit.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya tidak melanjutkan rencananya pemajakan UMKM pada masa pandemi. Aspek terpenting bagi negara saat ini adalah rakyat tidak kelaparan. Untuk itu, rakyat harus bisa berpenghasilan agar dapat hidup mandiri tanpa tergantung pada bantuan pemerintah.

Digitalisasi

PANDEMI Covid-19 sampai sekarang belum diketahui ujungnya. Pemerintah hanya menargetkan pada akhir Agustus 2021 sudah terbentuk herd immunity. Namun, mengingat varian baru yang masih bermunculan dan kendala program vaksinasi, sejumlah pakar meragukan target itu.

Di tengah ketidakpastian tersebut, untuk dapat bertahan hidup tanpa bantuan pemerintah saja sudah terbilang bagus bagi UMKM. Untungnya, pada 2021, pemerintah telah menyediakan insentif dukungan melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dengan alokasi Rp 121,90 triliun.

Namun, ada baiknya bila sebagian dari anggaran tersebut dialokasikan untuk mendorong digitalisasi UMKM. Dengan demikian, UMKM dapat memperluas jangkauan pemasaran. Saat ini, dari 64 juta UMKM, baru 14% atau sekitar 8 juta yang telah mendigitalisasi usahanya.

Padahal, Indonesia memiliki potensi transaksi digital yang tinggi jika dibandingkan dengan negara Asean lainnya. Pada 2020, Indonesia mencatatkan nilai transaksi senilai US$44 miliar. Nilai transaksi tersebut diprediksi akan melonjak hingga mencapai US$124 miliar pada 2025.

Potensi peningkatan transaksi digital di Tanah Air didukung adanya 2 faktor. Pertama, jumlah penduduk Indonesia pada Desember 2020 , menurut data Kementerian Dalam Negeri, mencapai 271.349.889 jiwa.

Kedua, jumlah pengguna ponsel pintar mencapai lebih dari setengah populasi penduduk di Indonesia. Pada 2019, pengguna smartphone mencapai 63,3% dari populasi. Jumlah tersebut diproyeksi akan meningkat menjadi 89,2% pada 2025.

Kedua faktor di atas sejatinya juga mencerminkan besarnya potensi penerimaan negara dari sektor pajak. Namun, pada masa pandemi seperti sekarang ini, bukan bukan saatnya bagi pemerintah untuk memajaki UMKM.

Ada baiknya apabila pada saat ini, pemerintah lebih memfokuskan pada pengembangan UMKM. Pengembangan itu terutama pada program digitalisasi. Apabila UMKM telah menguat, barulah pemerintah dapat memajakinya kembali.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Sabtu, 20 April 2024 | 11:30 WIB KABUPATEN BULUNGAN

Sukseskan Program Sertifikat Tanah, Pemkab Beri Diskon BPHTB 50 Persen

Sabtu, 20 April 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Faktor-Faktor yang Menentukan Postur APBN Indonesia

Sabtu, 20 April 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Jasa Konstruksi Bangunan bagi Korban Bencana Bebas PPN, Ini Aturannya

Sabtu, 20 April 2024 | 09:30 WIB KEBIJAKAN FISKAL

Jaga Kesinambungan Fiskal 2025, Pemerintah Waspadai Tiga Hal Ini

BERITA PILIHAN