ANALISIS TRANSFER PRICING

Transfer Pricing dan Transaksi Penerbitan Saham

Selasa, 28 April 2020 | 14:38 WIB
Transfer Pricing dan Transaksi Penerbitan Saham

Veronica Kusumawardani,
DDTC Consulting

HINGGA saat ini, kasus Vodafone di India (Vodafone India Services Private Limited v. UOI (WP No.871 of 2014, Bombay HC)) dianggap sebagai salah satu kasus yang kontroversial. Kasus ini berkaitan dengan penerapan ketentuan transfer pricing dalam penerbitan saham atau setoran modal oleh investor asing sehingga berhubungan langsung dengan iklim investasi India.

Polemik kasus berada pada seputar pertanyaan apakah setoran modal oleh investor asing merupakan isu penghindaran pajak melalui skema transfer pricing?

Sebagai informasi, pada 21 Agustus 2008, Vodafone India Services Private Limited (VISPL) menerbitkan 2.89.224 lembar saham baru dengan nilai nominal dan nilai premium untuk masing-masing lembar saham sebesar INR10 dan INR8.509. Saham baru tersebut dibeli oleh pihak afiliasi. Menurut VISPL, harga pasar wajar sesuai ketentuan pasar modal yang berlaku adalah sebesar INR8.519 (INR10 + INR8.509) per lembar saham.

Menurut otoritas pajak, harga pasar wajar seharusnya adalah INR53.775 per lembar saham. Dengan kata lain, menurut otoritas pajak, penerbitan saham baru oleh VISPL telah dilakukan sehingga menyebabkan adanya penurunan nilai yang tidak wajar sebesar INR45.256 (INR53.775 - INR8.519) dan mengakibatkan terjadinya kekurangan setoran modal sebesar INR13,09 miliar.

Menurut otoritas pajak, transaksi setoran modal tercakup dalam ketentuan transfer pricing India. Kekurangan setoran modal sebesar INR13,09 miliar tersebut dapat dikarakterisasi sebagai deemed loan yang diberikan VISPL kepada pihak afiliasinya yang berkedudukan di luar India. Selain itu, seharusnya VISPL menerima penghasilan bunga dan dikenakan pajak dengan nilai sebesar INR883,5 juta.

Putusan Pengadilan Tinggi Bombay
PERATURAN transfer pricing India terdapat dalam Pasal 92 (1) Income Tax Act 1961 (ITA) yang menyebutkan pada esensinya bahwa penghasilan dari ‘transaksi internasional’ tunduk pada prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Pasal 92B (1) ITA mendefinisikan ‘transaksi internasional’ yang dapat dilihat pada artikel ini.

Perlu ditekankan bahwa transaksi setoran modal termasuk dalam definisi ‘transaksi internasional’ tapi bukan merupakan isu dalam kasus ini. Inti persoalan dalam kasus ini adalah apakah ‘transaksi internasional’ tersebut menimbulkan adanya ‘penghasilan’ yang diterima oleh wajib pajak.

Menurut ketentuan pajak domestik India, penerimaan yang diperoleh dari transaksi akun modal tidak menimbulkan ‘penghasilan’ (kecuali dalam kondisi tertentu yang spesifik dijelaskan dalam Pasal 56(2)(viib) ITA, tapi tidak relevan dalam kasus ini).

Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Tinggi Bombay menolak argumentasi otoritas pajak yang menyatakan bahwa makna ‘penghasilan’ dalam Pasal 92 (1) ITA juga termasuk ‘penghasilan yang seharusnya diterima’ atau notional income.

Makna ‘penghasilan’ menurut Hakim Pengadilan Tinggi Bombay adalah real income yaitu prinsip bahwa suatu ‘penghasilan’ akan dikenakan pajak kecuali ditentukan lain oleh ketentuan pajak India (Kalra dan Dadhwal, 2015).

Putusan tersebut pada akhirnya menggugurkan aspek ketidakpastian hukum yang ada di dalam pemikiran para investor dan wajib pajak sehubungan dengan risiko koreksi atas transaksi penerbitan saham. Putusan ini juga telah mengirimkan sinyal kuat yang positif kepada investor asing serta mengembalikan keyakinan mereka pada independensi peradilan India.

Refleksi
DI Indonesia, dasar hukum mengenai penerapan prinsip kewajaran diatur dalam Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang No.36/2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) yang menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal. Hal ini untuk menghitung besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah transaksi penerbitan saham memenuhi kriteria sebagai transaksi dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dan harus diuji dengan menggunakan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha?

Sebagai informasi, Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.22/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (PMK 22/2020) memberikan pengertian yang lebih luas mengenai definisi hubungan istimewa.

Definisi ini sejalan dengan Pasal 18 ayat 3 UU PPh (penjelasan lebih lengkap dapat melihat pada artikel ini). Berdasarkan beleid tersebut, transaksi setoran modal yang dilakukan investor dapat dianggap sebagai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sesuai dengan PMK 22/2020.

Namun, mengacu pada kewenangan DJP yang terdapat dalam Pasal 18 ayat 3 UU PPh, ada tiga hal yang harus dicermati.

Pertama, terkait dengan definisi penghasilan, bahwa transaksi penerbitan saham tidak termasuk dalam definisi penghasilan sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf c UU PPh, penerbitan saham dapat mengacu pada harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.

Namun demikian, Pasal 4 ayat (3) UU PPh tersebut mengatur tentang hal-hal yang dikecualikan dari objek pajak, sehingga berdasarkan hal tersebut, transaksi penerbitan saham bukanlah merupakan suatu penghasilan yang diterima oleh wajib pajak badan.

Kedua, terkait dengan definisi biaya, Pasal 6 ayat (1) UU PPh menyebutkan biaya-biaya yang dapat dikurangkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan. Transaksi penerbitan saham ini tidak berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan 3M sebagaimana termaktub dalam pasal tersebut.

Ketiga, terkait dengan penghasilan kena pajak, transaksi penerbitan saham termasuk pada akun modal. Sementara itu, penghasilan kena pajak termasuk dalam akun laba rugi. Dengan demikian, atas transaksi penerbitan saham tidak dapat langsung dikaitkan dengan besar kecilnya penghasilan kena pajak yang diterima oleh wajib pajak badan.

Dengan demikian, meskipun transaksi setoran modal dapat saja dianggap sebagai transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa, transaksi setoran modal tidak menimbulkan ‘penghasilan’ dan oleh karena itu seharusnya tidak termasuk pada cakupan peraturan transfer pricing di Indonesia.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

BERITA PILIHAN