BERITA PAJAK HARI INI

Underground Economy

Redaksi DDTCNews
Senin, 23 April 2018 | 09.36 WIB
Underground Economy

JAKARTA, DDTCNews – Kabar mengenai kinerja rasio pajak serta tergerusnya potensi pajak domestik mewarnai media pagi ini, Senin (23/4). Persoalan ini berkaitan dengan masih besarnya keberadaan underground economy di Indonesia. 

Meski underground economy menjadi masalah yang cukup berdampak pada penerimaan pajak, pengamat pajak DDTC menilai pemerintah masih memiliki solusi untuk mengatasi dampak tergerusnya penerimaan pajak Indonesia dengan skema tertentu.

Kabar lainnya datang dari Ditjen Pajak yang berupaya memberi banyak kemudahan dan insentif bagi wajib pajak. Strategi itu dilakukan sebagai upaya untuk memperbesar tax ratio Indonesia yang pada tahun lalu masih terbilang rendah yakni 11%.

Berikut ringkasannya:

  • Underground Economy Jadi Masalah Setiap Negara: Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan underground economy juga menjadi masalah di setiap negara dan menjadi fokus pemerintah karena erat kaitannya dengan praktik penghindaran pajak.
  • MDR Solusi Underground Economy: Partner Fiscal Research DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan underground economy akan sangat mempengaruhi kinerja pengumpulan pajak. Karenanya berbagai kebijakan yang dirancang pemerintah diharapkan bisa mengatasi hal itu. Salah satunya kebijkan Mandatory Disclosure Rule (MDR) bisa menjadi solusi persoalan itu, karena MDR mewajibkan wajib pajak maupun tax promotor untuk mengungkapkan skema aggressive tax planning kepada Ditjen Pajak.
  • Insentif Pajak Dorong Tax RatioDitjen Pajak tahun ini akan memberikan penggunaan sistem pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) pajak berteknologi pre-populated, percepatan restitusi pajak pertambahan nilai (PPN), percepatan tax holiday dan penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) final untuk UKM. Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengharapkan kemudahan itu bisa meningkatkan kesadaran membayar pajak.
  • Belanja Subsidi dan Bansos Meningkat: Realisasi belanja modal pemerintah pada triwulan pertama 2018 hanya Rp9,7 triliun atau lebih rendah dibanding tahun 2017 yang mencapai Rp11,7 triliun pada periode sama. Namun kenaikan realisasi belanja terjadi pada kelompok belanja subsidi dan bantuan sosial. Secara keseluruhan, realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp233,95 triliun atau 16,08% dari total belanja APBN 2018 atau lebih tinggi dibanding tahun lalu yang hanya mencapai 15% dari total belanja APBN 2017.
  • Rating Moodys Melemah Akibat Efek The Fed: Kenaikan rating utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat Moody’s dari Baa3 menjadi Baa2 gagal menguntungkan perekonomian nasional dalam jangka pendek. Hal ini tampak dari nilai tukar rupiah yang tetap melemah terhadap dolar Amerika Serikat. Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo mengatakan pelemahan rupiah terjadi karena pengaruh Fed Fund Rate (FFR) yang bakal naik 4 kali pada tahun ini.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.