Suwatno,
MEMASUKI tahun kedua pandemi Covid-19, Indonesia telah mencatatkan jumlah kematian yang memilukan. Ketika artikel ini dibuat, 24 Juni 2021, World Health Organization (WHO) mencatat 55.594 orang meninggal terkonfirmasi akibat virus yang telah bermutasi hingga varian Delta ini.
Merespons situasi pandemi, pemerintah telah mencanangkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui penerbitan PP 23/2020. Berbagai stimulus fiskal diberikan melalui program ini dengan harapan pemulihan bergerak lebih cepat.
Namun, kebutuhan pendanaan belanja negara tetap dibutuhkan. Untuk meningkatkan penerimaan, pemerintah mengusulkan pengenaan pajak pada beberapa sektor. Salah satunya adalah pajak pertambahan nilai (PPN) atas sembako.
Dalam situasi saat ini, usulan tersebut mendapat penolakan dari berbagai pihak. Dalam situasi ini, pemerintah sebenarnya bisa melihat peluang penerimaan lain, salah satunya melalui pengenaan cukai terhadap gula. Hal ini juga sejalan dengan kondisi pandemi sekarang ini.
Seperti diketahui bersama, pasien dengan penyakit penyerta atau komorbid lebih rentan terhadap hantaman virus Corona. Dalam kasus Indonesia, salah satu komorbid yang paling umum adalah diabetes. Selain itu, ada penyakit hipertensi dan gangguan ginjal.
Apalagi, berdasarkan pada data yang dirilis International Diabetes Federation, pada 2017, Indonesia menduduki peringkat keenam sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak.
Mengingat diabetes merupakan pintu masuk bagi berbagai penyakit degeneratif lainnya dan konsumsi gula adalah salah satu penyebab utamanya, bukan sesuatu yang tidak mungkin untuk memasukan gula sebagai komponen baru barang kena cukai.
UU Cukai menyebutkan salah satu dasar pengenaan cukai adalah jika terhadap pemakaian barang tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Dengan demikian, pengenaan cukai terhadap gula sudah memenuhi unsur tersebut.
Keberadaan gula menjadi semacam kebutuhan pokok untuk masyarakat Indonesia. Melihat bahaya yang ditimbulkan dari konsumsi yang berlebihan, penggunaan frasa โpenyalahgunaan gulaโ seharusnya sudah sejak lama menjadi frasa yang lumrah di masyarakat.
Efek yang ditimbulkan dari konsumsi gula bagi kesehatan masyarakat sungguh luar biasa. Meski dapat dicegah, begitu penyakit diabetes hinggap di badan seseorang, dia tidak dapat disembuhkan. Gula merupakan silent killer.
REALISASI penerimaan cukai dari tahun ke tahun cukup bagus. Pada 2020, dalam situasi pandemi, penerimaan cukai dari produk hasil tembakau mencapai Rp146 triliun atau tumbuh 9,74% jika dibandingkan dengan capaian pada periode sama tahun lalu senilai Rp 133,08 triliun.
Pada 2017, menurut BPS, konsumsi gula mencapai 5,1 juta ton. Tiap tahunnya, kebutuhan gula selalu mengalami kenaikan. Jika pengenaan cukai terhadap gula benar-benar terealisasi, potensi penerimaan negaranya akan sangat besar. Kemudian, jika gula diperlakukan sebagai barang yang peredarannya perlu diawasi, akan ada efek psikologis pada masyarakat mengurangi konsumsi secara perlahan.
Melihat statistik pengidap penyakit diabetes di Indonesia berada pada rentang usia 20-64 tahun maka bonus demografi yang sudah di depan mata menjadi makin mengkhawatirkan. Sebagai bangsa, kita akan rugi dua kali jika treatment pemerintah terhadap gula tidak segera diubah. Rugi dari sisi potensi penerimaan dan kesehatan masyarakat.
Ketika wacana pemungutan cukai terhadap produk gula diangkat, salah satu pertanyaan yang kerap mengemuka tentang mekanisme pemungutannya. Pertanyaan ini wajar mengingat persepsi masyarakat terhadap gula cenderung positif. Ada nuansa kecemasan terhadap pengenaan cukai gula.
Sampai dengan saat ini, UU Cukai memasukkan etil alkohol, minuman mengandung etil Alkohol (MMEA) dan hasil tembakau dalam daftar barang kena cukai. Dari ketiga barang kena cukai tersebut, kita dapat mengadopsi teknis pemungutan cukai pada MMEA.
Sebagai gambaran, UU Cukai membagi MMEA menjadi tiga golongan berdasarkan pada kadar alkohol yang terkandung di dalamnya. Pelunasan cukai dilakukan melalui pelekatan pita cukai pada kemasannya.
Pemerintah dapat mengatur peredaran gula harus ke dalam kemasan-kemasan yang memudahkan untuk pelekatan pita cukainya. Kebijakan itu dapat mempermudah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dalam menjalankan pengawasan peredaran gula.
Jika pengenaan cukai terhadap gula telah terlaksana, bukan tidak mungkin produk turunan yang mengandung gula, seperti makanan dan minuman, juga dikenai cukai. Tentu saja pelaksanaannya harus melalui kajian mendalam dan komprehensif agar tidak menimbulkan distorsi ekonomi.
Apalagi, seiring dengan perkembangan teknologi, Kementerian Keuangan juga telah memasukkan catridge rokok elektrik (vape) sebagai bagian dari hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL). Atas produk itu, pemerintah telah mengenakan cukai.
Dengan besarnya volume konsumsi dan bahaya yang berisiko muncul, sudah sepantasnya wacana pengenaan cukai terhadap gula didorong. Wacana ini bisa alternatif nyata dalam keberhasilan Program PEN yang telah dicanangkan sejak tahun lalu.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalamย lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaanย HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 jutaย di sini.